Rabu, 30 Oktober 2013

To Love 'Them' More

Kirana dan Jonas. Mungkin nama mereka berdua patut disejajarkan dengan drama romantika antara Rama dan Shinta atau Romeo dan Juliet atau pasangan serasi tak terpisahkan dalam film romantis yang membuat penontonnya berkata "Aih, betapa manisnya mereka berdua."

Kirana itu handphone dan Jonas adalah baterainya. Kirana tak akan bisa hidup tanpa Jonas dan Jonas akan tergeletak tak berguna tanpa Kirana. Jonas itu motor dan Kirana adalah kuncinya. Jonas tak kan sanggup berjalan jika tak ada Kirana dan Kirana akan menjadi seonggok benda tak berguna jika Jonas tak ada. Itulah pengibaratan yang selalu teman-teman mereka celetukkan.

Ya, teman-teman dekat mereka bahkan yakin, percaya 1000% jika kisah cinta Kirana dan Jonas akan berakhir indah seperti kisah-kisah dongeng antara puteri dan pangeran yang hidup bahagia selamanya.

Cinta Jonas hanya untuk Kirana, dan tidak jauh beda dengan Kirana. Setidaknya, itu yang tersirat dari mata mereka ketika saling pandang, dari setiap detik kebersamaan mereka, dari pelukan hangat tiap mereka berjumpa dan pengorbanan serta perjalanan yang telah mereka lalui bersama.

Mungkin jika dikupas, tak ada bagian dari sudut kampus atau sudut kota ini yang luput merekam kebersamaan mereka. Tiap sudut memiliki kenangan, tiap ruang menyimpan rekaman, tiap lorong mempunyai catatan kebersamaan Kirana dan Jonas.

Apa yang mereka yakini, apa yang mereka ingini dan apa yang mereka bicarakan sudah sejauh pandang mata kita ketika melihat bintang di langit. Merenda masa depan, membicarakan pesta pernikahan, rumah, anak, dan impian masa depan mereka. Tanpa mereka berpikir bahwa Tuhan sudah punya rencana lain bagi mereka.

Saat itu adalah akhir musim penghujan yang hanya singgah sebentar, tak lebih lama dari jangka waktu yang diprediksikan. Dan sama seperti musim yang hampir berganti, seperti musim penghujan kini sampai pada ujungnya, begitulah kisah Kirana dan Jonas. Mereka berdua tiba pada ujung yang tak pernah mereka duga sebelumnya, bahkan tak pernah mereka pikirkan akan terjadi. Ujung yang membuat mereka merasakan sakit yang luar biasa, jauh lebih sakit dari sakit yang pernah mereka rasakan dari pengalaman sebelumnya.

Kirana sendiri tak pernah berpikir bahwa ia akan dipertemukan pria lain selain Jonas. Ia tidak ingin pria lain, yang ia mau hanya Jonas. Tapi pria bernama Ridwan itu datang dengan cara ajaib dan tak terduga. Ia datang bak ksatria berbaju zirah dengan kuda putih yang sama kekarnya dengan sang pengendara, menawarkan sekantung harapan, tidak hanya untuk Kirana, tapi juga orangtuanya.

Dan orangtua mana yang tak ingin melihat putri satu-satunya bahagia dengan harapan dan kemapanan yang ditawarkan Ridwan. Dengan keseriusan yang ia tunjukkan, orangtua Kirana tak berat hati melepas putrinya. Tapi Kirana berontak. Tak ada pria yang lebih dia inginkan selain Jonas. Harta, kemapanan dan harapan yang Ridwan punya tak kan sanggup menggantikan Jonas dari hatinya.

Sampai suatu saat ibunya berkata, "Nak, mama nggak pernah minta apapun sama kamu. Tapi sekali ini saja, turutin apa kata mama."


Dan tak pernah sekalipun ia melihat ibunya memohon seperti itu. Yang ia tahu, ibunya adalah sosok kuat dan mandiri, yang juga terwaris padanya, tak pernah memohon seperti itu. Ada seberkas kehangatan yang melunakkan hati bekunya. Kirana mulai mengerti. Bahwa ada cinta lain yang harus ia pertahankan, cinta yang ada sejak ia dilahirkan ke dunia, cinta yang mengiringinya sejak ia diciptakan, bahkan saat masih jauh dalam kandungan berumur belum satu bulan. Cintanya pada mama, cintanya pada kedua orangtuanya. Tak ada yang lebih berharga bagi Kirana selain melihat kedua orangtuanya bahagia dan membalas cinta mereka. Satu hal yang Kirana pikir tak pernah ia lakukan dari saat ia terlahir di dunia, hingga saat ia dewasa. Mungkin ini saatnya ia membalas suatu bentuk perasaan tulus yang dicurahkan orangtuanya sepanjang hidupnya, pikir Kirana. 

Pada akhirnya, kisah cinta romantis ala cerita dongeng serta drama romantika antara Kirana dan Jonas berakhir dengan perpisahan antara dua tokoh utama yang diramalkan dapat hidup bersama. Meski mereka sadar, api cinta dalam hati mereka masih belum padam, mereka biarkan menyala, sampai suatu saat, jika Tuhan berkehendak lain, mereka dipertemukan dengan nyala api yang masih sama dalam hati mereka. Atau mereka biarkan padam dengan sendirinya, jika memang takdirnya mereka tak bisa bersama.

"Jadi kamu lebih memilih menyakiti hatimu sendiri buat pilihan beliau daripada pilihanmu sendiri?"
"Kalau itu bisa buat mereka bahagia, aku rela."
"Termasuk mengorbankan perasaan kamu? Hatimu? Pilihanmu?"
"Termasuk jiwaku, jika perlu."
"Aku nggak ngerti sama jalan pikiranmu."
"Dan aku juga masih nggak ngerti kenapa Tuhan melakukan hal ini sama aku. Aku cuma percaya bahwa Tuhan adalah sutradara yang luar biasa. Dia yang bikin 'film' hidupku ini jadi film terbaik dan tiketnya terjual habis di bioskop..."

* * *

**Based on my friend true story

Minggu, 20 Oktober 2013

Segi Empat (Chapter 5)

Aliya dan Opick terus memperbincangkan masa-masa SMP mereka, tertawa lepas bersama dan terkadang saling melempar ekspresi kesal ketika satu atau yang lainnya melontarkan candaan yang membuatnya merasa malu. Kegiatan mereka berdua di pojok food court sore itu seolah membuat mereka enggan menghiraukan apa yang ada di sekitarnya, termasuk sosok yang sedari tadi mengamati mereka dari jauh dengan tatapan seolah ingin melempar bara di dadanya ke arah mereka. 

Tawa mereka terhenti sejenak ketika Aliya sadar ponselnya berdering dan bergetar dari balik saku ranselnya. Ia masih memancarkan keceriaan dari balik wajah polosnya ketika merogoh ponsel dari ransel. Kemudian air mukanya berubah seketika membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Seperti nyala lampu yang terang benderang kemudian gelap seketika arus listrik tak lagi mengalirinya. Aliya tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Andai ia tidak ingat ia sedang ada di area ramai, mungkin ia sudah berteriak kaget. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru area tempatnya berada. Ia sapu satu persatu tiap ruang dan sudut di tempat luas itu dengan mata coklatnya yang hampir berair setelah menerima pesan itu, mencari sosok yang ia yakini sedang ada di area itu, sosok yang mengirimnya pesan bagai sebuah teror untuk hati, pikiran dan perasaannya. 

"Kenapa, Al??" tanya Opick. Khawatir. Ia membaca air muka Aliya yang berubah seketika dan dapat memastikan ada yang tidak beres pada diri Aliya. Sesuatu yang membuatnya menghentikan percakapan tiba-tiba dan mengedarkan pandangannya ke seluruh area tempatnya berada, seolah sedang mencari sesuatu yang menjadi sumber kegundahan hatinya.

Aliya menghentikan pencariannya. Kemudian kembali menatap Opick dengan wajah pucat pasi dan mata berkaca-kaca. "Yovie ada di sini. Dia ada di sini, melihat kita." Suara Aliya bergetar. Takut, terkejut dan sejumlah rasa lain yang tak dapat dilukiskannya. Opick juga tak percaya, ada banyak tempat makan dan mal yang ada di kota itu, ada banyak hari lain atau jam lain yang bisa dimanfaatkan untuk mengunjungi tempat ini. Tapi kenapa mereka bisa berjumpa di waktu dan tempat yang sama. 

Belum berhenti rasa herannya, ia rasakan getar ponsel dari dalam saku celananya. Sesaat kemudian, ekspresi wajahnya berubah, tak jauh beda dengan ekspresi wajah Aliya ketika menerima pesan tadi. Tapi ia tidak yakin, bahwa orang yang mengiriminya pesan ada di tempat ini. Pasti Yovie. Ya! Yovie yang menceritakannya pada orang ini. Dialah sumber dari segala teror yang menghancurkan keceriaan sorenya bersama Aliya.

"Riana juga tahu, Al. Pasti Yovie yang kasih tau dia. Pasti."

"Tapi gimana Yovie bisa tau kalo orang yang ada sama aku sekarang itu kamu? Opick. Orang yang baru tadi siang dia tanyain ke aku."

"Yovie sama Benny, mereka berdua udah tau aku dari lama, Al. Mungkin dia emang cuma mancing kamu aja."

Aliya menggigit bibirnya. Ia seperti orang bodoh yang ketahuan berbohong, padahal orang yang ia dustai justru sudah tahu kebenarannya. Dan kini orang itu melihat mereka jalan berdua, seolah kebenaran yang selama ini ia yakini makin memperkuat keyakinannya. Baik Aliya maupun Opick, mereka berdua seperti merasakan hal yang sama. Terkejut dan tak menduga, ada yang melihat mereka berdua dan itu adalah orang yang selama ini dekat dengan mereka, begitu menaruh harapannya pada mereka. Ya, tanpa Aliya dan Opick sadari, baik Yovie maupun Riana, mereka begitu berharap kedekatan mereka dapat terwujud menjadi sebuah hubungan. Bukan malah melihat keduanya jalan bersama, begitu dekat, begitu akrab, seolah Aliya dan Opick saling menyimpan perasaan yang sama. Yovie dan Riana, mereka merasa seperti sosok cadangan yang sama sekali tak diperhitungkan oleh Aliya dan Opick. Karena saat ini adalah saat dimana mereka mulai sadar terhadap kenyataan yang ada, bahwa ternyata hati Aliya bukan untuk Yovie. Begitu pula Riana, ia tak akan bisa mendapatkan perhatian dan kehangatan Opick, seperti yang Opick berikan pada Aliya.

***

Terhitung sejak hari dimana Yovie melihat Aliya begitu dekat dan akrab dengan sosok yang selama ini dianggap sebagai pengganggu hubungan sahabatnya dengan kekasihnya, ia seakan menghindar dari Aliya. Tak lagi rajin mengirimkan pesan singkatnya atau masuk kuliah seperti saat dimana ia begitu dekat dengan Aliya. Sesekali Aliya berjumpa dengannya di kantin kampus, tak sengaja bertatap muka, Aliya hampir mengulaskan senyum dari bibirnya, tapi sikap dingin Yovie yang seolah tak melihat keberadaan Aliya membuat nyali Aliya ciut. Ia hanya ingin semuanya baik-baik saja, seperti semula. Perasaan yang ada dalam hatinya lebih pada perasaan menyesal, karena ia telah berdusta pada orang yang benar-benar menaruh harapan padanya, ia merasa tidak enak hati telah mempermainkan perasaan orang yang benar-benar tulus ingin bersamanya. Kemudian ia sadar, bahwa luka yang secara tak sengaja ia goreskan di hati Yovie akan tetap membekas, apalagi dalam waktu dimana luka itu masih belum kering dan semuanya memang tidak akan bisa kembali seperti semula. 

Usaha Opick untuk kembali meyakinkan Riana pun seolah seperti ingin memutihkan kembali kertas yang sudah tergoreskan tinta. Semuanya hanya sia-sia dan tak akan bisa kembali seperti semula. Opick sadar bahwa ia memang menyimpan perasaan pada Aliya tapi ia berusaha menepisnya dengan menjadikan Riana sebagai bukti bahwa rasanya pada Aliya hanya sekedar rasa ingin memiliki sebatas sebagai sahabat. Tanpa ia sadari bahwa pembuktiannya itu mempertaruhkan perasaan Riana dan hal itu menyakitkannya. Rasa penyesalan dan kehilangan yang mendalam menggelayuti sudut-sudut hatinya, membuat rasanya remuk redam dan merasakan perih yang sebenarnya tak sebanding dengan perih yang dirasakan Riana karena telah mengharapkannya. Dan empat insan yang saling bertukar harapan lewat alur yang rumit itu sama-sama merasakan sakit dengan tingkat dan definisi masing-masing. Sakit yang masing-masing mereka rasakan dari besarnya harapan dan kasih sayang mereka pada sosok yang dituju.

***

Pantai seolah adalah satu-satunya tempat paling indah yang Aliya kunjungi setelah kisah rumit yang ia alami tempo hari. Dan kini ia duduk di antara lautan pasir dengan pemandangan deburan ombak yang saling berkejaran, saling berlomba menyentuh daratan. Suara gemuruh dan debur ombak yang lepas ke pantai seperti menjadi nyanyian alam yang menyejukkan hati dan pikirannya. Sinar matahari senja yang hangat dan temaram menghujani tubuh mungilnya yang duduk mendekap lutut kakinya. Senja di pantai kala itu menjadi satu-satunya pemandangan paling indah baginya saat ini. Satu-satunya hal yang membuatnya kembali merasakan bahwa ada banyak keindahan yang Tuhan sediakan untuknya selain kisah cinta yang belakangan ini menyesakkan hatinya. 

Pantai ini adalah tempat dimana otak Aliya kembali memutar ulang kisahnya yang telah terangkai selama satu semester ini. Ya, semester pertamanya di jurusan komunikasi telah berhasil ia lewati. Semester pertama yang berakhir kurang mengenakkan bersama hubungannya dengan orang-orang yang terlibat dalam buku cerita cintanya. Langit senja di hadapan Aliya seperti layar bioskop yang siap memutar bayangan akan kisah yang telah ia jalani selama hampir enam bulan ini. Sementara memori di otaknya seperti mesin pemutar video yang siap memutar rangkaian film kehidupan dimana ia yang menjadi pemeran utamanya. Masih terekam jelas setiap momen yang tersimpan dalam memorinya.

Ia memutar ulang memorinya, bukan karena tak bisa lepas dari memori itu, tapi lebih untuk menengok ke belakang sebentar dan mengucapkan selamat tinggal, kemudian kembali melanjutkan apa yang terjadi saat ini serta menatap masa depannya. Masa depan yang terasa masih samar baginya, terutama dalam kesendiriannya.

Ya, kejadian di awal masa kuliahnya membuatnya memutuskan untuk menikmati semuanya sendiri. Pahit, sesal dan perasaannya, ia simpan dalam-dalam. Hatinya tak memilih Yovie pun juga Opick. Aliya pada akhirnya merelakan perasaannya tersimpan rapi dan membiarkan Opick tetap dekat dengannya sebagai sahabat, melepasnya berbahagia bersama tambatan hatinya sekarang. Sementara Yovie, dengan jelas ia lihat gurat bahagianya tadi. Bersama... Riana. Ya, di pantai yang sama mereka kini berada. Yovie bersama Riana dan Aliya sendiri bertemankan langit senja. Tapi hal itu tidak menjadi masalah bagi Aliya. Ia tahu, Riana sosok yang baik dan Yovie pantas mendapatkannya, begitu juga Riana. Beberapa saat yang lalu, waktu mempertemukan mereka untuk bertatap muka, saling berbincang, berdua. Sesaat Aliya merasa kikuk dan tak tahu apa yang harus ia bicarakan. Tapi sikap Riana yang sama sekali tak menyinggung masa lalunya., masa lalu mereka, membuat Aliya merasakan bahwa gadis ini sungguh-sungguh baik. Yovie memang pantas mendapatkannya.

"Al!! Kamu mau ditinggal di sini?? Temen-temen udah pada mau pulang nih!" suara lantang Abill membuyarkan lamunannya. Langit yang tadi berwarna jingga kini berubah menjadi gelap. Matahari pun tenggelam hampir seluruhnya, siap terlelap kembali ke peraduannya. Suara itu juga yang mengingatkannya bahwa ia kemari tak sendirian. Ia, Abill, Arin, bersama rombongan lima belas orang teman sekelasnya memilih pantai ini untuk melepas penat usai ujian semester, termasuk Yovie yang tanpa ia duga datang bersama Riana. Mau tidak mau, Aliya bangkit dari tempat yang sesaat membuatnya merasa nyaman meskipun harus kembali mencungkil kisah yang sudah siap ia tinggalkan. Abill sudah berdiri di dekatnya, mengulurkan tangannya dan menarik tubuh mungil Aliya. Kemudian mereka berjalan menuju rombongan yang sudah bergerak jauh, berbalik arah dari pantai itu, menuju ke tempat dimana mereka memarkirkan kendaraan.

Beberapa saat kemudian, ia dan Abill sudah berjalan menyusul rombongan, sesekali ia palingkan wajah ke belakang, ke arah langit senja yang mulai gelap dan lautan yang tetap memainkan irama debur ombak, seolah tak ingin berpisah. Dan sepasang mata di antara rombongan itu terus mengekor setiap langkah Aliya. Sepasang mata yang tak pernah Aliya duga selalu mengamatinya sejak tadi. Mata itu melihat Aliya tersenyum, pada laut, pada senja. Senyum terindah yang ia lepaskan hari ini. Pemilik mata itu ikut tersenyum melihat lengkungan manis dari bibir Aliya. Berharap, suatu saat nanti ia dapat menjadi alasan munculnya senyum di wajah Aliya. Tanpa Aliya sadari, ketika ia telah menutup kisah lalunya, kisah yang baru muncul dari sini, dari sepasang mata yang terus mengamati gerak langkahnya. Sama seperti matahari senja ini, berakhir dan hilang kembali ke peraduan, tapi akan kembali esok hari bersama harapan baru manusia yang diteranginya. Setelah kisah yang ia akhiri hari ini, akan kembali muncul kisah lain, bersama tokoh serta harapan baru yang mengisinya dan mungkin kisahnya bersama pemilik mata itu...

** END **

Selasa, 15 Oktober 2013

Segi Empat (Chapter 4)

Pertemuan pertama Aliya dan Yovie pagi itu menghantarkan mereka pada sebuah obrolan panjang yang berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Yovie sosok pria cerdas dan apa yang dilakukannya selalu keluar dari batas kenormalan yang biasa dilakukan manusia pada umumnya. Termasuk kegiatan-kegiatan yang belakangan sering mereka lakukan berdua selama lebih dari setengah semester pertama mereka di bangku kuliah. Bersamanya, Aliya merasa seperti dibawa ke sebuah dunia baru yang sama sekali tidak pernah ia pikirkan ada di sekitarnya. Membuatnya memandang sesuatu dari sudut lain yang tak lazim digunakan oleh manusia lainnya. 

Kuliah siang itu berakhir dengan tumpukan tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa tingkat pertama dari jurusan komunikasi. Beberapa mengeluh, beberapa menanggapinya dengan biasa saja dan sebagian kecil terlihat masa bodoh dengan tugas tersebut. Aliya merapikan dan mengemas susunan catatan ke dalam binder dan menaruhnya ke dalam ransel hitamnya. Ia hampir melompat karena terkejut ketika Yovie sudah ada di depannya, beberapa meter di depan kursi tempat Aliya duduk. Entah kenapa, Yovie menjadi tidak pernah absen dari jadwal kuliah setiap harinya, meskipun sering datang terlambat. Ia seperti tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memandang wajah Aliya yang belakangan ia panggil dengan nama "Koala". 

Beberapa saat kemudian, mereka berdua sudah duduk di salah satu sudut di kantin. Sekedar berbincang dan menyantap beberapa camilan. Aliya lebih banyak diam siang itu, sementara Yovie dengan leluasa menikmati wajah tenang Aliya yang seolah tak sadar bahwa pria yang ada di depannya itu terus menatap wajahnya lekat-lekat.

"Al, kamu kenal Opick nggak?" Yovie melemparkan sebuah pertanyaan singkat yang membuat Aliya hampir tersedak karena saat itu ia sedang menggelontorkan air dari botol minum ke dalam mulutnya.

"Opick. Katanya anak dari kota kamu juga. Kamu kenal?" Yovie kembali mengulangi pertanyaannya ketika Aliya masih terdiam karena perasaan terkejut yang tak Yovie sadari.

"Emm, Opick yang mana ya? Soalnya ada banyak yang punya nama Opick di kotaku," jawab Aliya setengah terbata. Bohong. Aliya tahu benar siapa yang Yovie maksud.

"Opick. Dia anak olahraga. Kenal?" kali ini pertanyaan Yovie terasa seperti mengejar.

"Ngg.. Nggak. Nggak kenal kalo yang itu." Gugup, Aliya menjawabnya. Ia kembali berbohong dan berharap Yovie tidak menangkap tanda-tanda kebohongan dari Aliya.

"Ohh... Aku penasaran aja sama orangnya. Dia yang ngrusak hubungan Benny sama pacarnya. Mereka putus gara-gara bocah itu."

Aliya tahu persis siapa yang Yovie maksud. Benny, Aliya sudah tahu seperti apa sosok Benny. Pria yang tempo hari ditanyakan Opick. Pria yang sempat menjalin hubungan dengan Riana, perempuan yang kini tengah dekat dengan Opick. Dan ternyata, belakangan Aliya tahu bahwa Benny adalah sahabat dekat Yovie. Aliya sendiri pusing dengan kisah cinta yang rumit antara Opick, Riana dan Benny. Kalau perasaannya pada Opick ikut terhitung, mungkin namanya juga akan masuk dalam pusaran cinta yang rumit bak benang kusut antara mereka bertiga. Kemudian ia merasa dunianya menyempit, kecil, tidak lebih lebar dari isi pikiran dan otaknya. Aliya kenal dengan Opick dan Opick dekat dengan Riana, sementara Riana adalah mantan kekasih Benny, dimana Benny adalah sahabat Yovie dan kini Yovie sedang dekat dengan Aliya. 

***

Sepanjang perjalanan pulangnya menuju rumah kos, Aliya terus memikirkan rantai kisah cinta yang rumit antara mereka. Aliya merasa secara tidak langung terjebak dalam jalinan kisah yang terangkai rumit antara mereka. Kisah yang Aliya sendiri tidak bisa menentukan dan memilih bagaimana akhirnya. Apakah ia  akan tetap mempertahankan perasaannya pada Opick, sahabat yang mungkin tidak akan menaruh perasaan yang sama dengannya atau beralih pada Yovie yang kini sejarak bintang dan bulan, terlihat dekat dan saling berhubungan di mata manusia lainnya, tapi jauh pada kenyataannya. Bukan Yovie yang jauh, ia terus berusaha mendekati Aliya, tapi Aliya seolah bergeming. Enggan memberikan pertandanya pada Yovie.

Aliya tahu, Yovie adalah sosok luar biasa. Ia nyaman berada di dekatnya, tapi perasaan ini berbeda dengan perasaan yang sebelumnya ia rasakan pada Ditya atau perasaannya pada Opick yang tak terungkapkan dan tak dapat ia definisikan apa namanya. Ia berharap, kedekatannya dengan Yovie dapat menyamarkan perasaannya pada Opick atau malah ia musnahkan dari ruang-ruang hatinya. Tanpa ia sadari, semakin ia mencoba menjauh, semakin ia dekat dengan orang yang dulu pernah membuatnya merasakan rasanya mengagumi seseorang dari kejauhan. 

Seperti sore ini, dua makhluk yang sama-sama saling tidak dapat meraba perasaannya dan terjebak dalam hubungan bernama 'sahabat' itu, menghabiskan sepanjang sore mereka untuk menonton film di bioskop. Sebenarnya Aliya sudah menonton film yang sama minggu lalu, bersama Yovie. Tapi entah kenapa, ia tidak bisa menolak ajakan Opick. Sosok yang justru belakangan ini semakin lekat dekat dengannya, meskipun mereka sama-sama dekat dengan seseorang yang sebenarnya juga memiliki perasaan yang serupa seperti apa yang mereka saling rasakan. Aliya dan Yovie, sementara Opick dengan Riana.

"Boy, gimana nih kelanjutan kisah kamu sama Riana?" tanya Aliya sambil menyendok sepotong tomat dari piringnya dan melahapnya sebagai makanan penutup. Usai menonton film, mereka memutuskan untuk mengisi perut mereka yang sudah protes sejak sebelum mereka masuk bioskop tadi. Area food court menjadi tempat pilihan bagi mereka untuk mengisi perut dengan seporsi nasi goreng, makanan favorit Aliya.

"Nggak tau, Al. Aku bingung sama perasaan dia ke aku. Kadang-kadang aku ngerasa ada harapan, tapi kadang-kadang dia kayak nggak merespons sinyal aku. Padahal dia udah putus sama Benny. Udah jelas-jelas available. Tapi kayaknya dia nggak ada reaksi. Ngejar dia itu kayak ngejar sesuatu yang nggak pasti, nggak jelas. Capek, Al," jawab Opick. Sendu. Putus asa, Itu ekspresi yang Aliya tangkap ketika Opick menjawab pertanyaannya.

"Mending aku ngejar yang pasti-pasti aja, kayak kamu mungkin."

Aliya hampir menumpahkan jus jeruk dari dalam gelas yang akan ia minum ketika mendengar Opick mengatakan kalimat singkat yang membuat Aliya terkejut. Ia merasa hari ini adalah hari penuh kejutan baginya. Setelah pertanyaan Yovie di kantin siang tadi, kini giliran pernyataan Opick yang membuatnya merasa seperti sedang diuji kesehatan jantungnya, yaitu dengan mendengarkan hal-hal tak terduga yang mengagetkannya.

Masih belum selesai ekspresi kaget dari Aliya, Opick mengakhirinya dengan tawa khasnya. Ia tergelak mendengar perkataan spontannya pada Aliya. Berharap tawanya bisa menyamarkan apa yang sebenarnya ia rasakan dan membuatnya seolah-olah ia sedang bercanda. 

"Kayaknya kalo sama kamu, aku nggak perlu capek-capek ngejar, Al. Ada juga kamu yang ngejar aku. Nggak inget waktu SMP gimana kelakuan kamu nguntit aku? Inget banget waktu itu kamu masih mini, pendek kayak kurcaci, ngikutin aku pulang dan naik bis yang sama. Aku tau, Al. Tau banget!" Kali ini tawa Opick meledak. Mungkin jika ia tidak sedang berada di keramaian, ia sudah tertawa lebih keras sambil mengguling-gulingkan badannya di lantai.

Wajah Aliya merah padam. Malu. Kesal. Semua tergambar jelas dari wajahnya. Ternyata selama ini Opick sadar bahwa ketika SMP, Aliya pernah menjadi pengagum rahasianya. Mengikuti rute pulang Opick, mengawasi Opick dari jauh dan mencari tahu segala sesuatu tentang Opick seperti agen mata-mata yang mengintai sasarannya. Dan kebersamaan mereka sepanjang sore itu dihabiskan dengan bernostalgia mengenang masa putih-biru mereka. 

Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang terus mengamati mereka berdua dari kejauhan dengan tatapan dingin seolah ingin meruntuhkan seisi food court termasuk dua orang yang diamatinya. Mengintai mereka dari sudut yang tak mereka ketahui dengan segenap perasaan kecewa, menjelma menjadi bara yang membakar dan berkecamuk dalam hatinya. Kemudian sosok itu merogoh ponsel dari saku celananya, menuliskan sesuatu dalam pesan singkat dan mengirimkannya. Satu pesan terkirim. Kemudian ia menulis lagi, kali ini jauh lebih singkat dari yang dikirimkan sebelumnya, kemudian menekan tombol 'Send' dengan keras dan sepenuh tekanan, seolah ia ingin melakukan hal serupa pada dua objek yang dipandangnya.

Bersambung...


Minggu, 13 Oktober 2013

Segi Empat (Chapter 3)

Yoviansyah Primadana. Nama itu terus muncul di benak Aliya sejak semalam tadi. Ia masih enggan membalas pesan dari sosok misterius yang kini sudah ia tahu namanya itu, ada di sekitarnya, satu kelas dengannya, tak berada jauh darinya. Namun ia masih belum mengetahui pasti wujud dari orang yang terus mengintai dan mengetahui segala aktivitasnya di kampus. Aliya bertekad untuk mengetahuinya hari ini juga. Ia tak mau terusik oleh puluhan pertanyaan tak terjawab tentang orang ini. Siapa dia, apa tujuannya melakukan hal ini, kenapa harus Aliya dan pertanyaan lain yang membuat rasa ingin tahu Aliya menjadi begitu besar.

Hari itu adalah jadwal kuliah pagi. Dosen sudah datang sejak lima belas menit tadi, tapi ruangan kelas masih sepi. Hanya beberapa gelintir mahasiswa rajin yang tak keberatan untuk memulai kuliah bersama dengan sinar matahari yang masih belum tinggi. Termasuk Aliya, itu pun lebih karena rasa penasarannya. Total mahasiswa di kelas Aliya berjumlah empat puluh lima mahasiswa. Namun pagi itu belum ada setengahnya datang. Kebanyakan perempuan, yang laki-laki mungkin masih asyik dibuai mimpi atau enggan beranjak dari kasur karena semalaman melakukan aktivitas berlebihan, main game, nongkrong atau sekedar begadang. Mungkin ada semacam zat dalam laki-laki atau sekedar kebiasaan umum yang membuatnya betah melakukan aktivitas ekstra di malam hari. Kegiatan yang seolah ingin memperpanjang malam dengan mencuri apa yang semestinya dilakukan pagi hari, bangun-mandi-sarapan-beraktivitas. Entahlah, tapi sepertinya bukan hanya laki-laki saja. Belakangan ketika Aliya mengenal dunia mahasiswa, tak hanya makhluk dari garis Adam saja yang hidup bagai makhluk nocturnal, beberapa teman perempuannya juga kuat tak memejamkan mata hingga pagi. Mungkin hanya Aliya, satu-satunya atau sedikit dari jutaan mahasiswa yang tak mampu menahan kantuknya lebih dari pukul sembilan malam. 

Suara decit dan derak kursi di samping Aliya membuyarkan lamunannya. Abill baru saja datang. Ya, dia salah satu dari jutaan mahasiswa yang kuat begadang hingga mungkin pagi ini dia baru tidur mungkin satu atau dua jam. Terlihat jelas dari wajahnya yang seolah berontak ingin direbahkan di atas bantal nyaman, namun terpaksa harus terlihat segar dan mengucapkan selamat tinggal pada waktu istirahatnya.

"Hey Al! Kamu ya, selalu, nggak pernah telat, Kayaknya matahari aja kalah deh sama kamu," sapa Abill, masih dengan keceriaannya meskipun matanya terlihat malas untuk membuka seratus persen katupnya.

"Nggak kok. Ada hal yang sebenernya bikin aku berangkat pagi."

"Oh ya? Apa?" Abill bertanya dengan mimik wajah ingin tahu.

"Aku lagi nyari orang, Bill."

"Nyari orang? Siapa?" Kali ini mimik wajahnya dua kali lipat lebih excited dari yang sebelumnya.

Aliya kemudian bercerita perihal SMS dari nomor misterius yang kerap menyapanya beberapa minggu ini. Betapa nomor itu membuatnya penasaran karena sang pengirim seolah ada di sekitarnya, tahu segala gerak-gerik hingga mimik wajah Aliya dan apa yang ia lakukan di kampus. Aliya merasa ada yang memperhatikannya beberapa waktu belakangan ini semenjak ia mengikuti kuliah perdananya. Kemudian dijelaskannya bagaimana ia mencari tahu nomor itu di daftar nomor mahasiswa di kelasnya karena ia begitu yakin bahwa si pemilik nomor ada di dalam kelas yang sama dengan Aliya. "Setelah aku cari-cari, ternyata..." Aliya menghentikan penjelasannya. Membuat Abill sesak menahan napas, menunggu kelanjutan cerita dari Aliya.

"Ternyata apa, Al??" Tanya Abill, masih dengan menahan napas yang tertekan, sambil mengguncang-guncang tangan Aliya tanda tak sabar.

"Ternyata... Dia anak kelas kita, Bill," jawab Aliya, setengah berbisik. Seolah ia tidak ingin ada orang lain selain mereka berdua yang tahu.

"Beneran? Siapa?" Kali ini suara Abill lepas, keras, beberapa teman di sekitar mereka bahkan sempat menoleh pada Abill. Kemudian ia membalas tatapan mereka dengan cengiran konyol menahan malu.

"Yoviansyah Primadana. Kamu tau orangnya yang mana?"

Abill diam sejenak. Mencoba menyusun kembali memorinya. Dengan kepribadiannya yang supel dan mudah beradaptasi, dia sudah mengenal hampir  semua mahasiswa jurusan komunikasi seangkatannya. Namun, saking banyaknya yang ia kenal, sampai ia hampir lupa, seolah memorinya menolak untuk menerima semua informasi dan menyimpannya, agar ketika dibutuhkan bisa dengan mudahnya ditemukan. Kemudian memori Abill memunculkan sebuah bayangan samar, mengirimkannya pada otak, dicerna, kemudian disalurkan melalui sistem syaraf hingga akhirnya ia dapat menjawab pertanyaan Aliya.

"Iya, aku kayaknya pernah tau, Al. Tapi lupa-lupa ingat. Mungkin kalo ketemu orangnya, aku bakalan ingat."

"Tapi dia belum ada di kelas ini kan?"

Abill mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Men-scanning satu persatu makhluk yang ada di dalamnya. Sampai pandangannya kembali lagi pada Aliya. Abill menggeleng. "Belum dateng, Al. Mungkin nanti."

"Makanya, Al. Kalo punya radar sama antena itu ditinggiin. Jangan dilipet aja kayak antena radio bata," goda Abill sambil terkekeh.

"Mereka itu nantinya bakal jadi temen seperjuangan kita selama empat tahun ke depan. Kalo nggak saling kenal, kan aneh rasanya. Setidaknya tau nama sama wajahnya aja udah cukup lah," lanjut Abill. 

Aliya hanya membalas wejangan Abill dengan senyum tipis. Ia masih belum lega jika belum menemukan orang yang dicarinya. Orang yang membuatnya semangat datang sepagi ini hanya sekedar untuk mengetahui wujudnya. Mata Aliya tak lagi fokus pada Abill, apalagi dosen. Ia masih menatap pintu kelas yang terbuka. Berharap orang yang ditunggunya masuk melewati pintu itu.

"Al, sebenernya banyak lho yang mau kenal sama kamu."

Perkataan Abill itu membuat Aliya terseret kembali ke dunia nyata, jauh dari lamunannya. Ia kembali menoleh pada Abill dengan pandangan tidak percaya.

"Masak sih, Bill? Nggak mungkin lah. Orang aku diem gini, biasa juga. Kalaupun mau naksir, tuh sama Dini. Cantik, putih, kaya, fashionable. Kayak Barbie." 

Pandangan Aliya dan Abill mengarah pada permpuan dua baris di depan mereka. Dini seperti icon kelas mereka. Dengan postur tubuhnya yang proporsional seperti model atau gadis sampul, wajah cantik, serta riasan yang senada dengan cara berpakaiannya yang modis, membuat ia terlihat paling mencolok di antara teman-teman lainnya. Ibarat bulan yang bersinar bulat di antara ratusan bintang yang hanya mampu memancarkan kedipan cahaya.

"Dini itu too beautiful to be true. Cowok-cowok juga pada takut kaliii mau deketin dia. Kalaupun ada, paling juga cowok-cowok high class sepantaran sama dia."

Benar juga yang dikatakan Abill. Seandainya Aliya jadi pria, ia juga tidak akan memiliki cukup nyali untuk sekedar menyapa atau melempar senyum pada Dini. Dia seperti putri dari negeri dongeng. Enak didengar menjadi sebuah cerita atau dilihat dalam ilustrasi dongeng, tapi terlalu indah untuk jadi nyata, apalagi untuk dimiliki. Belum lagi, kelas Dini yang ada di level atas, kalau Aliya jadi pria, mungkin juga tidak akan mampu mengikuti gaya hidup Dini. Mana mau princess macam Dini makan seadanya di pinggir jalan. Bisa-bisa dia dituntut orangtua Dini karena putri kesayangannya sakit perut setelah mencicipi seujung sendok nasi kucing.

"Gimana, Al? Kamu minat nggak? Banyak yang nanyain kamu lho. Nggak cuma dari kelas ini aja sih. Dari kelas lain juga ada," Abill melanjutkan topik pembicaraannya yang sempat terlupakan karena sibuk memperbincangkan Dini.

"Banyak? Paling cuma satu atau dua. Itu juga karena iseng. Iya kan?" Aliya juga menanggapinya dengan canda. Karena Aliya juga merasa bahwa apa yang Abill katakan itu juga termasuk candaan untuknya.

"Ya masih mending satu atau dua. Daripada aku, nggak ada sama sekali."

Aliya tertawa. Hari ini ia merasa seperti tidak sedang ada di kampus, di kelas, mengikuti kuliah, karena sedari tadi terus ngobrol dengan Abill. Masih jauh lebih baik bila obrolan mereka ada hubungannya dengan perkuliahan atau organisasi di kampus seperti mahasiswa-mahasiswa aktivis lainnya. Obrolan mereka soal naksir-menaksir jelas-jelas jauh dari materi perkuliahan. Tapi mungkin masih ada dalam lingkup dunia perkuliahan. Suka, naksir, cinta. Selalu. Di sekolah, kuliah bahkan mungkin dunia kerja nanti.

Kuliah pagi itu hampir selesai. Dosen sudah hampir menutup perkuliahan dengan isyarat menawarkan mahasiswa untuk menanyakan materi yang tadi disampaikan. Dan seperti apa yang terjadi biasanya, mahasiswa enggan bertanya. Entah karena sudah mengerti, atau sama sekali belum mengerti atau mungkin tidak ada yang ingin ditanyakan. Tapi bagi Aliya, pertanyaan untuk dosen atau rasa penasaran akan materi yang beliau sampaikan tidak lebih penting dibanding rasa ingin tahunya pada misterious guy. Ia tidak ikut kuliah pagi ini. Mungkin nanti...

***

Pagi itu kantin dipenuhi mahasiswa kelaparan yang sudah memulai aktivitas perkuliahan tanpa menyantap sarapan. Termasuk tiga serangkai, Abill, Arin dan Aliya. Usai kuliah pagi tadi, mereka memutuskan untuk sekedar nongkrong atau menikmati semangkuk soto di kantin kampus. Baru satu jam lagi kuliah berikutnya akan dimulai. Mereka bertiga duduk di meja pojok, dimana mereka bisa bebas menikmati pemandangan di seluruh penjuru kantin. Belakangan mereka memang sering bersama-sama, bertiga, tak terpisahkan. Seperti trio kwek-kwek, teman-teman kampusnya memberi julukan begitu. Pertemuan pertama mereka menyatukan kecocokan di antara mereka. Abill datang menghampiri meja yang dimana Aliya dan Arin duduk sambil menyantap sepotong roti atau gorengan. Abill sendiri membawa semangkuk soto di tangan kanannya dan beberapa potong gorengan plus roti di piring kecil dalam genggaman tangan kirinya. Dengan hati-hati, diletakkannya jatah energinya sampai siang nanti di atas meja.

"Bill, udah nggak makan berapa hari aja? Banyak bener," celetuk Arin sambil mencomot potongan tahu bakso dari dalam piringnya.

Abill hanya terkekeh sambil kemudian melanjutkan aktivitas yang sudah dari pagi tadi tak sabar ia nantikan, mengisi perutnya yang sedari tadi sudah memainkan bunyi-bunyian tanda protes pada sang empunya tubuh. Dalam sekejap, soto semangkuk, gorengan dan sepotong roti tandas habis beralih masuk ke perut Abill. Aliya yang sejak tadi hanya menyantap setangkup roti tawar hanya geleng-geleng melihat kelakuan sahabatnya itu. Entah monster apa yang dipelihara Abill dalam perutnya. Ia kemudian menyelesaikan kegiatan santap menyantapnya dengan meminum segelas es kopi favoritnya. Ia memang tak pernah bisa lepas dari pengaruh senyawa dengan rasa pahit yang dapat merangsang sistem pusat saraf manusia dan menghilangkan rasa kantuk untuk sementara tersebut. Sampai kemudian, Abill tiba-tiba menghentikan kegiatannya dan meletakkan gelas kopinya, seolah-olah ada sesuatu dari larutan kopi tersebut yang tertelan olehnya.

"Kenapa, Bill?" tanya Aliya. Khawatir.

Yang ditanya hanya memandang ke depan, kemudian matanya berbinar seolah baru melihat pangeran berkuda hitam dengan baju zirah yang membalut tubuh tinggi kekarnya. "Al! Itu Yovie! Yovie yang kamu cari-cari." Heboh, Abill mengucapkannya seolah baru menemukan pangeran yang selama ini dicari-carinya.

Reaksi Aliya tak seheboh Abill. Ia memalingkan wajahnya ke belakang, ke arah dimana mata Abill yang berbinar-binar memandang sosok itu. Ada banyak pria seumurannya berkerumun di meja kasir kantin dan Aliya masih belum tahu, mana yang dimaksud Abill sebagai Yovie.

"Yovie!" dengan keras dan tanpa aba-aba, Abill sudah memanggil nama pria itu. Suaranya lantang, memenuhi sudut-sudut kantin yang tak begitu luas. Tapi hanya satu orang yang menoleh ketika Abill meneriakkan nama itu. Kemudian pria itu keluar dari kerumunan gerombolannya dan datang menghampiri meja mereka bertiga. Pria itu tak seperti pangeran, tidak berkuda, tidak memakai baju zirah atau bertubuh tinggi kekar seperti apa yang seolah-olah tergambar ketika Abill melihatnya tadi.

Jantung Aliya seperti terhenti selama sepersekian detik dari aktivitasnya. Tubuhnya mendadak kaku, seolah ia baru terlempar dari negeri dengan iklim tropis ke kutub selatan dimana dinginnya es yang berlapis-lapis membekukan tubuhnya. Apa maksud Abill memanggil Yovie dan mengundangnya datang menghampiri meja tempatnya duduk. Protes pun tak akan menghentikan langkah pria bernama Yovie untuk mendekati mejanya.

Jantung Aliya kembali melaksanakan aktivitasnya, namun kali ini dua kali lebah cepat dan terasa menghentak. Yovie sudah ada di mejanya, beberapa meter di hadapannya. Kali ini Aliya memberanikan diri menatap wajah pria itu. Kemudian memorinya memutar pada sebuah kejadian beberapa waktu lalu, saat Widi menghampirinya di depan kampus pada hari pertama kuliahnya. Ya! Aliya yakin, pria ini adalah teman Widi, orang yang berboncengan dengan Widi ketika Widi menawarkan bantuannya untuk memboncengkan Aliya pulang. Memang benar, pria yang selama ini menimbulkan tanda tanya besar dalam pikirannya berada tak jauh dengannya, selalu ada di dekatnya, mengamatinya namun ia tidak menyadarinya. Pria ini memperhatikannya.

Rasa penasaran akan wujud pengagum rahasianya terjawab sudah, meskipun banyak pertanyaan yang masih belum ia temukan jawabannya. Tapi baginya, melihat sosok ini sudah lebih dari cukup. Setidaknya, pengagum rahasia itu benar-benar ada. Bukan sekedar orang iseng yang berniat mempermainkannya. Aliya serasa ingin segera pergi dan menghilang dari tempatnya berpijak saat ini, kemanapun, untuk menghindari tatapan pria bernama Yovie. Namun terlambat, pria yang selama beberapa waktu menjadi semacam 'teror' untuknya ini sudah mendaratkan tubuhnya di bangku kosong sebelah Aliya. Kali ini kecepatan denyut jantungnya semakin kencang, menghentak cepat dan menggempur pertahanan mental Aliya. Ia hanya mampu terdiam, kaku, bahkan sekedar memalingkan wajahnya pun ia tak mampu.

"Al! Kenalin, ini namanya Yovie," suara Abill seolah kembali melemaskan tubuh Aliya yang sedari tadi kaku.

Yovie mengulurkan tangan pada Aliya. Sedetik. Dua detik. Aliya belum mau membalasnya. Enggan. Malu. Entah apa yang ia rasakan saat ini. Kemudian baru beberapa saat kemudian Aliya membalasnya dengan senyum kaku dan menjabat tangan Yovie. Dan percakapan antara keduanya pun dimulai, dengan Abill dan Arin yang sesekali menanggapi obrolan mereka berdua. Aliya merasa canggung. Kikuk. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuat Aliya perlahan mulai merasa santai, perlahan akrab, mengajak bicara seolah Aliya adalah sahabat dari masa lalu yang lama tak bersua dengannya. Dan kedekatan itu pun dimulai...

Bersambung...

Sabtu, 12 Oktober 2013

Segi Empat (Chapter 2)

Kamar dengan cat berwarna krem pucat itu nampak rapi dengan berbagai perabot seadanya yang ditata sedemikian rupa agar sang penghuni merasa nyaman. Lemari dua pintu, meja belajar, rak sepatu, kasur dan sebuah televisi kecil nampak berjajar rapi. Kamar itu masih sepi. Sang penghuni belum kembali sejak meninggalkan ruangan ini pagi tadi. Beberapa saat kemudian, saat sinar matahari masih bersinar dengan sepenuh cahayanya, derap langkah kaki memecah keheningan, menapaki anak-anak tangga menuju lantai dua dan berjalan menuju kamar yang terletak paling pojok tersebut. Aliya, sang pemilik kamar, muncul dari balik pintu dengan wajah lelah yang tergurat jelas. Ia melemparkan tubuh mungilnya di atas kasur, membiarkan matanya menatap langit-langit kamar yang kosong.

Bayangannya beralih pada percakapannya dengan Opick yang baru saja lewat. Hanya satu kalimat pertanyaan saja dari Opick, tapi sudah cukup mengguncangkan hatinya. Satu topik yang terus Aliya hindari tapi begitu ingin Opick bahas. Ditya. Hampir tiap percakapannya dengan Opick, ia selalu menyebut nama Ditya, sekedar menanyakan kabar hubungan Aliya dengan Ditya atau lebih seringnya mendesak Aliya agar segera tegas memberikan keputusan akan hubungan mereka. Aliya tidak mengerti apa yang membuat Opick begitu bersemangat mendesak Aliya untuk segera mengakhiri hubungannya dengan Ditya. Mungkin sebagai sahabat, Opick tidak tega melihat Aliya terus terluka dengan sikap dingin Ditya, pikir Aliya. Bagi Opick, sikap Aliya yang terus mencoba bertahan di tengah hubungannya dengan Ditya yang sudah tidak harmonis lagi dipandang sebagai suatu kesia-siaan belaka. Memang. Hubungan Ditya dan Aliya tidak bisa dibilang sebentar. Setahun kebersamaan mereka, tinggal dalam kota yang sama namun tidak ada niat bagi Ditya untuk sekedar bersua dengan Aliya. Sekedar menghubungi lewat pesan singkat pun terbilang jarang. Sikap dingin Ditya pada Aliya seolah tak membuatnya mundur untuk terus mempertahankan hubungan mereka.

Terlepas dari obrolan siangnya dengan Opick mengenai Ditya, ada satu hal yang tak kalah mengusik pikirannya. Opick sedang dekat dengan seorang perempuan. Bukan Aliya. Tapi perempuan lain. Perempuan yang sebenarnya telah memiliki kekasih. Entah mengapa ada sesuatu yang menekan hatinya ketika Opick mengatakan bahwa ia sedang dekat dengan perempuan yang belum ia ketahui siapakah orangnya. Aliya ragu, tidak mungkin perasaan yang muncul ketika ia masih berseragam putih biru itu muncul kembali. Perasaan yang tak terungkapkan karena ia tak berhasil dekat dengan orang yang semasa putih biru membuatnya merasa bodoh karena mengagumi orang yang sama sekali tak dapat ia sentuh. Dan beberapa waktu belakangan, Aliya menganggap bahwa perasaan itu hanya perasaan anak remaja jelang masa puber yang tak dapat dipertanggungjawabkan kedalaman rasanya. Kemudian ia mengubur angan dan mimpi-mimpi masa remajanya karena setelah ia melepas seragam putih birunya, ia tak lagi berjumpa dengan orang itu. Hingga saat rencana Tuhan mempertemukan mereka kembali beberapa tahun kemudian, dalam nuansa yang berbeda, dengan Opick yang semakin dekat bahkan bersahabat dengannya. Aliya masih tak mampu meraba perasaannya sendiri, tak mampu mengenali tanda apakah rasa yang sudah ia simpan sejak lama itu bisa muncul kembali.

Lamunan Aliya terbuyarkan ketika ponsel yang ada di dalam tasnya berdering singkat, tanda ada pesan yang masuk. Aliya merogoh saku depan tas yang masih tergeletak di sampingnya. Buru-buru dibukanya kunci ponsel, berharap itu pesan dari Ditya. Sudah tiga hari ini orang yang mulai ia kenal di akhir masa-masa SMAnya tersebut tidak menghubunginya. Sejenak dahi Aliya mengernyit. Pesan dari nomor baru. Siapa? Aliya membuka pesan tersebut dan membacanya. 

Hai! Kok tadi di kampus duduk sendirian aja. Nungguin siapa, Neng?

Aliya merasa tidak mengenal nomor tersebut. Orang ini pasti tidak jauh dari sekitarnya, pikir Aliya. Darimana orang ini tahu nomornya tapi Aliya tidak mau ambil pusing. Yang ia rasakan saat itu hanya lelah dan ia ingin memejamkan mata barang sekejap saja.

***

Aliya mulai menikmati rutinitasnya sebagai mahasiswa, mulai mengenal teman-teman sekelasnya dan beberapa teman dari kelas lain. Kesibukannya sebagai mahasiswa mulai mereduksi pikiran dan bayangan tentang Ditya. Lama-lama ia mulai terbiasa dengan sikap dingin Ditya. Hanya saja hingga kini, ia masih belum memiliki keberanian untuk mengakhiri hubungannya. Satu lagi yang mengalihkan pikiran Aliya dari Ditya adalah kedekatannya dengan Opick. Meskipun setiap kali berbincang dengannya, Opick lebih sering curhat mengenai Riana, perempuan yang tempo hari diceritakan Opick sebagai gebetan. Dan satu lagi, sosok misterius yang tempo hari menghubunginya lewat pesan singkat, semakin sering mengirimkan pesan-pesannya. Lewat apa yang diutarakan sang pengirim pesan tersebut, Aliya semakin yakin bahwa orang itu tidak jauh dari Aliya. Orang itu memperhatikan setiap gerak-gerik Aliya di kampus.

Sore itu Aliya duduk di balkon kos-nya. Menikmati rintik-rintik hujan yang sedari siang tadi tak kunjung berhenti. Aroma tanah basah yang terguyur hujan menyuguhkan kesegaran baginya. Suasana sepi di jalanan depan kosnya mendadak terpecahkan oleh gelegar suara knalpot motor yang terasa tidak asing di telinganya. Opick, batin Aliya. Ia kemudian bergegas menuruni tangga, membuka pintu gerbang dan mendapati Opick basah kuyup, berkendara tanpa jas hujan yang membalut tubuh atletisnya.

"Hai Kunyil Kucil! Ada makanan nggak? Laper nihhh..." sapa Opick ceria sembari melepas jaket kumalnya yang basah. Dalam keadaan basah pun jaket tersebut makin terlihat kumal.

"Jadi kamu kesini cuma mau minta makan nih? Kamu kira kos-an aku ini warung makan," balas Aliya sewot. Aliya tahu, bukan tanpa alasan Opick datang ke kosnya. Bukan suatu hal yang mungkin, Opick mendadak datang ke kosnya tanpa alasan atau hanya sekedar berbasa-basi. Pasti ada hal yang ingin diceritakannya.

"Habis darimana kamu? Kok kayaknya hepi banget gitu?" tanya Aliya.

"Habis jalan-jalan sama Riana," jawab Opick dengan nada gembira. Seolah-olah itulah satu-satunya hal yang membawanya datang ke kos Aliya. Bercerita dengan bangganya bahwa dia baru saja melakukan kencan pertama dengan sosok perempuan yang sedang didekatinya.

"Oh," sahut Aliya singkat. "Jadi kamu ke sini cuma mau cerita soal ini?"

Opick tertawa seolah ucapan Aliya itu baru terlontar dari mulut seorang pelawak yang sedang melucu. "Kamu kenapa sih, Al? Kok kayaknya sensi banget. Padahal aku belum sampai ke poin pentingnya lho."

"Jadi poin pentingnya apa nih?"

"Kamu udah cari tahu soal Benny belum?"

"Penting banget ya buat kamu? Kenapa kamu nggak cari tahu sendiri aja," sahut Aliya kesal. Belakangan Opick terus meminta Aliya mencari tahu soal Benny, orang yang katanya satu angkatan dan satu jurusan dengannya, tapi sampai sekarang pun juga tak pernah Aliya tahu sosoknya.

"Aku capek. Tugasku juga masih banyak yang belum aku kerjain. Aku naik ke atas dulu ya. Kamu kalo mau pulang, pulang aja." Aliya berlalu meninggalkan Opick yang masih terpaku, bertanya-tanya apa yang membuat Aliya belakangan ini begitu sensitif dengan setiap perkataan yang diucapkannya. Aliya sendiri juga tidak tahu apa yang membuatnya begitu malas setiap kali Opick menyinggung soal Riana dan segala hal yang berkaitan dengan perempuan itu.

Kamar ukuran 3x3 meter itu kembali menyambut Aliya yang masuk dengan langkah gontai. Diambilnya ponsel yang tergeletak di meja. Pesan singkat lagi. Dari nomor misterius yang sama yang tempo hari selalu mengirimkan pesan untuknya. Entah apa yang membuat Aliya kemudian tergerak untuk mencari tahu siapa orang itu. Aliya kemudian ingat secarik kertas berisi nomor-nomor 40-an mahasiswa di kelas yang dibuat beberapa hari lalu dan kemudian dibagi-bagikan kepada sesama teman sekelas agar mudah jika ada tugas dan ingin menghubungi satu sama lain. Aliya begitu yakin, pemilik nomor itu berada satu kelas dengannya.

Ia mengambil tas ransel hitamnya, kemudian meraih binder dan mengambil kertas yang terselip di antara kertas-kertas yang ada di binder tersebut. Dipindainya sekilas daftar nama dan nomor yang tertera dari urutan abjad paling awal. Hingga urutan nama menunjukkan huruf 'S', tidak ada tanda yang mengisyaratkan bahwa pemilik nomor itu ada di kelasnya. Tidak ada nomor yang sama dengan nomor yang tempo hari ia abaikan, tapi semakin lama semakin membuatnya penasaran dengan siapa pemiliknya. Siapa yang ada di balik misi pengintaian rahasia yang menjadikannya sebagai obyek pengamatan. Hingga akhirnya ia menemukan nomor dengan susunan sama yang selama ini memunculkan satu pertanyaan besar dalam benaknya, siapa orang itu. Nomor yang ia temukan di urutan paling akhir. Yoviansyah Primadana...

Bersambung...

Rabu, 09 Oktober 2013

Segi Empat (Chapter 1)

Warna biru cerah mendominasi langit pagi itu dengan bonus sinar matahari yang terik. Seolah mengajak semua yang ada di bawah sinarnya untuk memulai hari baru dengan penuh semangat menatap masa depan. Aliya salah satu sosok yang ada di bawah sinar sang mentari pagi itu. Matanya nanar menatap gedung tempatnya berpijak. Luas, besar dan banyak orang asing. Ia merasa seperti tak lagi berpijak di lantai bumi. Atau dia lah yang justru adalah alien yang menyusup masuk ke bumi. Entahlah, tapi Aliya merasa sangat baru di tempatnya saat itu. Semua serba asing. Meskipun tempat itu tak jauh dari rumahnya, kota dimana ia berasal. Tapi wajah-wajah di tempat itu, tidak ada satupun yang dikenalnya. Dia sendiri, berjalan tanpa arah.

Aliya tahu, kalaupun ia merasa kebingungan, orang-orang tersebut paham dengan bahasa yang ia gunakan untuk bertanya. Namun ia tidak memiliki cukup keberanian untuk memulai. Semua bergerombol seolah-olah sudah akrab puluhan tahun lamanya. Gerombolan terkotak-kotak yang secara alami dipilah-pilah sesuai dengan minat, gaya dan status sosialnya. Sedangkan ia sendiri, kesulitan beradaptasi. Sampai pada akhirnya, pandangan matanya jatuh pada kumpulan perempuan yang berpenampilan tak jauh darinya. Duduk bergerombol di anak-anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. Dengan langkah ragu, dihampirinya kumpulan orang itu. Tak banyak. Hanya tiga orang. Hingga langkahnya terhenti di hadapan salah satu dari mereka yang sedang asyik menimpali candaan lainnya dengan tertawa. Kemudian tawanya terhenti seketika melihat Aliya.

"Ma... maaf... Kamu mahasiswa baru komunikasi juga kan? Semester satu? Kelas A?" tanya Aliya ragu-ragu sambil terus memegang erat tali tasnya. Gugup.

"Iya. Kita semua komunikasi semester satu, kelas A. Kamu juga?" jawabnya dengan nada ramah dan senyum manis mengembang di bibirnya. Aliya lega.

"Iya. Tadi saya hampir salah masuk kelas. Saya tadi hampir ikut kelas sosiologi. Saya nggak tau dimana temen-temen komunikasi yang lainnya."

Perempuan itu tertawa terkekeh. "Kok bisa sih? Lha temen-temen kamu mana? Minimal temen kamu waktu ospek lah. Masak iya nggak ada satu dari kelompok kamu yang dari jurusan komunikasi?"

"Aku nggak punya temen di sini," jawab Aliya lugu. Lirih sedikit sedih dan memelas. 

"Kalau temen ospek ada sih. Tapi cowok. Itu," kata Aliya sambil menunjuk sosok tambun yang duduk di anak tangga atas mereka. Bergerombol bersama kumpulan makhluk berjakun yang mungkin juga mahasiswa komunikasi sepertinya. Yang ditunjuk pun merasa dan melambai-lambaikan tangannya pada Aliya. Sampai akhirnya ia merasa bahwa tak hanya teman sekelompok saat ospeknya itu yang memandangnya. Ada sepasang mata lain dalam gerombolan itu yang tanpa ia sadari terus menatapnya dari kejauhan. Aliya tak menghiraukannya.

Perkenalan itu pun dimulai. Sosok perempuan ceria yang pertama menyapanya itu bernama Syabilla Nurida. "Panggilnya Abill ya? Abill, nggak pake "L" di depan," ujarnya sambil tertawa renyah. Kemudian satu perempuan lagi dengan rambut panjang dikuncir kuda yang nampaknya sudah begitu akrab dengan Abill. Namanya Arin Arum Wijaya. Dan satu perempuan dengan hijab kuning gading dengan logat Jakarta, Melinna Dwianggiani. Abill, Arin dan Melinna. Aliya akan terus mengingat nama mereka sebagai orang pertama yang ia kenal di tempat ini. Kemudian mereka tenggelam dalam percakapan hangat seolah mereka pernah kenal akrab di suatu tempat, terpisahkan begitu lama oleh waktu dan bertemu kembali seperti sahabat lama yang terpisahkan oleh selang waktu yang panjang. Masih Aliya tak sadari, sepasang mata itu terus mengekor gerak-geriknya, menikmati setiap lekuk senyum di bibirnya dan gelak tawa yang sesekali muncul dari candaan yang dilontarkan teman-teman barunya. Matanya tak pernah luput menatap Aliya...

***

Kuliah perdana pagi itu diawali dari mata kuliah pengantar ilmu komunikasi yang berakhir pukul sepuluh pagi. Setelah beberapa menit berbincang dengan Abill, Arin, Melinna dan beberapa teman baru lainnya usai jam kuliah, ia bergegas berjalan keluar dari gedung fakultasnya. Duduk di bangku dekat pos satpam, menanti sosok yang berjanji akan menjemputnya. Semilir angin yang bertiup di sela pohon-pohon tinggi besar yang menaungi kampus itu sesekali menyibakkan rambut sebahu Aliya. Ia begitu menikmatinya. Pohon-pohon itu bagai penyelamat dan penyejuk cuaca yang belum juga tengah siang sudah terasa panasnya. Kemudian sayup-sayup terdengar ada yang memanggil namanya di tengah deru suara motor yang melaju dari dalam parkiran kampus. Sumber suara itu bukan dari sosok yang ditunggunya. Kemudian suara itu berhenti bersamaan dengan seorang pria tambun yang berboncengan dengan sosok pria yang tak dikenalnya. 

"Widi?" sapa Aliya pada pria tambun itu. Ya, Widi, teman sekelompoknya saat ospek dan sama-sama mahasiswa komunikasi. Tambun,  supel, slengean, tapi otaknya cerdas.

"Nungguin siapa, Al? Pacar?" tanya Widi dengan nada menggoda.

"Bukan. Nungguin temen kok."

"Temen apa temen? Temen hidup?" Widi masih terus menggoda, kali ini dengan tawa menggelegarnya yang khas.

"Bukan. Beneran temen kok."

"Bareng kita aja. Daripada nungguin lama," Widi menawarkan bantuan.

Aliya terkekeh. "Trus aku mau kamu taruh dimana? Di ban?"

"Ya nggak lah. Aku turun. Nungguin di sini. Biar temenku yang anter kamu sampai ke kos." Nada ikhlas kentara saat Widi menawarkan bantuannya, sembari menepuk bahu temannya yang sedari tadi diam tak bicara.

"Nggak usah. Aku udah janji kok sama temenku ini. Paling sebentar lagi dia nyampe. Kalian duluan aja," Aliya menolak.

"Beneran nih??"

Aliya mengangguk mantap. Kemudian Widi dan temannya itu berlalu. Tanpa Aliya ketahui, ada satu orang yang terus mengamatinya dari pantulan kaca spion motor yang berlalu meninggalkan kompleks kampus itu.

Beberapa menit berselang, seseorang yang ditunggu Aliya datang. Pria dengan style acak-acakan, jaket biru kumal, celana jeans belel dan kusam, serta wajah dekil seolah belum mandi berhari-hari. Ia nampak gahar dengan tubuhnya yang atletis serasi dengan motor custom seperti motor balap yang dikendarainya. Aliya menyambutnya dengan hangat dan akrab. Opick, begitu Aliya memanggilnya. Teman SMP, tapi justru baru kenal dekat ketika mereka hampir lulus SMA. Itu pun kenal dari teman Aliya yang ternyata juga kenal dekat dengan Opick. Siang itu, Opick akan memenuhi janjinya pada Aliya. Beberapa waktu lalu, Opick berjanji pada Aliya, akan berbagi hasil jerih payahnya memenangkan kontes freestyle motor. Ya, Opick adalah atlet freestyle motor. Hobi yang sudah ditekuninya sejak SMA itu telah membawanya menjadi juara di berbagai kontes di sebagian besar kota di Indonesia.

***

Pilihan mereka siang itu untuk mengobati rasa lapar mereka adalah di sebuah warung mie ayam. Tidak ada pilihan lain karena bukan merupakan ide yang bagus jika menuruti kemauan Aliya yang sangat suka menyantap nasi goreng. Nasi goreng bukan makanan yang cocok untuk disantap siang itu. Tujuan mereka adalah warung mie ayam jamur belakang kampus. Aliya bukan tipikal perempuan yang rewel soal tempat makan. Baginya, makan dimanapun sama saja, asal cocok dengan lidah dan kantongnya, bahkan di angkringan sekalipun.

"Al, kamu kenal Benny?" tanya Opick, memulai percakapan sembari menunggu tibanya pesanan mereka.

"Benny? Siapa?" Aliya malah balik bertanya.

"Anak komunikasi. Angkatan kamu juga."

"Nggak. Orang baru masuk kuliah sehari, itu aja baru kenal beberapa. Ntar deh, coba aku cariin orangnya. Emang kenapa? Benny itu gebetan kamu ya?"

"Yaelah!! Aku masih doyan perempuan wooyy!! Yakali pacaran sama cowok. Ente kira ane hombreng?!"

Aliya terkekeh. Sebab selama ia kenal Opick, belum pernah sekalipun ia terlihat menggandeng cewek selain dia sebagai sahabatnya. Meskipun Opick pernah cerita bahwa sebelum bersahabat dekat dengan Aliya, Opick juga pernah beberapa kali menjalin asmara dengan beberapa wanita, tapi cerita Opick tak cukup membuat Aliya percaya bahwa ia adalah lelaki tulen.

"Terus? Benny itu siapa?" Aliya mulai berhenti tertawa dan mulai mengembalikan topik pada sosok bernama Benny yang sama-sama tak mereka kenal itu.

"Aku lagi dekat sama cewek, Al."

Jantung Aliya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik. Kemudian kembali dengan detakan yang lebih keras dan cepat seolah-olah ingin menggempur dinding-dinding dadanya.

"Siapa? Terus apa hubungannya sama Benny?" tanya Aliya pelan dan dengan nafas tertahan. Menahan detak jantung yang terus menghantam dan melemahkan geraknya.

"Benny itu... pacarnya."

"Jadi kamu deket sama cewek yang udah punya pacar?? Mau kamu rebut?? Kamu udah gila, boy!! Aku nggak mau bantu kalo soal ini."

"Siapa juga yang mau minta bantuan situ??" Opick tertawa terbahak-bahak, mencoba memecah kekakuan di antara mereka yang perlahan juga ia rasakan. Aliya memasang tampang kecut melihat reaksi Opick.

"Trus, apa kabar nih kamu sama si Kambing itu?" Pertanyaan Opick kali ini benar-benar menohok hati Aliya. Jauh lebih menohok daripada ketika Opick mengatakan bahwa ia sedang dekat dengan seorang wanita. Aliya tahu siapa yang ia maksud "Kambing" itu. Ditya, pria yang sudah beberapa tahun ini menjalin hubungan yang katanya 'pacaran' namun begitu acuh, dingin dan cuek pada Aliya selama lebih dari setengah waktunya berhubungan dengan Aliya. Sekejap, rasa sakit yang bersumber dari hatinya, menjalar ke sekujur tubuhnya, membuatnya merasa kaku, termasuk bibirnya. Butuh waktu beberapa detik bagi Aliya untuk menjawab pertanyaan Opick yang terasa seribu kali lebih sulit dari soal SNMPTN yang telah mengantarnya masuk ke kampus idamannya.

"Saya lagi nggak mau bahas itu," jawab Aliya. Kaku. Dingin. Kemudian hening dan kedinginan suasana di tengah cuaca terik Kota Solo itu terus berlanjut hingga mereka pulang ke kos masing-masing.

Bersambung...

Kamis, 03 Oktober 2013

About MOVE ON


So many times I hear about this word, "MOVE ON". Well, it just like something that easy to say but hard to do. Sesuatu yang dengan mudahnya bisa kita katakan, tetapi sulit untuk dilakukan.

Move on. Pernah kan, waktu putus, kemudian temen-temen kamu memotivasi kamu untuk move on? Untuk segera bangkit dari keterpurukan pasca putus cinta, apalagi yang cintanya udah menohok di hati dan biasanya down nggak terkira.


Ada yang bener-bener niat buat move on; ada yang move on-nya cuma di mulut; ada yang move on di pikirannya, tapi nggak di hatinya; ada juga yang sama sekali nggak niat buat move on. Ahh, macem-macem rupa move on itu.

Ada juga yang bisa move on karena menemukan sosok yang lebih baik. Tapi bukan berarti kamu bisa memaksakan diri untuk mencari pengganti. Setelah putus, selang beberapa jam, hari, minggu, udah cari pacar baru. Dengan pikiran bahwa move on itu soal cepet-cepetan cari pacar lagi. Dengan harapan bisa melupakan mantan melalui kekasih baru. Dengan niatan biar dikira bisa move on duluan. Kadang orang berpikir bahwa move on duluan itu menunjukkan bahwa kamu bisa melupakannya! Kamu bisa tanpanya! Bahwa tanpa disadari, jauh di dalam hatimu (yang saking jauh dan dalamnya, kamu sampai nggak menyadari) kamu masih memikirkannya, masih suka stalking sosial media-nya, hatimu masih bergetar ketika mendengar namanya, perasaanmu panas ketika melihatnya bersama yang lain. Itu BUKAN MOVE ON!!

As I said on my tweet a few times ago, Move on itu bukan soal gengsi dengan buru-buru cari ganti. Move on itu soal menata hati, sampai kemudian menemukan yang lebih baik lagi. Move on itu bukan soal seberapa cepat kamu bisa melupakannya. Bukan soal seberapa cepat kamu bisa cari penggantinya. Ya sia-sia aja sih kalo kamu dapet ganti, tapi nggak sepenuh hati. Malah nambah-nambahin dosa karena  bohong sama dirimu, perasaanmu dan orang yang sudah mau menjadi pengganti dari mantanmu. Move on itu proses alami, datengnya dari hati. Jadi kalaupun kamu ingin memulai hubungan lagi, pastikan bahwa niatan kamu bukan buat alasan move on, tapi karena kamu memang benar-benar menemukan sesuatu di dalam dirinya yang kamu yakini bisa membuatmu tersenyum bahagia saat ini, saat kamu menemukannya dan suatu saat nanti. Sesuatu yang membuatmu kembali merasakan indahnya jatuh cinta lagi.

Berdasarkan pengalaman hidup saya, move on bukan soal melupakan. Kita bukan robot atau komputer yang bisa dengan mudahnya men-delete dan membuang file-file yang ingin kita lupakan. Move on adalah saat dimana kita benar-benar bisa dengan ikhlasnya BERHENTI BERHARAP BAHWA DIA AKAN KEMBALI LAGI! Entah karena saat itu kamu sudah menemukan pengganti atau memang karena waktu yang menuntunmu untuk mengikhlaskannya pergi dan berbahagia bersama yang lain.

Rabu, 02 Oktober 2013

Manfaat Memakai Masker

Hollaaa blogreader!! kali ini saya mau bahas soal manfaat memakai masker. Bukan masker yang biasa diolesin di wajah buat kosmetik lho. Iya, bukan masker yang diolesin ke wajah trus bikin orang yang make jadi kayak hantu muka rata yang nggak bisa ngomong dan makin melotot kalo kita ajak bicara, soalnya kalo gerak dikit bakal pecaaahh deh, kelihatan wujud wajah asli dari si pemakai (halaahh). Yang saya maksud di sini adalah masker yang biasa kita pake buat nutupin hidung. Biasanya sih dipake kalo lagi naik motor atau lagi di ruangan luar yang udaranya kotor.

Nah, kalo kita ke Jepang kita juga bakal ngeliat banyak orang pake masker, terutama pas fall (musim gugur) dan winter (musim dingin). Masker itu membantu mereka supaya tidak sakit terkena udara dingin juga menghalau udara bagi sebagian orang yang memiliki masalah alergi. Jadi masker ini cukup penting digunakan saat berada di Jepang. Apalagi kalo di Indonesia, dimana jumlah kendaraan yang ada setiap tahunnya semakin meningkat dan itu kendaraan semuanya ngeluarin asap, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.

Orang-orang Jepang pada pake masker
Nah, jadi apa sih manfaat pake masker ini. Kalo menurut saya sih lebih bermanfaat masker ini ya daripada masker kosmetik itu. Harganya juga jauh lebih murah. Lima ribu boleh lah yaaa atau seribuan buat yang sekali pake (Lhoh, kok saya jadi kayak penjual masker, hahaha). Soalnya kalo masker kosmetik sih paling cuma buat kecantikan luar aja. Habis itu dibilas juga ilang. (Yaiyalah, kalo nggak dibilas malah bikin ngeri yang ngeliat -,-). Kalo masker yang ini, bisa bermanfaat luar dalem. Simak aja ulasan saya yang berikut ini. Cekinyoott!

1. Melindungi pernapasan dari polusi udara
Nah! Ini fungsi penting dari segi kesehatan. Apalagi buat yang naik motor atau kendaraan umum atau ada di kawasan industri dan jalan raya. Bayangin aja deh, sekarang udah berapa juta motor dan mobil bertebaran di jalan, ditambah lagi truk-truk dan bis-bis tua (mungkin mereka pegang prinsip makin tua makin jadi. iye sih, makin jadi; jadi masalah buat temen2 lain di jalan -,-) yang masih nekat beroperasi sampe kadang ngeluarin asap yang itemnya ngalahin itemnya pantat wajan. Bayangin aja semua kendaraan itu ngeluarin asap, baik yang banyak maupun yang dikit atau yang keliatan maupun yang tidak terlihat asapnya seperti siluman (ada bau asap tapi nggak ada wujud asapnya. Nah loh!). Bayangin aja, asap segitu banyaknya keluar tapi nggak ada yang mau nyedot (Iiiih, saya mah ogah!) kemudian menguap di udara dan dihirup jutaan manusia (lebay -,-). Bayangin aja kalo tiap hari kita menghirup udara kotor itu tanpa adanya perlindungan. Dari luar aja udah item gitu, gimana kalo masuk ke paru-paru. Hiiii, ngeriii! makanya, pake masker ya. Apalagi buat kamu yang sering naik  motor jarak jauh. Saya yang jarak deket aja nggak pernah lupa pake masker. Tapi dari segi polusi udara, masker mungkin akan mulai nggak berguna kalo ada banyak pohon yang ditanam di sepanjang jalan dan jalur hijau karena tugas menyedot udara kotor ini bukan lagi milik manusia tapi pohon-pohon yang secara sukarela dan karena simbiosis butuh-ahlisme menyedot karbondioksida dari asap tersebut. 

2. Melindungi kulit wajah dari sengatan sinar matahari
Suka males pake krim es-pe-ef berapa gitu yang kadang lengket di wajah, yang katanya sih bisa melindungi kulit dari sengatan sinar matahari. Udah gitu mahal lagi (-,-). Ya kalo saya sih, lebih nyaman pake masker atau slayer yang menutupi dari hidung sampe mulut. Selebihnya daerah mata bisa pake kacamata item yang gedenya sewajah itu. Apalagi yang kalo berkendara suka bertemu dan bertatapan langsung, face to face, empat mata, sama matahari.

3. Buat gaya
Masker dengan motif lucu bin unyu-unyu
Sekarang banyak loh masker dengan motif dan gambar macem2. Lumayan kan, bisa sekalian buat gaya. Malah temen saya ada yang punya masker dengan hiasan boneka kecil unyu-unyu di depannya. Duuuh, rasanya pengen nyopot deh. Bonekanya aja sih, maskernya nggak.

4. Menyembunyikan wajah
Nah! Ini menurut saya point yang paling penting. Masker bisa dipake buat menyembunyikan wajah. Setidaknya sebagian dari wajah kita. Kenapa mesti sembunyi? Ya di jalan yang penuh dengan jutaan kemungkinan, kekonyolan dan hal-hal menjengkelkan, kadang membuat kita rasanya pengen sembunyi dan nggak dikenali. Ya bukannya ngerasa sok dikenal sih, macem artis yang kemana-mana banyak yang kenal atau tahu (artis aja juga kadang ada yang nggak kenal), tapi buat jaga-jaga aja sih. Misalnya, di jalan kamu nglaksonin orang terus-terusan saking jengkelnya sama itu orang. Trus orang yang kamu klaksonin jadi ikutan mangkel dan ngeliatin kamu, eh ternyata itu orang kenal sama kamu. Misalnya guru kamu atau tetangga kamu, atau parahnya emak kamu sendiri. Nah! Ini baru namanya disaster. Kalo dia guru kamu, jangan salahin kalo besoknya nilai kamu yang harusnya B jadi C. Atau kalo tetangga kamu, jangan marah-marah kalo di rumahnya lagi ada kondangan dan kamu nggak dapet jatah hantaran kue atau makanan, hahaha. Beda kalo pake masker, setidaknya wajah  kita tersamarkan. Atau mungkin kamu nggak kenal orang itu, tapi kemudian di suatu tempat atau suatu waktu, ternyata orang itu adalah bapak dari pacar kamu, atau interviewer dari perusahaan yang kamu lamar dan masih inget sama wajah kamu. Siapa tahu, kejadian menyebalkan yang terjadi antara kalian berdua di jalan tempo hari masih teringat jelas dalam benak beliau dan masih menyisakan kekesalan dalam hatinya. Nahloh, nggak mau kan gagal jadi menantu idaman? Nggak mau kan ditolak kerja? Makanya pake masker biar wajah kalian terselamatkan ketika melakukan suatu kesalahan dan kekonyolan di jalan (halah, uopooooh to iki -,-). Pake masker juga bisa menyelamatkan kalian dari pandangan kecewa lawan-lawan jenis setelah melihat wujud asli di balik helm berkaca bening tanpa masker. Duuh, mas/mbak motornya keren banget sih. Stylenya oke. Pas dilihat wajahnya, duuuhh ZONK! -___-". Nggak mau kan kalian diliat cewek-cowok dengan pandangan seperti itu. 

Oke. Sekian saja posting (yang menurut saya) paling nggak jelas, absurd, konyol dan maksa yang pernah saya post di blog. Kalo kecewa, jangan banting laptop atau kompi nya ya. Saya tidak bertanggung jawab atas kerusakan gadget atau perasaan dalam hati anda setelah membaca posting saya kali ini. *kemudian kabuuurrrrrrr*