Rabu, 09 Oktober 2013

Segi Empat (Chapter 1)

Warna biru cerah mendominasi langit pagi itu dengan bonus sinar matahari yang terik. Seolah mengajak semua yang ada di bawah sinarnya untuk memulai hari baru dengan penuh semangat menatap masa depan. Aliya salah satu sosok yang ada di bawah sinar sang mentari pagi itu. Matanya nanar menatap gedung tempatnya berpijak. Luas, besar dan banyak orang asing. Ia merasa seperti tak lagi berpijak di lantai bumi. Atau dia lah yang justru adalah alien yang menyusup masuk ke bumi. Entahlah, tapi Aliya merasa sangat baru di tempatnya saat itu. Semua serba asing. Meskipun tempat itu tak jauh dari rumahnya, kota dimana ia berasal. Tapi wajah-wajah di tempat itu, tidak ada satupun yang dikenalnya. Dia sendiri, berjalan tanpa arah.

Aliya tahu, kalaupun ia merasa kebingungan, orang-orang tersebut paham dengan bahasa yang ia gunakan untuk bertanya. Namun ia tidak memiliki cukup keberanian untuk memulai. Semua bergerombol seolah-olah sudah akrab puluhan tahun lamanya. Gerombolan terkotak-kotak yang secara alami dipilah-pilah sesuai dengan minat, gaya dan status sosialnya. Sedangkan ia sendiri, kesulitan beradaptasi. Sampai pada akhirnya, pandangan matanya jatuh pada kumpulan perempuan yang berpenampilan tak jauh darinya. Duduk bergerombol di anak-anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. Dengan langkah ragu, dihampirinya kumpulan orang itu. Tak banyak. Hanya tiga orang. Hingga langkahnya terhenti di hadapan salah satu dari mereka yang sedang asyik menimpali candaan lainnya dengan tertawa. Kemudian tawanya terhenti seketika melihat Aliya.

"Ma... maaf... Kamu mahasiswa baru komunikasi juga kan? Semester satu? Kelas A?" tanya Aliya ragu-ragu sambil terus memegang erat tali tasnya. Gugup.

"Iya. Kita semua komunikasi semester satu, kelas A. Kamu juga?" jawabnya dengan nada ramah dan senyum manis mengembang di bibirnya. Aliya lega.

"Iya. Tadi saya hampir salah masuk kelas. Saya tadi hampir ikut kelas sosiologi. Saya nggak tau dimana temen-temen komunikasi yang lainnya."

Perempuan itu tertawa terkekeh. "Kok bisa sih? Lha temen-temen kamu mana? Minimal temen kamu waktu ospek lah. Masak iya nggak ada satu dari kelompok kamu yang dari jurusan komunikasi?"

"Aku nggak punya temen di sini," jawab Aliya lugu. Lirih sedikit sedih dan memelas. 

"Kalau temen ospek ada sih. Tapi cowok. Itu," kata Aliya sambil menunjuk sosok tambun yang duduk di anak tangga atas mereka. Bergerombol bersama kumpulan makhluk berjakun yang mungkin juga mahasiswa komunikasi sepertinya. Yang ditunjuk pun merasa dan melambai-lambaikan tangannya pada Aliya. Sampai akhirnya ia merasa bahwa tak hanya teman sekelompok saat ospeknya itu yang memandangnya. Ada sepasang mata lain dalam gerombolan itu yang tanpa ia sadari terus menatapnya dari kejauhan. Aliya tak menghiraukannya.

Perkenalan itu pun dimulai. Sosok perempuan ceria yang pertama menyapanya itu bernama Syabilla Nurida. "Panggilnya Abill ya? Abill, nggak pake "L" di depan," ujarnya sambil tertawa renyah. Kemudian satu perempuan lagi dengan rambut panjang dikuncir kuda yang nampaknya sudah begitu akrab dengan Abill. Namanya Arin Arum Wijaya. Dan satu perempuan dengan hijab kuning gading dengan logat Jakarta, Melinna Dwianggiani. Abill, Arin dan Melinna. Aliya akan terus mengingat nama mereka sebagai orang pertama yang ia kenal di tempat ini. Kemudian mereka tenggelam dalam percakapan hangat seolah mereka pernah kenal akrab di suatu tempat, terpisahkan begitu lama oleh waktu dan bertemu kembali seperti sahabat lama yang terpisahkan oleh selang waktu yang panjang. Masih Aliya tak sadari, sepasang mata itu terus mengekor gerak-geriknya, menikmati setiap lekuk senyum di bibirnya dan gelak tawa yang sesekali muncul dari candaan yang dilontarkan teman-teman barunya. Matanya tak pernah luput menatap Aliya...

***

Kuliah perdana pagi itu diawali dari mata kuliah pengantar ilmu komunikasi yang berakhir pukul sepuluh pagi. Setelah beberapa menit berbincang dengan Abill, Arin, Melinna dan beberapa teman baru lainnya usai jam kuliah, ia bergegas berjalan keluar dari gedung fakultasnya. Duduk di bangku dekat pos satpam, menanti sosok yang berjanji akan menjemputnya. Semilir angin yang bertiup di sela pohon-pohon tinggi besar yang menaungi kampus itu sesekali menyibakkan rambut sebahu Aliya. Ia begitu menikmatinya. Pohon-pohon itu bagai penyelamat dan penyejuk cuaca yang belum juga tengah siang sudah terasa panasnya. Kemudian sayup-sayup terdengar ada yang memanggil namanya di tengah deru suara motor yang melaju dari dalam parkiran kampus. Sumber suara itu bukan dari sosok yang ditunggunya. Kemudian suara itu berhenti bersamaan dengan seorang pria tambun yang berboncengan dengan sosok pria yang tak dikenalnya. 

"Widi?" sapa Aliya pada pria tambun itu. Ya, Widi, teman sekelompoknya saat ospek dan sama-sama mahasiswa komunikasi. Tambun,  supel, slengean, tapi otaknya cerdas.

"Nungguin siapa, Al? Pacar?" tanya Widi dengan nada menggoda.

"Bukan. Nungguin temen kok."

"Temen apa temen? Temen hidup?" Widi masih terus menggoda, kali ini dengan tawa menggelegarnya yang khas.

"Bukan. Beneran temen kok."

"Bareng kita aja. Daripada nungguin lama," Widi menawarkan bantuan.

Aliya terkekeh. "Trus aku mau kamu taruh dimana? Di ban?"

"Ya nggak lah. Aku turun. Nungguin di sini. Biar temenku yang anter kamu sampai ke kos." Nada ikhlas kentara saat Widi menawarkan bantuannya, sembari menepuk bahu temannya yang sedari tadi diam tak bicara.

"Nggak usah. Aku udah janji kok sama temenku ini. Paling sebentar lagi dia nyampe. Kalian duluan aja," Aliya menolak.

"Beneran nih??"

Aliya mengangguk mantap. Kemudian Widi dan temannya itu berlalu. Tanpa Aliya ketahui, ada satu orang yang terus mengamatinya dari pantulan kaca spion motor yang berlalu meninggalkan kompleks kampus itu.

Beberapa menit berselang, seseorang yang ditunggu Aliya datang. Pria dengan style acak-acakan, jaket biru kumal, celana jeans belel dan kusam, serta wajah dekil seolah belum mandi berhari-hari. Ia nampak gahar dengan tubuhnya yang atletis serasi dengan motor custom seperti motor balap yang dikendarainya. Aliya menyambutnya dengan hangat dan akrab. Opick, begitu Aliya memanggilnya. Teman SMP, tapi justru baru kenal dekat ketika mereka hampir lulus SMA. Itu pun kenal dari teman Aliya yang ternyata juga kenal dekat dengan Opick. Siang itu, Opick akan memenuhi janjinya pada Aliya. Beberapa waktu lalu, Opick berjanji pada Aliya, akan berbagi hasil jerih payahnya memenangkan kontes freestyle motor. Ya, Opick adalah atlet freestyle motor. Hobi yang sudah ditekuninya sejak SMA itu telah membawanya menjadi juara di berbagai kontes di sebagian besar kota di Indonesia.

***

Pilihan mereka siang itu untuk mengobati rasa lapar mereka adalah di sebuah warung mie ayam. Tidak ada pilihan lain karena bukan merupakan ide yang bagus jika menuruti kemauan Aliya yang sangat suka menyantap nasi goreng. Nasi goreng bukan makanan yang cocok untuk disantap siang itu. Tujuan mereka adalah warung mie ayam jamur belakang kampus. Aliya bukan tipikal perempuan yang rewel soal tempat makan. Baginya, makan dimanapun sama saja, asal cocok dengan lidah dan kantongnya, bahkan di angkringan sekalipun.

"Al, kamu kenal Benny?" tanya Opick, memulai percakapan sembari menunggu tibanya pesanan mereka.

"Benny? Siapa?" Aliya malah balik bertanya.

"Anak komunikasi. Angkatan kamu juga."

"Nggak. Orang baru masuk kuliah sehari, itu aja baru kenal beberapa. Ntar deh, coba aku cariin orangnya. Emang kenapa? Benny itu gebetan kamu ya?"

"Yaelah!! Aku masih doyan perempuan wooyy!! Yakali pacaran sama cowok. Ente kira ane hombreng?!"

Aliya terkekeh. Sebab selama ia kenal Opick, belum pernah sekalipun ia terlihat menggandeng cewek selain dia sebagai sahabatnya. Meskipun Opick pernah cerita bahwa sebelum bersahabat dekat dengan Aliya, Opick juga pernah beberapa kali menjalin asmara dengan beberapa wanita, tapi cerita Opick tak cukup membuat Aliya percaya bahwa ia adalah lelaki tulen.

"Terus? Benny itu siapa?" Aliya mulai berhenti tertawa dan mulai mengembalikan topik pada sosok bernama Benny yang sama-sama tak mereka kenal itu.

"Aku lagi dekat sama cewek, Al."

Jantung Aliya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik. Kemudian kembali dengan detakan yang lebih keras dan cepat seolah-olah ingin menggempur dinding-dinding dadanya.

"Siapa? Terus apa hubungannya sama Benny?" tanya Aliya pelan dan dengan nafas tertahan. Menahan detak jantung yang terus menghantam dan melemahkan geraknya.

"Benny itu... pacarnya."

"Jadi kamu deket sama cewek yang udah punya pacar?? Mau kamu rebut?? Kamu udah gila, boy!! Aku nggak mau bantu kalo soal ini."

"Siapa juga yang mau minta bantuan situ??" Opick tertawa terbahak-bahak, mencoba memecah kekakuan di antara mereka yang perlahan juga ia rasakan. Aliya memasang tampang kecut melihat reaksi Opick.

"Trus, apa kabar nih kamu sama si Kambing itu?" Pertanyaan Opick kali ini benar-benar menohok hati Aliya. Jauh lebih menohok daripada ketika Opick mengatakan bahwa ia sedang dekat dengan seorang wanita. Aliya tahu siapa yang ia maksud "Kambing" itu. Ditya, pria yang sudah beberapa tahun ini menjalin hubungan yang katanya 'pacaran' namun begitu acuh, dingin dan cuek pada Aliya selama lebih dari setengah waktunya berhubungan dengan Aliya. Sekejap, rasa sakit yang bersumber dari hatinya, menjalar ke sekujur tubuhnya, membuatnya merasa kaku, termasuk bibirnya. Butuh waktu beberapa detik bagi Aliya untuk menjawab pertanyaan Opick yang terasa seribu kali lebih sulit dari soal SNMPTN yang telah mengantarnya masuk ke kampus idamannya.

"Saya lagi nggak mau bahas itu," jawab Aliya. Kaku. Dingin. Kemudian hening dan kedinginan suasana di tengah cuaca terik Kota Solo itu terus berlanjut hingga mereka pulang ke kos masing-masing.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar