Minggu, 13 Oktober 2013

Segi Empat (Chapter 3)

Yoviansyah Primadana. Nama itu terus muncul di benak Aliya sejak semalam tadi. Ia masih enggan membalas pesan dari sosok misterius yang kini sudah ia tahu namanya itu, ada di sekitarnya, satu kelas dengannya, tak berada jauh darinya. Namun ia masih belum mengetahui pasti wujud dari orang yang terus mengintai dan mengetahui segala aktivitasnya di kampus. Aliya bertekad untuk mengetahuinya hari ini juga. Ia tak mau terusik oleh puluhan pertanyaan tak terjawab tentang orang ini. Siapa dia, apa tujuannya melakukan hal ini, kenapa harus Aliya dan pertanyaan lain yang membuat rasa ingin tahu Aliya menjadi begitu besar.

Hari itu adalah jadwal kuliah pagi. Dosen sudah datang sejak lima belas menit tadi, tapi ruangan kelas masih sepi. Hanya beberapa gelintir mahasiswa rajin yang tak keberatan untuk memulai kuliah bersama dengan sinar matahari yang masih belum tinggi. Termasuk Aliya, itu pun lebih karena rasa penasarannya. Total mahasiswa di kelas Aliya berjumlah empat puluh lima mahasiswa. Namun pagi itu belum ada setengahnya datang. Kebanyakan perempuan, yang laki-laki mungkin masih asyik dibuai mimpi atau enggan beranjak dari kasur karena semalaman melakukan aktivitas berlebihan, main game, nongkrong atau sekedar begadang. Mungkin ada semacam zat dalam laki-laki atau sekedar kebiasaan umum yang membuatnya betah melakukan aktivitas ekstra di malam hari. Kegiatan yang seolah ingin memperpanjang malam dengan mencuri apa yang semestinya dilakukan pagi hari, bangun-mandi-sarapan-beraktivitas. Entahlah, tapi sepertinya bukan hanya laki-laki saja. Belakangan ketika Aliya mengenal dunia mahasiswa, tak hanya makhluk dari garis Adam saja yang hidup bagai makhluk nocturnal, beberapa teman perempuannya juga kuat tak memejamkan mata hingga pagi. Mungkin hanya Aliya, satu-satunya atau sedikit dari jutaan mahasiswa yang tak mampu menahan kantuknya lebih dari pukul sembilan malam. 

Suara decit dan derak kursi di samping Aliya membuyarkan lamunannya. Abill baru saja datang. Ya, dia salah satu dari jutaan mahasiswa yang kuat begadang hingga mungkin pagi ini dia baru tidur mungkin satu atau dua jam. Terlihat jelas dari wajahnya yang seolah berontak ingin direbahkan di atas bantal nyaman, namun terpaksa harus terlihat segar dan mengucapkan selamat tinggal pada waktu istirahatnya.

"Hey Al! Kamu ya, selalu, nggak pernah telat, Kayaknya matahari aja kalah deh sama kamu," sapa Abill, masih dengan keceriaannya meskipun matanya terlihat malas untuk membuka seratus persen katupnya.

"Nggak kok. Ada hal yang sebenernya bikin aku berangkat pagi."

"Oh ya? Apa?" Abill bertanya dengan mimik wajah ingin tahu.

"Aku lagi nyari orang, Bill."

"Nyari orang? Siapa?" Kali ini mimik wajahnya dua kali lipat lebih excited dari yang sebelumnya.

Aliya kemudian bercerita perihal SMS dari nomor misterius yang kerap menyapanya beberapa minggu ini. Betapa nomor itu membuatnya penasaran karena sang pengirim seolah ada di sekitarnya, tahu segala gerak-gerik hingga mimik wajah Aliya dan apa yang ia lakukan di kampus. Aliya merasa ada yang memperhatikannya beberapa waktu belakangan ini semenjak ia mengikuti kuliah perdananya. Kemudian dijelaskannya bagaimana ia mencari tahu nomor itu di daftar nomor mahasiswa di kelasnya karena ia begitu yakin bahwa si pemilik nomor ada di dalam kelas yang sama dengan Aliya. "Setelah aku cari-cari, ternyata..." Aliya menghentikan penjelasannya. Membuat Abill sesak menahan napas, menunggu kelanjutan cerita dari Aliya.

"Ternyata apa, Al??" Tanya Abill, masih dengan menahan napas yang tertekan, sambil mengguncang-guncang tangan Aliya tanda tak sabar.

"Ternyata... Dia anak kelas kita, Bill," jawab Aliya, setengah berbisik. Seolah ia tidak ingin ada orang lain selain mereka berdua yang tahu.

"Beneran? Siapa?" Kali ini suara Abill lepas, keras, beberapa teman di sekitar mereka bahkan sempat menoleh pada Abill. Kemudian ia membalas tatapan mereka dengan cengiran konyol menahan malu.

"Yoviansyah Primadana. Kamu tau orangnya yang mana?"

Abill diam sejenak. Mencoba menyusun kembali memorinya. Dengan kepribadiannya yang supel dan mudah beradaptasi, dia sudah mengenal hampir  semua mahasiswa jurusan komunikasi seangkatannya. Namun, saking banyaknya yang ia kenal, sampai ia hampir lupa, seolah memorinya menolak untuk menerima semua informasi dan menyimpannya, agar ketika dibutuhkan bisa dengan mudahnya ditemukan. Kemudian memori Abill memunculkan sebuah bayangan samar, mengirimkannya pada otak, dicerna, kemudian disalurkan melalui sistem syaraf hingga akhirnya ia dapat menjawab pertanyaan Aliya.

"Iya, aku kayaknya pernah tau, Al. Tapi lupa-lupa ingat. Mungkin kalo ketemu orangnya, aku bakalan ingat."

"Tapi dia belum ada di kelas ini kan?"

Abill mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Men-scanning satu persatu makhluk yang ada di dalamnya. Sampai pandangannya kembali lagi pada Aliya. Abill menggeleng. "Belum dateng, Al. Mungkin nanti."

"Makanya, Al. Kalo punya radar sama antena itu ditinggiin. Jangan dilipet aja kayak antena radio bata," goda Abill sambil terkekeh.

"Mereka itu nantinya bakal jadi temen seperjuangan kita selama empat tahun ke depan. Kalo nggak saling kenal, kan aneh rasanya. Setidaknya tau nama sama wajahnya aja udah cukup lah," lanjut Abill. 

Aliya hanya membalas wejangan Abill dengan senyum tipis. Ia masih belum lega jika belum menemukan orang yang dicarinya. Orang yang membuatnya semangat datang sepagi ini hanya sekedar untuk mengetahui wujudnya. Mata Aliya tak lagi fokus pada Abill, apalagi dosen. Ia masih menatap pintu kelas yang terbuka. Berharap orang yang ditunggunya masuk melewati pintu itu.

"Al, sebenernya banyak lho yang mau kenal sama kamu."

Perkataan Abill itu membuat Aliya terseret kembali ke dunia nyata, jauh dari lamunannya. Ia kembali menoleh pada Abill dengan pandangan tidak percaya.

"Masak sih, Bill? Nggak mungkin lah. Orang aku diem gini, biasa juga. Kalaupun mau naksir, tuh sama Dini. Cantik, putih, kaya, fashionable. Kayak Barbie." 

Pandangan Aliya dan Abill mengarah pada permpuan dua baris di depan mereka. Dini seperti icon kelas mereka. Dengan postur tubuhnya yang proporsional seperti model atau gadis sampul, wajah cantik, serta riasan yang senada dengan cara berpakaiannya yang modis, membuat ia terlihat paling mencolok di antara teman-teman lainnya. Ibarat bulan yang bersinar bulat di antara ratusan bintang yang hanya mampu memancarkan kedipan cahaya.

"Dini itu too beautiful to be true. Cowok-cowok juga pada takut kaliii mau deketin dia. Kalaupun ada, paling juga cowok-cowok high class sepantaran sama dia."

Benar juga yang dikatakan Abill. Seandainya Aliya jadi pria, ia juga tidak akan memiliki cukup nyali untuk sekedar menyapa atau melempar senyum pada Dini. Dia seperti putri dari negeri dongeng. Enak didengar menjadi sebuah cerita atau dilihat dalam ilustrasi dongeng, tapi terlalu indah untuk jadi nyata, apalagi untuk dimiliki. Belum lagi, kelas Dini yang ada di level atas, kalau Aliya jadi pria, mungkin juga tidak akan mampu mengikuti gaya hidup Dini. Mana mau princess macam Dini makan seadanya di pinggir jalan. Bisa-bisa dia dituntut orangtua Dini karena putri kesayangannya sakit perut setelah mencicipi seujung sendok nasi kucing.

"Gimana, Al? Kamu minat nggak? Banyak yang nanyain kamu lho. Nggak cuma dari kelas ini aja sih. Dari kelas lain juga ada," Abill melanjutkan topik pembicaraannya yang sempat terlupakan karena sibuk memperbincangkan Dini.

"Banyak? Paling cuma satu atau dua. Itu juga karena iseng. Iya kan?" Aliya juga menanggapinya dengan canda. Karena Aliya juga merasa bahwa apa yang Abill katakan itu juga termasuk candaan untuknya.

"Ya masih mending satu atau dua. Daripada aku, nggak ada sama sekali."

Aliya tertawa. Hari ini ia merasa seperti tidak sedang ada di kampus, di kelas, mengikuti kuliah, karena sedari tadi terus ngobrol dengan Abill. Masih jauh lebih baik bila obrolan mereka ada hubungannya dengan perkuliahan atau organisasi di kampus seperti mahasiswa-mahasiswa aktivis lainnya. Obrolan mereka soal naksir-menaksir jelas-jelas jauh dari materi perkuliahan. Tapi mungkin masih ada dalam lingkup dunia perkuliahan. Suka, naksir, cinta. Selalu. Di sekolah, kuliah bahkan mungkin dunia kerja nanti.

Kuliah pagi itu hampir selesai. Dosen sudah hampir menutup perkuliahan dengan isyarat menawarkan mahasiswa untuk menanyakan materi yang tadi disampaikan. Dan seperti apa yang terjadi biasanya, mahasiswa enggan bertanya. Entah karena sudah mengerti, atau sama sekali belum mengerti atau mungkin tidak ada yang ingin ditanyakan. Tapi bagi Aliya, pertanyaan untuk dosen atau rasa penasaran akan materi yang beliau sampaikan tidak lebih penting dibanding rasa ingin tahunya pada misterious guy. Ia tidak ikut kuliah pagi ini. Mungkin nanti...

***

Pagi itu kantin dipenuhi mahasiswa kelaparan yang sudah memulai aktivitas perkuliahan tanpa menyantap sarapan. Termasuk tiga serangkai, Abill, Arin dan Aliya. Usai kuliah pagi tadi, mereka memutuskan untuk sekedar nongkrong atau menikmati semangkuk soto di kantin kampus. Baru satu jam lagi kuliah berikutnya akan dimulai. Mereka bertiga duduk di meja pojok, dimana mereka bisa bebas menikmati pemandangan di seluruh penjuru kantin. Belakangan mereka memang sering bersama-sama, bertiga, tak terpisahkan. Seperti trio kwek-kwek, teman-teman kampusnya memberi julukan begitu. Pertemuan pertama mereka menyatukan kecocokan di antara mereka. Abill datang menghampiri meja yang dimana Aliya dan Arin duduk sambil menyantap sepotong roti atau gorengan. Abill sendiri membawa semangkuk soto di tangan kanannya dan beberapa potong gorengan plus roti di piring kecil dalam genggaman tangan kirinya. Dengan hati-hati, diletakkannya jatah energinya sampai siang nanti di atas meja.

"Bill, udah nggak makan berapa hari aja? Banyak bener," celetuk Arin sambil mencomot potongan tahu bakso dari dalam piringnya.

Abill hanya terkekeh sambil kemudian melanjutkan aktivitas yang sudah dari pagi tadi tak sabar ia nantikan, mengisi perutnya yang sedari tadi sudah memainkan bunyi-bunyian tanda protes pada sang empunya tubuh. Dalam sekejap, soto semangkuk, gorengan dan sepotong roti tandas habis beralih masuk ke perut Abill. Aliya yang sejak tadi hanya menyantap setangkup roti tawar hanya geleng-geleng melihat kelakuan sahabatnya itu. Entah monster apa yang dipelihara Abill dalam perutnya. Ia kemudian menyelesaikan kegiatan santap menyantapnya dengan meminum segelas es kopi favoritnya. Ia memang tak pernah bisa lepas dari pengaruh senyawa dengan rasa pahit yang dapat merangsang sistem pusat saraf manusia dan menghilangkan rasa kantuk untuk sementara tersebut. Sampai kemudian, Abill tiba-tiba menghentikan kegiatannya dan meletakkan gelas kopinya, seolah-olah ada sesuatu dari larutan kopi tersebut yang tertelan olehnya.

"Kenapa, Bill?" tanya Aliya. Khawatir.

Yang ditanya hanya memandang ke depan, kemudian matanya berbinar seolah baru melihat pangeran berkuda hitam dengan baju zirah yang membalut tubuh tinggi kekarnya. "Al! Itu Yovie! Yovie yang kamu cari-cari." Heboh, Abill mengucapkannya seolah baru menemukan pangeran yang selama ini dicari-carinya.

Reaksi Aliya tak seheboh Abill. Ia memalingkan wajahnya ke belakang, ke arah dimana mata Abill yang berbinar-binar memandang sosok itu. Ada banyak pria seumurannya berkerumun di meja kasir kantin dan Aliya masih belum tahu, mana yang dimaksud Abill sebagai Yovie.

"Yovie!" dengan keras dan tanpa aba-aba, Abill sudah memanggil nama pria itu. Suaranya lantang, memenuhi sudut-sudut kantin yang tak begitu luas. Tapi hanya satu orang yang menoleh ketika Abill meneriakkan nama itu. Kemudian pria itu keluar dari kerumunan gerombolannya dan datang menghampiri meja mereka bertiga. Pria itu tak seperti pangeran, tidak berkuda, tidak memakai baju zirah atau bertubuh tinggi kekar seperti apa yang seolah-olah tergambar ketika Abill melihatnya tadi.

Jantung Aliya seperti terhenti selama sepersekian detik dari aktivitasnya. Tubuhnya mendadak kaku, seolah ia baru terlempar dari negeri dengan iklim tropis ke kutub selatan dimana dinginnya es yang berlapis-lapis membekukan tubuhnya. Apa maksud Abill memanggil Yovie dan mengundangnya datang menghampiri meja tempatnya duduk. Protes pun tak akan menghentikan langkah pria bernama Yovie untuk mendekati mejanya.

Jantung Aliya kembali melaksanakan aktivitasnya, namun kali ini dua kali lebah cepat dan terasa menghentak. Yovie sudah ada di mejanya, beberapa meter di hadapannya. Kali ini Aliya memberanikan diri menatap wajah pria itu. Kemudian memorinya memutar pada sebuah kejadian beberapa waktu lalu, saat Widi menghampirinya di depan kampus pada hari pertama kuliahnya. Ya! Aliya yakin, pria ini adalah teman Widi, orang yang berboncengan dengan Widi ketika Widi menawarkan bantuannya untuk memboncengkan Aliya pulang. Memang benar, pria yang selama ini menimbulkan tanda tanya besar dalam pikirannya berada tak jauh dengannya, selalu ada di dekatnya, mengamatinya namun ia tidak menyadarinya. Pria ini memperhatikannya.

Rasa penasaran akan wujud pengagum rahasianya terjawab sudah, meskipun banyak pertanyaan yang masih belum ia temukan jawabannya. Tapi baginya, melihat sosok ini sudah lebih dari cukup. Setidaknya, pengagum rahasia itu benar-benar ada. Bukan sekedar orang iseng yang berniat mempermainkannya. Aliya serasa ingin segera pergi dan menghilang dari tempatnya berpijak saat ini, kemanapun, untuk menghindari tatapan pria bernama Yovie. Namun terlambat, pria yang selama beberapa waktu menjadi semacam 'teror' untuknya ini sudah mendaratkan tubuhnya di bangku kosong sebelah Aliya. Kali ini kecepatan denyut jantungnya semakin kencang, menghentak cepat dan menggempur pertahanan mental Aliya. Ia hanya mampu terdiam, kaku, bahkan sekedar memalingkan wajahnya pun ia tak mampu.

"Al! Kenalin, ini namanya Yovie," suara Abill seolah kembali melemaskan tubuh Aliya yang sedari tadi kaku.

Yovie mengulurkan tangan pada Aliya. Sedetik. Dua detik. Aliya belum mau membalasnya. Enggan. Malu. Entah apa yang ia rasakan saat ini. Kemudian baru beberapa saat kemudian Aliya membalasnya dengan senyum kaku dan menjabat tangan Yovie. Dan percakapan antara keduanya pun dimulai, dengan Abill dan Arin yang sesekali menanggapi obrolan mereka berdua. Aliya merasa canggung. Kikuk. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam diri pria ini yang membuat Aliya perlahan mulai merasa santai, perlahan akrab, mengajak bicara seolah Aliya adalah sahabat dari masa lalu yang lama tak bersua dengannya. Dan kedekatan itu pun dimulai...

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar