Minggu, 20 Oktober 2013

Segi Empat (Chapter 5)

Aliya dan Opick terus memperbincangkan masa-masa SMP mereka, tertawa lepas bersama dan terkadang saling melempar ekspresi kesal ketika satu atau yang lainnya melontarkan candaan yang membuatnya merasa malu. Kegiatan mereka berdua di pojok food court sore itu seolah membuat mereka enggan menghiraukan apa yang ada di sekitarnya, termasuk sosok yang sedari tadi mengamati mereka dari jauh dengan tatapan seolah ingin melempar bara di dadanya ke arah mereka. 

Tawa mereka terhenti sejenak ketika Aliya sadar ponselnya berdering dan bergetar dari balik saku ranselnya. Ia masih memancarkan keceriaan dari balik wajah polosnya ketika merogoh ponsel dari ransel. Kemudian air mukanya berubah seketika membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Seperti nyala lampu yang terang benderang kemudian gelap seketika arus listrik tak lagi mengalirinya. Aliya tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Andai ia tidak ingat ia sedang ada di area ramai, mungkin ia sudah berteriak kaget. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru area tempatnya berada. Ia sapu satu persatu tiap ruang dan sudut di tempat luas itu dengan mata coklatnya yang hampir berair setelah menerima pesan itu, mencari sosok yang ia yakini sedang ada di area itu, sosok yang mengirimnya pesan bagai sebuah teror untuk hati, pikiran dan perasaannya. 

"Kenapa, Al??" tanya Opick. Khawatir. Ia membaca air muka Aliya yang berubah seketika dan dapat memastikan ada yang tidak beres pada diri Aliya. Sesuatu yang membuatnya menghentikan percakapan tiba-tiba dan mengedarkan pandangannya ke seluruh area tempatnya berada, seolah sedang mencari sesuatu yang menjadi sumber kegundahan hatinya.

Aliya menghentikan pencariannya. Kemudian kembali menatap Opick dengan wajah pucat pasi dan mata berkaca-kaca. "Yovie ada di sini. Dia ada di sini, melihat kita." Suara Aliya bergetar. Takut, terkejut dan sejumlah rasa lain yang tak dapat dilukiskannya. Opick juga tak percaya, ada banyak tempat makan dan mal yang ada di kota itu, ada banyak hari lain atau jam lain yang bisa dimanfaatkan untuk mengunjungi tempat ini. Tapi kenapa mereka bisa berjumpa di waktu dan tempat yang sama. 

Belum berhenti rasa herannya, ia rasakan getar ponsel dari dalam saku celananya. Sesaat kemudian, ekspresi wajahnya berubah, tak jauh beda dengan ekspresi wajah Aliya ketika menerima pesan tadi. Tapi ia tidak yakin, bahwa orang yang mengiriminya pesan ada di tempat ini. Pasti Yovie. Ya! Yovie yang menceritakannya pada orang ini. Dialah sumber dari segala teror yang menghancurkan keceriaan sorenya bersama Aliya.

"Riana juga tahu, Al. Pasti Yovie yang kasih tau dia. Pasti."

"Tapi gimana Yovie bisa tau kalo orang yang ada sama aku sekarang itu kamu? Opick. Orang yang baru tadi siang dia tanyain ke aku."

"Yovie sama Benny, mereka berdua udah tau aku dari lama, Al. Mungkin dia emang cuma mancing kamu aja."

Aliya menggigit bibirnya. Ia seperti orang bodoh yang ketahuan berbohong, padahal orang yang ia dustai justru sudah tahu kebenarannya. Dan kini orang itu melihat mereka jalan berdua, seolah kebenaran yang selama ini ia yakini makin memperkuat keyakinannya. Baik Aliya maupun Opick, mereka berdua seperti merasakan hal yang sama. Terkejut dan tak menduga, ada yang melihat mereka berdua dan itu adalah orang yang selama ini dekat dengan mereka, begitu menaruh harapannya pada mereka. Ya, tanpa Aliya dan Opick sadari, baik Yovie maupun Riana, mereka begitu berharap kedekatan mereka dapat terwujud menjadi sebuah hubungan. Bukan malah melihat keduanya jalan bersama, begitu dekat, begitu akrab, seolah Aliya dan Opick saling menyimpan perasaan yang sama. Yovie dan Riana, mereka merasa seperti sosok cadangan yang sama sekali tak diperhitungkan oleh Aliya dan Opick. Karena saat ini adalah saat dimana mereka mulai sadar terhadap kenyataan yang ada, bahwa ternyata hati Aliya bukan untuk Yovie. Begitu pula Riana, ia tak akan bisa mendapatkan perhatian dan kehangatan Opick, seperti yang Opick berikan pada Aliya.

***

Terhitung sejak hari dimana Yovie melihat Aliya begitu dekat dan akrab dengan sosok yang selama ini dianggap sebagai pengganggu hubungan sahabatnya dengan kekasihnya, ia seakan menghindar dari Aliya. Tak lagi rajin mengirimkan pesan singkatnya atau masuk kuliah seperti saat dimana ia begitu dekat dengan Aliya. Sesekali Aliya berjumpa dengannya di kantin kampus, tak sengaja bertatap muka, Aliya hampir mengulaskan senyum dari bibirnya, tapi sikap dingin Yovie yang seolah tak melihat keberadaan Aliya membuat nyali Aliya ciut. Ia hanya ingin semuanya baik-baik saja, seperti semula. Perasaan yang ada dalam hatinya lebih pada perasaan menyesal, karena ia telah berdusta pada orang yang benar-benar menaruh harapan padanya, ia merasa tidak enak hati telah mempermainkan perasaan orang yang benar-benar tulus ingin bersamanya. Kemudian ia sadar, bahwa luka yang secara tak sengaja ia goreskan di hati Yovie akan tetap membekas, apalagi dalam waktu dimana luka itu masih belum kering dan semuanya memang tidak akan bisa kembali seperti semula. 

Usaha Opick untuk kembali meyakinkan Riana pun seolah seperti ingin memutihkan kembali kertas yang sudah tergoreskan tinta. Semuanya hanya sia-sia dan tak akan bisa kembali seperti semula. Opick sadar bahwa ia memang menyimpan perasaan pada Aliya tapi ia berusaha menepisnya dengan menjadikan Riana sebagai bukti bahwa rasanya pada Aliya hanya sekedar rasa ingin memiliki sebatas sebagai sahabat. Tanpa ia sadari bahwa pembuktiannya itu mempertaruhkan perasaan Riana dan hal itu menyakitkannya. Rasa penyesalan dan kehilangan yang mendalam menggelayuti sudut-sudut hatinya, membuat rasanya remuk redam dan merasakan perih yang sebenarnya tak sebanding dengan perih yang dirasakan Riana karena telah mengharapkannya. Dan empat insan yang saling bertukar harapan lewat alur yang rumit itu sama-sama merasakan sakit dengan tingkat dan definisi masing-masing. Sakit yang masing-masing mereka rasakan dari besarnya harapan dan kasih sayang mereka pada sosok yang dituju.

***

Pantai seolah adalah satu-satunya tempat paling indah yang Aliya kunjungi setelah kisah rumit yang ia alami tempo hari. Dan kini ia duduk di antara lautan pasir dengan pemandangan deburan ombak yang saling berkejaran, saling berlomba menyentuh daratan. Suara gemuruh dan debur ombak yang lepas ke pantai seperti menjadi nyanyian alam yang menyejukkan hati dan pikirannya. Sinar matahari senja yang hangat dan temaram menghujani tubuh mungilnya yang duduk mendekap lutut kakinya. Senja di pantai kala itu menjadi satu-satunya pemandangan paling indah baginya saat ini. Satu-satunya hal yang membuatnya kembali merasakan bahwa ada banyak keindahan yang Tuhan sediakan untuknya selain kisah cinta yang belakangan ini menyesakkan hatinya. 

Pantai ini adalah tempat dimana otak Aliya kembali memutar ulang kisahnya yang telah terangkai selama satu semester ini. Ya, semester pertamanya di jurusan komunikasi telah berhasil ia lewati. Semester pertama yang berakhir kurang mengenakkan bersama hubungannya dengan orang-orang yang terlibat dalam buku cerita cintanya. Langit senja di hadapan Aliya seperti layar bioskop yang siap memutar bayangan akan kisah yang telah ia jalani selama hampir enam bulan ini. Sementara memori di otaknya seperti mesin pemutar video yang siap memutar rangkaian film kehidupan dimana ia yang menjadi pemeran utamanya. Masih terekam jelas setiap momen yang tersimpan dalam memorinya.

Ia memutar ulang memorinya, bukan karena tak bisa lepas dari memori itu, tapi lebih untuk menengok ke belakang sebentar dan mengucapkan selamat tinggal, kemudian kembali melanjutkan apa yang terjadi saat ini serta menatap masa depannya. Masa depan yang terasa masih samar baginya, terutama dalam kesendiriannya.

Ya, kejadian di awal masa kuliahnya membuatnya memutuskan untuk menikmati semuanya sendiri. Pahit, sesal dan perasaannya, ia simpan dalam-dalam. Hatinya tak memilih Yovie pun juga Opick. Aliya pada akhirnya merelakan perasaannya tersimpan rapi dan membiarkan Opick tetap dekat dengannya sebagai sahabat, melepasnya berbahagia bersama tambatan hatinya sekarang. Sementara Yovie, dengan jelas ia lihat gurat bahagianya tadi. Bersama... Riana. Ya, di pantai yang sama mereka kini berada. Yovie bersama Riana dan Aliya sendiri bertemankan langit senja. Tapi hal itu tidak menjadi masalah bagi Aliya. Ia tahu, Riana sosok yang baik dan Yovie pantas mendapatkannya, begitu juga Riana. Beberapa saat yang lalu, waktu mempertemukan mereka untuk bertatap muka, saling berbincang, berdua. Sesaat Aliya merasa kikuk dan tak tahu apa yang harus ia bicarakan. Tapi sikap Riana yang sama sekali tak menyinggung masa lalunya., masa lalu mereka, membuat Aliya merasakan bahwa gadis ini sungguh-sungguh baik. Yovie memang pantas mendapatkannya.

"Al!! Kamu mau ditinggal di sini?? Temen-temen udah pada mau pulang nih!" suara lantang Abill membuyarkan lamunannya. Langit yang tadi berwarna jingga kini berubah menjadi gelap. Matahari pun tenggelam hampir seluruhnya, siap terlelap kembali ke peraduannya. Suara itu juga yang mengingatkannya bahwa ia kemari tak sendirian. Ia, Abill, Arin, bersama rombongan lima belas orang teman sekelasnya memilih pantai ini untuk melepas penat usai ujian semester, termasuk Yovie yang tanpa ia duga datang bersama Riana. Mau tidak mau, Aliya bangkit dari tempat yang sesaat membuatnya merasa nyaman meskipun harus kembali mencungkil kisah yang sudah siap ia tinggalkan. Abill sudah berdiri di dekatnya, mengulurkan tangannya dan menarik tubuh mungil Aliya. Kemudian mereka berjalan menuju rombongan yang sudah bergerak jauh, berbalik arah dari pantai itu, menuju ke tempat dimana mereka memarkirkan kendaraan.

Beberapa saat kemudian, ia dan Abill sudah berjalan menyusul rombongan, sesekali ia palingkan wajah ke belakang, ke arah langit senja yang mulai gelap dan lautan yang tetap memainkan irama debur ombak, seolah tak ingin berpisah. Dan sepasang mata di antara rombongan itu terus mengekor setiap langkah Aliya. Sepasang mata yang tak pernah Aliya duga selalu mengamatinya sejak tadi. Mata itu melihat Aliya tersenyum, pada laut, pada senja. Senyum terindah yang ia lepaskan hari ini. Pemilik mata itu ikut tersenyum melihat lengkungan manis dari bibir Aliya. Berharap, suatu saat nanti ia dapat menjadi alasan munculnya senyum di wajah Aliya. Tanpa Aliya sadari, ketika ia telah menutup kisah lalunya, kisah yang baru muncul dari sini, dari sepasang mata yang terus mengamati gerak langkahnya. Sama seperti matahari senja ini, berakhir dan hilang kembali ke peraduan, tapi akan kembali esok hari bersama harapan baru manusia yang diteranginya. Setelah kisah yang ia akhiri hari ini, akan kembali muncul kisah lain, bersama tokoh serta harapan baru yang mengisinya dan mungkin kisahnya bersama pemilik mata itu...

** END **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar