Selasa, 13 Mei 2014

Hope, Hurts, Heart

Pernah merasakan sakit hati yang luar biasa? Yang saking sakitnya sampai rasanya begitu sesak dan jauh lebih sakit dari luka fisik. Rasa sakit yang sepertinya terletak jauh di dalam dada, jauh menembus tulang iga dan saking jauhnya hingga kita tidak tahu tepat letaknya. Tapi begitu dahsyatnya sakit itu hingga meskipun kita tidak tahu letaknya, kita tetap mampu merasakannya. Sakit yang membuat kita berpikir, kenapa orang ini tega melakukan hal ini pada kita? Kenapa ia tega melakukan hal yang menimbulkan reaksi sakit hati? Tapi saya rasa, terkadang rasa sakit yang kita alami bukan karena orang itu memang sengaja menyakiti kita. Bukan, Tapi karena begitu besarnya harapan kita pada orang itu, hingga sedikit saja sikap orang tersebut jauh dari harapan kita, maka kita akan merasakan kekecewaan yang tak terkira, kecewa yang menimbulkan rasa sakit. Semakin dalam harapan kita, semakin dalam rasa sakit kita ketika orang itu berbuat jauh dari apa yang kita inginkan dan apa yang kita harapkan. Ya, terkadang harapan bisa jadi duri dalam daging kita sendiri. Harapan bisa menjadi pedang yang menghunus diri sendiri. Ya, sudah saatnya kita hati-hati dengan harapan...

Kamis, 08 Mei 2014

Face for First Impression VS Attitude for Long Lasting Impression

Ada banyak orang bilang bahwa penampilan itu penting. Tampilan fisik, terutama wajah jadi impresi yang ditangkap ketika pertama berjumpa dan kadang orang langsung menilai sosok yang pertama dijumpai dari tampilan fisiknya, apa yang sekilas ditangkap oleh indra penglihatannya. Oleh sebab itu, orang-orang berlomba dan tak segan mengeluarkan banyak hasil kerjanya untuk memperbaiki wajah, penampilan, merawat diri, dari ujung rambut sampai ujung kaki, memperindah penampilannya dengan berbagai aksesoris bervariasi untuk memberikan impresi yang menarik seseorang ketika pertama bertemu dengannya. Ya, penampilan memang penting. Wajah rupawan juga patut disyukuri.

Tapi tak selamanya penampilan menarik atau wajah yang tampan dan cantik dapat membuat seseorang terkesan. Wajah dan penampilan hanya menarik seseorang pada beberapa detik pertama, selanjutnya, terserah anda. Ya, selanjutnya bukan lagi wajah atau penampilan kita yang akan dinilai tapi adalah sikap kita, bagaimana kita memperlakukan orang-orang di sekitar kita dan bagaimana kita berinteraksi dengan mereka. Akan sangat luar biasa jika penampilan menarik dan wajah rupawan didukung dengan sikap kita yang baik. Namun akan terasa sia-sia penampilan dan wajah rupawan anugerah dari Tuhan jika selanjutnya sikap kita atau cara kita memperlakukan orang di sekitar kita tidak sebaik apa yang kita kenakan atau seindah wajah kita. Kesan baik kita hanya muncul saat pertama. Padahal sikap dan perlakuan baik kita akan terus diingat.
Saya banyak sekali dikecewakan atau 'kecele' dengan penampilan seseorang. Kadang seseorang yang saya anggap cantik atau tampan ternyata memiliki sikap yang kurang menyenangkan, tidak se-menyenangkan ketika saya memandang wajahnya. Sedangkan orang yang memiliki wajah biasa saja atau tidak setampan dan secantik mereka yang dianggap tampan dan canrik, kadang memiliki sikap yang baik dan tahu bagaimana cara memperlakukan seseorang. Dan saya lebih terkesan dengan orang-orang seperti ini, yang meskipun mereka kurang rupawan dan berpenampilan biasa saja, tetapi mereka memiliki sikap yang luar biasa dan secara tidak langsung menutupi kekurangan mereka dari segi fisik dan penampilan. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi siapa saja yang merasa atau dipandang kurang secara fisik dan penampilan atau memiliki keterbatasan baik dari segi dana maupun dari segi lainnya untuk memperbaiki fisik dan penampilan. Pelajaran yang dipetik adalah tidak menjadi suatu masalah jika kalian kurang cantik atau kurang tampan, atau tampilan kalian sederhana, yang terpenting adalah bagaimana sikap kalian. Kekurangan fisik serta penampilan bisa diperbaiki atau ditutupi dengan sikap baik tersebut. Karena kita tidak akan bisa merubah wajah atau bentuk fisik kita (kecuali kalian rela menghabiskan sebagian besar penghasilan kalian untu merombaknya), tetapi kita bisa mengubah sikap kita. Kalau ada cara mudah untuk bisa menutupi kekurangan fisik kita (dengan sikap baik kita), kenapa kita harus bermahal-mahal mengeluarkan biaya untuk menutupi kekurangan kita? Dan satu lagi cara lebih murah untuk memperbaiki wajah, SENYUM! Ya, senyum adalah lengkungan yang meluruskan segala hal. Senyum adalah seberkas guratan hangat  di wajah yang mencairkan dinginnya suasana. Senyum akan memperbaiki wajah kalian secara cuma-cuma dan akan memperindah wajah kalian, tidak peduli seburuk apapun wajah kalian, tidak peduli apakah kalian mengenakan tidak makeup atau belum mandi, senyum akan memperindah wajah kalian :)

Selasa, 06 Mei 2014

Living In A 'Hectic City'

Hectic City. Jakarta. Sama sekali nggak menyangka kalo tempat saya baru saja diterima kerja, memilih saya  untuk ditempatkan di kantor pusat. Tapi emang saya pernah bilang sama seseorang kalo saya punya feeling bakal hidup di kota ini. Taunya malah beneran. Dan aktivitas di kota hectic ini serta ketiadaan akses internet di kos membuat saya vakum sekian lama dari dunia per-blogging-an. Selain itu, pekerjaan seolah menyita waktu saya. Setibanya di kos, saya lebih memilih untuk mandi, makan dan tidur. Begitu seterusnya. Bahkan weekend yang dulunya biasa saja, kini jadi terasa luar biasa dan sangat berharga tapi juga berlalu dengan cepatnya. But anyway, mumpung lagi santai, ada waktu dan ada ide serta koneksi internet. Saya akan share sedikit gambaran kehidupan saya selama (baru) sebulan di kota yang ruwetnya ngalahin benang kusut. Meskipun baru sebulan di sini, saya udah banyak banget ditabok sama kerasnya kehidupan di Jakarta. Shock culture? Pasti! Tapi udah nggak kaget-kaget banget sih. Soalnya udah banyak denger cerita dari orang-orang yang udah lama tinggal di sini. Dan saya akan membagi pelajaran yang saya terima dalam beberapa poin-poin...

1.       Time
This hectic city makes me feel like I’m living in another dimension. Jakarta membuat saya merasa seperti tidak tinggal di bumi, tapi di planet Merkurius yang dekat dengan matahari dimana setahun rotasi dalam planet ini hanya berlangsung 59 hari. Dan ternyata bukan Cuma saya yang merasakan cepatnya perputaran waktu di Jakarta, tapi juga teman sesama perantau lainnya. Dari yang bangun pagi, udah malem lagi, trus tidur, eh udah pagi lagi. Kayaknya baru kemarin ketemu weekend, eh ini udah ketemu lagi. Kalo saya pikir sih mungkin karena di Jakarta, apa-apa serba cepet. Jadi waktu berlalu begitu cepatnya. Dan saya sebagai orang lelet, agak keteteran juga ngejar speed hidup orang-orang di sini.
Di Jakarta, waktu berlalu dengan cepatnya dan berjalan dengan ritme yang gitu-gitu aja alias monoton. Kalo di kota asal saya, waktu berjalan dengan nge-slow-nya. Sehari ya kayak sehari. Sehari adalah 24 jam. Pokoknya bener-bener bisa menikmati hidup meskipun kerjaan banyak dan sama sibuknya. Kalo di Jakarta, sehari juga 24 jam sih tapi rasanya berlalu begitu cepat. Kayak yang waktu 24 jam itu masih kurang dan pengen nambah lagi. Itulah kenapa waktu di Jakarta itu nggak Cuma berharga, tapi malah nggak ternilai harganya. Dan sebanyak apapun uang yang kita punya, tetap nggak bisa membeli waktu. Semacam kayak 24 jam waktu sehari kamu habiskan buat bekerja, tapi tetep hasil kerja 24 jam kamu nggak bakal bisa menambah 24 jam waktu lagi untuk hari yang sama.

2.       Lifestyle
Jujur aja, saya adalah anak kampung masuk kota. Dimana gaya hidup saya super duper sederhana dan apa adanya, kemudian dihadapkan dengan gaya hidup kaum Jakarta yang serba we-o-we, terutama dari segi penampilan dan gadget. Smartphone saya kelas low end dan di kota asal saya udah cukup bagus tapi di sini masih kalah sama gadget anak-anak SMA. Pokoknya yang kalo di busway atau di tempat umum, handphone saya kayak nggak ada harganya dibanding yang lainnya. Ya, saya rasa orang-orang di sini emang hidup buat lifestyle. Apapun yang terbaru dan lagi nge-trend, ikuti aja buat nambah gaya dan derajat penampilan. Mereka hampir seperti keranjang buah dan makanan yang di kantongnya terdapat bermacam semarphone bermerek buah dan makanan (such as apel, beri hitam, jelly bean, kitkat, dll).
Kadang saya berpikir berapa gaji mereka, sampai bisa ngikutin trend gadget dan beli itu gadget dengan harga lima juta ke atas. Apa semudah itu cari duit di Jakarta, sehingga semudah itu juga mereka keluarin duit sekian juta buat gaya dan ngikutin trend. Entahlahh...

3.       Biaya hidup
Ngomongin biaya hidup di Jakarta emang bikin nyesek. Di kota asal saya, duit jatah makan sehari di Jakarta yang Cuma dapet nasi tahu tempe (paling mentok ati ampela) aja bisa buat makan nasi ayam di sana. Ini udah saya tekan dengan nggak beli sarapan. Oh meeennn, bener-bener kota yang menguras dompet. Belum lagi biaya kos per bulan yang kalo di kota asal saya, biaya dua bulan kos di sini bisa buat kos setahun di sana dengan fasilitas yang sama. That’s why, Jakarta masuk dalam jajaran kota di Indonesia dengan biaya hidup paling top markotop mahalnya. Pokoknya bener-bener di sini mesti pandai-pandai berhemat dan mengatur keuangan. Kalo nggak, bisa bocor dan bloooong. Positifnya sih, saya jadi belajar irit, ngatur uang sedemikian rupa biar jatah segini nyukup buat makan sebulan. But someone give me an advice: ngirit sih boleh tapi jangan kebangetan. Sekali-kali manjakan diri, makan enak dikit kalo pas weekend. Asal jangan keterusan aja manjain diri.

4.       Prinsip
Kehidupan di Jakarta menguji prinsip yang kita pegang. Hal ini juga berhubungan dengan poin kedua tentang lifestyle. Mungkin saat ini saya bilang tidak mampu mengikuti lifestyle di Jakarta yang serba we-a-ha, saya tetap berprinsip untuk hidup sederhana dan apa adanya. Tapi bukan nggak mungkin, pengaruh lingkungan di sekitar saya akan menggerus tekad dan prinsip saya. Selain prinsip, iman kita juga diuji di sini. Kadang kesibukan kerja dan lelah setelahnya membuat kita lupa beribadah. Perkara lupa ibadah, sangat mungkin terjadi di sini. Orang waktu kita nganggur aja kadang bisa lupa ibadah, apalagi pas lagi sibuk. 
Ada beberapa pesan dari kadivre tempat saya rekrutmen sebelum kami (saya dan teman-teman dari divre kami) dilepas di Jakarta yang juga merupakan prinsip mendasar dan kadang dilupakan orang-orang yang udah terlalu larut dalam kesibukan Jakarta. Salah satunya adalah jangan pernah lupa sama orangtua! Kadang kesibukan membuat kita lupa sekedar untuk membalas sms ucapan selamat pagi dari beliau, sekedar telpon atau menerima telpon beliau. Soalnya mama saya itu tiap pagi sama malem nggak pernah lupa sms saya, sekedar nyapa & nanyain kabar. Waktu dikasih tau sih iya-iya aja, ngangguk dengan semangat. Tapi prakteknya berat juga. Intinya jangan pernah lupa sama orangtua. Kalian nggak bakal bisa jadi diri kalian yang sekarang tanpa beliau. Satu lagi pesan beberapa pegawai tempat saya OJT, tetep rendah hati, jangan hilangkan jati diri kalian sebagai orang dari daerah, unggah-ungguh tetep harus dijaga meskipun kami hidup di kota dengan culture yang berbeda.

5.       Pulang kampung
Jakarta membuat saya seperti terkena jebakan betmen, hahaha. Semacam bisa datang tapi nggak bisa pulang. Gimana nggak, baru juga mendarat di Jakarta, saya udah searching tiket kereta pulang untuk longweekend Maret. Taunya udah ludess semua! Jangankan tiket kereta buat longweekend akhir Maret, yang buat bulan April aja udah abis semua di jam-jam strategis. Meeennnn, akhirnya saya mengurungkan niat untuk pulang akhir Maret ini, padahal udah rindu banget sama rumah. Ini baru longweekend aja lho, belum ntar kalo libur Lebaran. Duuhhhh nggak kebayang gimana hecticnya cari tiket pulang.
Sekarang saya tau kenapa pas libur panjang atau libur Lebaran, orang rela beli tiket mahal-mahal, beli dari jauh-jauh hari, rela ngantri dari pagi dan rela bermacet-macet atau berdesak-desakan demi melihat kampung halaman. Ya, sekarang saya tau gimana rasanya jadi kaum urban yang merindukan kampung halaman. I know the reason why they tried so hard to come back home. Saya tau gimana beratnya memendam rindu pada orangtua dan saya rasa jauh lebih berat LDR-an sama orangtua daripada LDR-an sama pacar.

6.       Belajar mandiri
Hidup di Jakarta mengajari saya untuk belajar mandiri lebih keras daripada hidup di kota lainnya. Ya, kamu nggak bisa mengandalkan siapapun di Jakarta. Apalagi kalo nggak ada keluarga inti di sini. Kamu bener-bener harus bisa berdiri (nggak Cuma berdiri tapi juga jalan dan kalo perlu lari) dengan kakimu sendiri. Meskipun tertatih, jangan biarkan dirimu stag dan berharap ada bantuan dari oranglain. Jakarta keras bung! Hidup di Jakarta bener-bener ngajarin saya untuk nggak menggantungkan diri pada oranglain. Pokoknya harus lincah, aktif, cekatan dan berjuang sendiri demi mengejar speed orang lain yang udah jauh di depan kalian. Kalo di kota asal saya, situasi masih predictable lah, bisa diprediksi, orang-orang masih punya waktu dan tenaga buat bantuin kita. Di Jakarta, jangan berharap ada orang yang punya waktu dan tenaga buat nolong kamu, buat menopang diri mereka sendiri aja susah, apalagi buat nolong oranglain. Waktu dan tenaga mereka udah habis di jalan dan di kerjaan. Pokoknya di sini itu kayak saya ya saya, kamu ya kamu. Urusan saya bukan urusan kamu dan urusan kamu, ya urusin aja sendiri.

Well guys, that’s my little thoughts about living in Jakarta. Though it so hard, but I always try to hold on with this situation. Saya percaya bahwa dibalik ini semua, Tuhan punya rencana yang indah untuk saya. Dalam rencana-Nya, Tuhan mengajarkan saya untuk hidup mandiri dan belajar jauh dari rumah, dari orangtua, karena tidak akan selamanya kita bersama mereka.