Sabtu, 20 September 2014

September...

I met you in the city of the fall 
One September night 
We sat down on the table near the wall 
Where conversation flows

I wonder if I could stay for a while 
You see, its been a while since I felt this way 
But, we both now time is closing in 
Till I’ll be gone, you’ll be too 
On the night I saw you walked away

Well I left you in the city of the lights 
That breeze September night 
We walked down the road to the end 
I wish the time stood still

Still I wonder if I could stay for a while 
You see, its been a while since I felt this way 
But, we both now time is closing in 
Till I’ll be gone, and you’ll be too

On the night I saw you walked away 

So, I should stay, for a while 
You see, it’s been a while since I felt this way 
But, we both now time is closing in 
Till I’ll be gone, you’ll be too 
On the night I let you walked away

I met you in the city of the fall 
One September night
(Adhitia Sofyan - September)


Lagu ini membuat saya sadar bahwa September tahun ini tidak akan pernah sama dengan September di tahun yang telah lewat. Bahkan di bulan yang sama, hanya dengan tahun yang berbeda, keadaan bisa berbalik 180 derajat, berlawanan arah, menjungkir balikkan saya dengan perasaan yang abu-abu, abu dimana kenyataan tahun lalu berbanding terbalik dengan kenyataan sekarang, hanya dalam kurun waktu setahun. Beginilah hidup, kita tidak akan tahu apa yang terjadi tahun depan. Mungkin terlalu jauh jika kita membandingkan dengan tahun depan, apa yang terjadi detik berikutnya saja kita tidak tahu.

 And I wish the time stood still...

Rabu, 17 September 2014

Life is About ACCEPTING

Someday you'll realize that there's no other choice besides accepting what you can't change...

Pernah pengen banget potong rambut? Entah karena ngerasa rambut udah kepanjangan, model rambut yang udah oldish, ngikutin trend rambut yang baru, pengen keliatan fresh atau karena depresi selepas putus cinta?! Maka, entah dengan alasan apapun pokoknya kita pengen ke salon atau tukang cukur. Dengan segenap motivasi tadi, pergilah kita ke tukang potong rambut atau ke salon. Kita sampaikan apa yang kita inginkan atau biar lebih gamblangnya kita tunjukkan gambar dari model rambut impian. Kemudian tangan-tangan tukang cukur menari dengan indah, mengadu gunting dan sisir di antara helai rambut, kemudian voila! Jadilah kita dengan tampilan rambut baru. Sesaat kita lihat pantulan diri di kaca. Ya kalo beruntung, kita akan mendapat hasil yang bagus. But mostly, kita lebih merasa menyesal telah merelakan beberapa senti rambut kita demi model baru yang nampaknya kurang worth it untuk kita (setidaknya itu yang saya rasakan tiap kali potong rambut). Mendadak kita merasa jelek hanya karena poni yang kependekan atau potongan rambut yang kurang sesuai. Perasaan ini makin aneh ketika orang-orang dengan santainya melemparkan kritik secara langsung terhadap tampilan baru kita. Jadilah kita yang tadinya niat potong rambut biar keliatan fresh atau buang sial atau melepas depresi, jadi malah sial kuadrat atau depresi kuadrat. Kita sibuk menyembunyikan potongan rambut, entah dikucir atau disembunyikan di balik topi. Jadi super duper nyesel pernah potong rambut!
 
Tapi pernah juga nggak, kamu ngerasa beberapa bulan setelah potong rambut, ketika rambutmu sedikit demi sedikit mulai panjang, kamu mulai menemukan pola potongan yang kamu inginkan, Poni yang tadinya kependekan jadi lebih pantas menghiasi dahi, rambut yang tadinya pendek dan tak beraturan mulai memanjang dan menemukan alurnya. Kalo saya sih sering ngrasa gitu. Bulan awal setelah potong rambut adalah saat paling berat untuk menyesuaikan diri dengan komen-komen orang di luar sana, momen penyesalan mendalam atas keputusan untuk potong rambut. Tapi beberapa bulan kemudian, saya mulai menemukan bahwa saya mulai nyaman dengan potongan ini. Kadang malah potongan rambut yang awalnya saya anggap gagal, mulai terasa sesuai dengan model yang awalnya saya inginkan. Kemudian saya bilang, nah ini yang saya mau!

Dan saya rasa seperti itulah hidup. Kadang perubahan baru dalam diri kita, yang kadang kita sendiri yang menginginkannya (seperti potong rambut) malah membuat kita menyesal, membuat kita depresi dan membuat kita kesulitan untuk menyesuaikannya. Tapi hidup adalah soal bagaimana kamu mau menerima dan beradaptasi dengan semesta, dengan apa yang ada di sekitar kita, lengkap dengan ke-kompleks-an masalah yang ada di dalamnya. Mungkin awalnya kita akan sulit menerima, apalagi kalo perubahan itu karena kita sendiri yang menginginkannya. Udah sulit adaptasi ditambah penyesalan yang luar biasa. Tapi suatu saat, seiring berjalannya waktu, ketika kita sudah mulai terbiasa dan menerima, kita akan sadar bahwa perubahan yang kita alami akan membawa kita pada hidup yang lebih baik dan tujuan yang kita inginkan. Kadang mencapai keinginan tak semudah dan seinstan potong rambut sesuai model yang kita mau - pergi ke salon - dipotong - kemudian jadilah kita dengan potongan rambut baru sesuai yang kita idamkan. Kadang kita harus melalui masa sulit dulu, masa penyesuaian dan penyesalan akibat keputusan potong rambut yang justru malah memperburuk penampilan kita. Sampai suatu saat, kita akan tiba pada titik dimana kita mulai menemukan bahwa kegagalan tadi akan perlahan berubah dan membawa kita pada tujuan yang kita inginkan. 

Intinya, semua adalah soal waktu. Soal bagaimana kita mau menerima perubahan, mengikuti pola yang telah diciptakan oleh waktu, menyesuaikan, sampai pada saat dimana kita mulai terbiasa dan perlahan menerima keadaan. Ya, karena salah satu cara menikmati hidup adalah dengan membiasakan diri mengikuti alurnya dan menerima apa yang telah disediakan semesta, termasuk masalah kompleksnya. Karena kalo kita nggak bisa mengubah jalan yang sudah diciptakan, tak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain belajar beradaptasi dan menerimanya :)

Rabu, 03 September 2014

Sebuah Ode untuk Bintang

Sudah hampir separuh tahun saya tinggal di kota ini. Induk dari segala kota besar di negeri tempat saya lahir dan tinggal. Sudah hampir separuh tahun juga saya kehilangan langit malam yang menyejukkan, yang ada hanya langit malam nan terang tanpa bintang, hitam kemerahan terpapar gugusan gemerlap bola listrik yang menerangi tiap penjuru kota. Terang buatan itu menghalangi kedipan bintang yang mampu menghasilkan gradasi warna nan kontras pada langit malam. Bagi saya, langit malam tetaplah gelap tanpa bintang, meskipun puluhan bola listrik memerahkan gelapnya. 

Bintang sempat muncul beberapa bulan awal saya tinggal. Hadir setiap malam, mengantar saya tidur dengan sesekali membisikkan ucapan selamat malam nan mesra lewat hembusan lembut angin malam yang dua kali lipat lebih berbahaya dari kota asal saya, akibat tercampur gas emisi kendaraan bermotor yang memenuhi sepanjang jalan arteri ibukota tiap harinya. Ia hadir meskipun terangnya tak secemerlang ketika saya masih sempat memandangnya lama ketika saya masih punya banyak waktu untuk menikmatinya di kota kelahiran saya. Dan aktivitas yang tiada henti menjejali daftar kegiatan harian saya, terkadang membuat saya tak lagi bisa sesering mungkin menatap bintang. Jangankan menatap, berjumpa saja tak ada waktu. Ditambah ya itu tadi, gemerlap lampu kota menyamarkan kehadirannya.

Bulan awal pun berlalu. Rutinitas yang membosankan namum harus saya kerjakan mulai menyita waktu. Hingga suatu malam dan diikuti malam-malam berikutnya, ketika saya berjalan gontai menyusuri jalan pulang, saya sadari bahwa bintang itu telah hilang dari peredaran, tergantikan oleh cahaya palsu dari ribuan sinar lampu. Ia lenyap menyisakan langit malam yang gelap. Saya tak lagi bernafsu menatap langit malam yang tak lagi menarik tanpa hadirnya bintang. Langit malam hanya serupa kelambu gelap nan membosankan yang menyelimuti tidur malam saya. Malam saya hampa tanpa bintang, berlalu begitu saja, tak ada kedipannya yang menggoda, tak ada bisikan selamat malamnya nan mesra, tak ada rasa damai yang hadir melalui sinarnya yang menghangatkan. Saya juga tak mengerti, kenapa perkara bintang saja saya bisa segila dan sehampa ini. 

Apa saya harus pulang supaya bisa menatapnya? Tapi rupanya sama saja, saya tetap tidak menemukannya di langit malam kota asal saya. Mungkin dia memang tidak ingin menampakkan wujudnya, di tempat dimana saya ada. Mungkin ketika saya pulang, ia bersinar di ibukota yang saya tinggalkan untuk sesaat. Dan akan bersinar di kota asal saya jika saya kembali ke ibukota atau bersinar di tempat lain dimana saya tidak ada di sana. Mungkin ia ingin menghindari tatapan mata sayu saya. Mungkin ia lelah mendamaikan saya yang kadang lupa bahwa ia ada. Atau mungkin ia bosan saya tatap terus-terusan tiap malam. Entahlah, hanya bintang yang tahu.

Kemudian pada suatu pagi yang gelap, saya berjalan menyusuri gang. Ada misi dan pekerjaan yang harus saya selesaikan segera sehingga saya harus berangkat sepagi buta itu dan menempuh jarak puluhan kilometer untuk menjangkaunya. Mata saya masih belum terbuka sempurna. Bayangan akan pelukan hangat kasur dan uba rampenya masih terasa erat mendekap saya. Terlebih karena semalam saya bermimpi dapat menatap bintang kembali. Pikiran saya pun tak henti memutarnya, merangkai kepingan itu agar tak hilang, kau tau sendiri, kadang mimpi hilang begitu saja kalau kita berhenti mengingatnya. Bayangkan, mimpi saja bisa membuat saya bahagia, apalagi kalau bisa benar-benar memandangnya lagi. Hingga kesadaran saya mendadak sempurna, atau mungkin saking tidak sadarnya, saya jadi melihat pemandangan pagi yang luar biasa, yang seolah hanya ada di angan saya. Mimpi saya seolah nyata! Saya kembali melihat bintang! Bertebaran di antara peralihan langit malam hari menuju pagi. Gigitan udara pagi yang dingin menyadarkan saya bahwa ini bukan mimpi! Saya kembali melihat langit penuh bintang yang telah lama menghilang. Hangatnya kedamaian mulai menyusup dan mengalir melalui darah saya. Tenang, damai, hangat, perasaan yang selalu hadir tiap saya menatapnya. Namun pertanyaan muncul dalam benak saya, kenapa ia masih ada sepagi ini? Kenapa ia tidak muncul saat malam saja? Ahh, kadang bintang memang senang hadir sesukanya. Bukan masalah, yang penting saya bisa melihatnya lagi.

Sepanjang gang, saya tak henti menikmati hadirnya yang sebentar lagi tergantikan oleh sinar yang membuat bintang jadi terlihat terang. Bintang itu masih berkedip seolah tersenyum, entah untuk siapa. Memang selalu begitu, bukan? Sebentar, sebentar. Ia tersenyum entah untuk siapa? Berarti ia tersenyum belum tentu untuk saya? Mungkin saja senyumnya untuk yang lain yang juga sedang menatapnya, sama seperti yang saya lakukan. Mungkin saja hadirnya bukan untuk saya, tapi untuk orang lain yang juga sedang menunggu keumunculannya, mungkin saja. Ahh, sudahlah. Sudah lelah saya menerka kehadiran bintang pagi itu dan malam-malam kemarin. Saya rasa saya memang tak lagi bisa memiliki bintang seperti dulu, atau memang sejak dulu saya tak memilikinya. Saya mungkin bisa merasa bahwa ia milik saya dan begitu juga orang lain, tapi nyatanya memang saya tak benar-benar memilikinya. Biarlah ia bebas hadir kapan saja, biarkan juga saya bebas merindukan kehadirannya, menatapnya ketika ia ada walaupun ia hadir bukan untuk saya...




**Teruntukmu, Bintang Jatuh...