Rabu, 03 September 2014

Sebuah Ode untuk Bintang

Sudah hampir separuh tahun saya tinggal di kota ini. Induk dari segala kota besar di negeri tempat saya lahir dan tinggal. Sudah hampir separuh tahun juga saya kehilangan langit malam yang menyejukkan, yang ada hanya langit malam nan terang tanpa bintang, hitam kemerahan terpapar gugusan gemerlap bola listrik yang menerangi tiap penjuru kota. Terang buatan itu menghalangi kedipan bintang yang mampu menghasilkan gradasi warna nan kontras pada langit malam. Bagi saya, langit malam tetaplah gelap tanpa bintang, meskipun puluhan bola listrik memerahkan gelapnya. 

Bintang sempat muncul beberapa bulan awal saya tinggal. Hadir setiap malam, mengantar saya tidur dengan sesekali membisikkan ucapan selamat malam nan mesra lewat hembusan lembut angin malam yang dua kali lipat lebih berbahaya dari kota asal saya, akibat tercampur gas emisi kendaraan bermotor yang memenuhi sepanjang jalan arteri ibukota tiap harinya. Ia hadir meskipun terangnya tak secemerlang ketika saya masih sempat memandangnya lama ketika saya masih punya banyak waktu untuk menikmatinya di kota kelahiran saya. Dan aktivitas yang tiada henti menjejali daftar kegiatan harian saya, terkadang membuat saya tak lagi bisa sesering mungkin menatap bintang. Jangankan menatap, berjumpa saja tak ada waktu. Ditambah ya itu tadi, gemerlap lampu kota menyamarkan kehadirannya.

Bulan awal pun berlalu. Rutinitas yang membosankan namum harus saya kerjakan mulai menyita waktu. Hingga suatu malam dan diikuti malam-malam berikutnya, ketika saya berjalan gontai menyusuri jalan pulang, saya sadari bahwa bintang itu telah hilang dari peredaran, tergantikan oleh cahaya palsu dari ribuan sinar lampu. Ia lenyap menyisakan langit malam yang gelap. Saya tak lagi bernafsu menatap langit malam yang tak lagi menarik tanpa hadirnya bintang. Langit malam hanya serupa kelambu gelap nan membosankan yang menyelimuti tidur malam saya. Malam saya hampa tanpa bintang, berlalu begitu saja, tak ada kedipannya yang menggoda, tak ada bisikan selamat malamnya nan mesra, tak ada rasa damai yang hadir melalui sinarnya yang menghangatkan. Saya juga tak mengerti, kenapa perkara bintang saja saya bisa segila dan sehampa ini. 

Apa saya harus pulang supaya bisa menatapnya? Tapi rupanya sama saja, saya tetap tidak menemukannya di langit malam kota asal saya. Mungkin dia memang tidak ingin menampakkan wujudnya, di tempat dimana saya ada. Mungkin ketika saya pulang, ia bersinar di ibukota yang saya tinggalkan untuk sesaat. Dan akan bersinar di kota asal saya jika saya kembali ke ibukota atau bersinar di tempat lain dimana saya tidak ada di sana. Mungkin ia ingin menghindari tatapan mata sayu saya. Mungkin ia lelah mendamaikan saya yang kadang lupa bahwa ia ada. Atau mungkin ia bosan saya tatap terus-terusan tiap malam. Entahlah, hanya bintang yang tahu.

Kemudian pada suatu pagi yang gelap, saya berjalan menyusuri gang. Ada misi dan pekerjaan yang harus saya selesaikan segera sehingga saya harus berangkat sepagi buta itu dan menempuh jarak puluhan kilometer untuk menjangkaunya. Mata saya masih belum terbuka sempurna. Bayangan akan pelukan hangat kasur dan uba rampenya masih terasa erat mendekap saya. Terlebih karena semalam saya bermimpi dapat menatap bintang kembali. Pikiran saya pun tak henti memutarnya, merangkai kepingan itu agar tak hilang, kau tau sendiri, kadang mimpi hilang begitu saja kalau kita berhenti mengingatnya. Bayangkan, mimpi saja bisa membuat saya bahagia, apalagi kalau bisa benar-benar memandangnya lagi. Hingga kesadaran saya mendadak sempurna, atau mungkin saking tidak sadarnya, saya jadi melihat pemandangan pagi yang luar biasa, yang seolah hanya ada di angan saya. Mimpi saya seolah nyata! Saya kembali melihat bintang! Bertebaran di antara peralihan langit malam hari menuju pagi. Gigitan udara pagi yang dingin menyadarkan saya bahwa ini bukan mimpi! Saya kembali melihat langit penuh bintang yang telah lama menghilang. Hangatnya kedamaian mulai menyusup dan mengalir melalui darah saya. Tenang, damai, hangat, perasaan yang selalu hadir tiap saya menatapnya. Namun pertanyaan muncul dalam benak saya, kenapa ia masih ada sepagi ini? Kenapa ia tidak muncul saat malam saja? Ahh, kadang bintang memang senang hadir sesukanya. Bukan masalah, yang penting saya bisa melihatnya lagi.

Sepanjang gang, saya tak henti menikmati hadirnya yang sebentar lagi tergantikan oleh sinar yang membuat bintang jadi terlihat terang. Bintang itu masih berkedip seolah tersenyum, entah untuk siapa. Memang selalu begitu, bukan? Sebentar, sebentar. Ia tersenyum entah untuk siapa? Berarti ia tersenyum belum tentu untuk saya? Mungkin saja senyumnya untuk yang lain yang juga sedang menatapnya, sama seperti yang saya lakukan. Mungkin saja hadirnya bukan untuk saya, tapi untuk orang lain yang juga sedang menunggu keumunculannya, mungkin saja. Ahh, sudahlah. Sudah lelah saya menerka kehadiran bintang pagi itu dan malam-malam kemarin. Saya rasa saya memang tak lagi bisa memiliki bintang seperti dulu, atau memang sejak dulu saya tak memilikinya. Saya mungkin bisa merasa bahwa ia milik saya dan begitu juga orang lain, tapi nyatanya memang saya tak benar-benar memilikinya. Biarlah ia bebas hadir kapan saja, biarkan juga saya bebas merindukan kehadirannya, menatapnya ketika ia ada walaupun ia hadir bukan untuk saya...




**Teruntukmu, Bintang Jatuh...

1 komentar: