Kamis, 24 April 2014

Tentang Alergi Kepiting

Berawal dari kisah perjalanan dan pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di tanah Borneo demi mengemban tugas (wuidiiih, gaya bener) serta pengalaman pertama saya mencicipi kepiting asam manis. Karena saya adalah pecinta seafood, ajakan untuk makan kepiting tidak saya tolak (mumpung gratis juga, mhiihihi) dan itu merupakan kali pertama makan kepiting (ngakunya penikmat seafood tapi nggak pernah makan kepiting, payaah). Akhirnya, demi kepiting gratis yang kalo beli pake kocek sendiri cukup menguras kantong saya dan demi memuaskan rasa penasaran saya akan kepiting, saya pun makan dua macam kepiting yang disediakan: kepiting soka dan kepiting apa lagi saya lupa makannya. Setelah saya coba, ternyata enak juga. Oke, mission completed! Kepiting ternyata enak juga, yang nggak enak cuma bagian ngupasnya.

Akhirnya, saya masukkan kepiting dalam daftar makanan seafood favorit saya setelah cumi-cumi dan udang. Tapi apa yang terjadi sodara-sodara (musik mulai dibikin panik macam pemeran protagonis saling bertatap muka dengan pemeran antagonis dalam sinetron...) tengah malem saya terbangun karena sekujur badan saya gatal-gatal, bentol-bentol, merah-merah dan panas pula. Panik lah saya. Pikiran saya  mulai meracau kemana-mana. Jangan-jangan tadi handuknya ada ulet, jangan-jangan air buat saya mandi dikasih obat gatel-gatel, jangan-jangan saya kualat sama ini, jangan-jangan itu, pokoknya mulai macem-macem lah pikiran saya. Sampai tibalah saya pada titik pencerahan dimana saya mulai bisa berpikir jernih, bersih dan logis. Oh, mungkin saya alergi kepiting. Meski saya pikir nggak mungkin, karena biasanya saya makan udang dan cumi-cumi juga nggak pernah alergi. Dengan tangan kiri memegang hp dan tangan kanan sibuk garuk-garuk,  saya brosing dan googling mengenai alergi yang saya derita, Fix! saya alergi kepiting! Secara nggak logisnya, saya mungkin kualat sama si mister crab ini. Soalnya kepiting adalah lambang zodiak saya. Berani-beraninya saya makan simbol dan cerminan diri saya, sungguh kurang ajar nian kau nak! Mungkin roh kepiting yang saya makan bakal bilang begitu sambil melayang-layang di atas jasadnya yang sudah terpotong-potong dan disausin pula.

Saya habiskan malam itu dengan gelisah garuk-garuk badan. Untungnuya pertolongan dari petugas hotel yang membawakan obat alergi segera datang. Akhirnya, dengan bantuan obat alergi yang sekaligus juga obat tidur paling ampuh, saya bisa tidur nyenyak malam itu...

Anyway, dari kejadian alergi itu saya bisa menarik analogi atau perumpamaan atau pemikiran atau apalah itu namanya. Bahwa kadang kita mungkin menyukai sesuatu, sama halnya seperti saya menyukai seafood. Namun akan tiba saat dimana apa yang kita suka justru malah melukai atau membuat kita sakit (dalam kasus yang saya alami, bikin alergi), sehingga mau tidak mau kita harus berhenti memakannya, dekat dengannya atau berinteraksi dengannya. Saya atau kita hanya akan berhenti memakan (untuk kasus alergi seafood) atau dekat atau berinteraksi dengan sesuatu yang kita suka, bukan berarti kita berhenti suka. Kita tetap suka, hanya saja sedikit menghindar agar tidak terluka. Namun, jika telah terbiasa jauh, menghindar dan terlalu lama berhenti berinteraksi atau memakannya, bukan tidak mungkin kita akan lupa bahwa kita pernah suka dengannya dan akhirnya akan berhenti menyimpan perasaan itu. 

Maybe my thought sounds weird, especially for the last point. Agak nggak nyambung sama kisah alergi yang saya ceritakan panjang lebar di awal. Tapi saya hanya mencoba menggambarkan atau lebih tepatnya sok nyambung-nyambungin dan mengumpamakan, seperti itulah kita ketika kita mengalami perasaan suka yang justru malah membuat kita terluka dan membuat kita harus berhenti untuk dekat dengannya, meskipun sebenarnya kita ingin...

Rabu, 23 April 2014

Catatan Perantau Newbie

Halooo blogredeader! Lama banget saya nggak ngupdate blog lagi. Mumpung ada koneksi wifi dan ada waktu, kali ini saya kembali ngeblog lagi sambil membawa sapu dan kemoceng *bersihin laman blog dari debu dan laba-laba. Mwihihi...

Kali ini saya datang dengan postingan baru soal job baru saya. Metamorfosisnya gini, dari mahasiswa tingkat akhir galau skripsi --> jobseeker galau kurang kerjaan yang tiap kali curhat di blog --> pekerja baru sekaligus perantau newbie yang galau homesick. Kalo tahun lalu, di bulan yang sama, saya nggak bisa sering-sering nulis di blog karena sibuk nyekripsi, kali ini aktivitas saya udah 'naik level' dong *senyum senyum songong. Kalo kemarin sibuk jadii mahasiswa tingkat akhir yang galau skripsi, tahun ini sibuk jadi pekerja sekaligus perantau level newbie yang masih galau-galaunya dan hectic-hecticnya dengan aktivitas kerjaan, shock culture dan galau homesick.  Yes! This is my first time away from home. Dari waktu kuliah yang jarak 30km saya tempuh tiap hari demi bisa mencium aroma rumah, sekarang kerja ditempatkan di kota yang sunggu hectic, Jakarta! Dimana saya nggak bisa pulang tiap hari, tiap waktu dan setiap saat saya mau. Dan menurut saya, Jakarta is like a jail. Dimana kalo kalian udah datang, akan sangat sulit bagi kalian untuk keluar lagi. I mean, susah pulangnya gitu, apalagi kalo musim libur panjang, tiket kereta sampai pesawat abis semua. Kecuali kalo kamu betah 20 jam duduk di bus dari Jakarta sampai Solo atau sebaliknya. Anyway, saya nggak mau cerita soal 'living in a hectic city'. Cerita soal itu akan saya bahas di posting setelah ini , dengan catatan, kalo ada waktu luang.

Baiklah, back to the topic, kali ini saya mau cerita gimana rasanya jauh dari rumah, gimana rasanya jadi perantau dan itu di Jakarta pula, ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Ada banyak kisah perantauan, apalagi di Jakarta yang notabene banyak dipenuhi kaum perantau dan saya mau mewarnai salah satu kisahnya, sebagai perantau newbie nan manja yang sering kangen rumah. 

Kisah berawal dari ditempatkannya saya di kantor pusat tempat saya bekerja dan itu letaknya di Jakarta. Awalnya sih seneng, syukur, Puji Tuhan banget gitu pas denger kabar mendadak saya ditempatkan di ibukota. Karena sebelumnya saya emang pengen kerja di Jakarta. Taunya kesampaian juga. Tapi kesenangan saya hanya berlangsung sesaat. Esoknya saat packing, selama menikmati sisa waktu di rumah selama tiga hari, saya bener-bener merasa tidak siap meninggalkan rumah, apalagi meninggalkan mama-papa-adik yang hampir tiap hari, dari saya bayi sampe segede ini, bersama-sama terus. Bener-bener berat banget meninggalkan mereka. 

Minggu pertama di Jakarta, air mata saya serasa tumpah cuma-cuma dalam jumlah banyak. Saya basahi minggu pertama saya di Jakarta dengan air mata kekangenan pada mama, dimana tiap sore, kami selalu mengadakan 'private talkshow' di teras rumah atau bawah pohon kelengkeng nan rindang dan penuh kenangan, sekedar bercanda atau curhat dan belajar tentang arti hidup melalui wejangan beliau. Rindu akan saat dimana mama, papa, saya dan adik ngobrol, bercanda di ruang tengah, atau sekear saling menanggapi dan berkomentar meskipun kami sibuk dengan aktivitas masing-masing (mama baca, papa main game, saya sibuk dengan gadget dan adik mengerjakan tugas kuliah). Minggu pertama adalah minggu yang berat bagi saya. Tapi seterusnya, setelah saya mulai nyaman dengan teman-teman baru, sering ngobrol dengan teman kos yang sama-sama perantau dari regional yang sama, saya tidak merasa kesepian. Kadang saya habiskan weekend dengan jalan bareng mereka atau ke rumah tante. Itu cara saya mengatasi homesick meskipun tak sepenuhnya menghapus rasa rindu saya pada rumah.

Ada banyak pelajaran yang saya terima ketika saya jauh dari rumah, jauh dari mama yang selalu memperhatikan saya, dari makan sampai kebutuhan lainnya, jauh dari papa yang selalu siap siaga membantu saya, jauh dari adik dengan segala candaan ringannya. Jauh dari rumah mengajari kita untuk mandiri, saya jadi tahu gimana susahnya cari makan atau menentukan menu makanan, padahal hanya untuk saya. Kebayang mama yang tiap hari nyiapin makanan untuk papa, saya dan adik, tapi saya masih suka protes kalo menu nggak cocok. Sekarang saya tahu gimana susahnya cari makan sendiri. Kebetulan kos saya jauh dari tempat orang jual makanan, jadi kadang malas keluar cari makanan. Hasilnya saya delivery junkfood atau nasi goreng. Jarang makan sayur dan buah, padahal di rumah selalu ada tapi jarang saya sentuh. Jauh dari rumah membuat gaya hidup saya tidak sehat :(

Merantau membuat saya harus belajar mengatur segala sesuatunya sendiri. Kebersihan, kerapian, belanja bulanan, keuangan, dll. Di rumah, tugas saya hanya mencuci piring atau menyapu halaman. Ketika kos, saya harus mengerjakan semua, bahkan menyetrika yang menurut saya merupakan pekerjaan rumah yang paling melelahkan. Jadi keinget suka marah-marah sama mama karena kurang rapi dalam menyetrika, padahal baju yang harus disetrika banyak, sementara saya yang hanya menyetrika satu baju saja sudah lelah dan jengkel.

Merantau membuat saya tahu gimana rasanya jauh dari rumah ketika sakit tengah malam. Sendirian. Tidak ada obat dan hanya mengandalkan doa serta keajaiban. Sakit ketika jauh dari rumah membuat saya sadar bahwa tidak ada perhatian yang mengalahkan orangtua kita, terutama ibu yang langsung terbangun dan siap terjaga ketika kita sakit. Siap dengan obat yang meskipun kadang tinggal kita makan, tapi kita masih enggan menelannya. Ketika merantau dan tidak ada siapa-siapa, dengan posisi badan tidak sehat, hal itu membuat saya semakin merindukan rumah :(

Merantau membuat kita belajar menghargai saat-saat kebersamaan bersama keluarga. Saat yang dulu kita anggap biasa, namun kini terasa berharga. Merantau membuat kita sadar bahwa tidak ada tempat yang lebih nyaman dari rumah meski itu di hotel sekalipun. Saya merasakannya. Dulu saya begitu berniat untuk segera pergi dari rumah, karena kurang nyaman dengan kasurnya lah, lantainya lah, dll. Namun ketika saya di Jakarta, dengan fasilitas yang dua kali lipat lebih nyaman daripada kamar di rumah, saya merasa bahwa itu semua tidak ada artinya. Saya tetap merindukan rumah dengan segala isinya, tidak peduli rumah itu buruk, reot atau bau.

Merantau membuat kita tahu siapa yang benar-benar kita rindukan saat jauh. Dan itu adalah keluarga...


**Didedikasikan untuk perantau yang masih ingat rumah dan selalu merindukan rumah :')