Selasa, 08 Desember 2015

Aku adalah rumah
Tak megah tak juga mewah
Sederhana saja
Berdiri dalam wujud mungil di antara hamparan sawah

Sudah beberapa tahun aku tak berpenghuni
Beberapa orang datang silih berganti
Hanya sekedar mengamati
Atau masuk sebentar untuk kemudian pergi lagi

Ada yang datang mengetuk
Ada pula yang hanya sekedar menumpang duduk
Bagiku tak mengapa
Toh aku hanyalah rumah sederhana

Kau tau apa yang kurindu?
Adanya penghuni yang masuk dan tinggal lama di dalamku
Penghuni yang mau tinggal dalam rumah sederhana dan segala kekurangannya
Dan mampu memperbaiki serta membuatku menjadi lebih baik lagi

Beberapa datang dengan niatan dan harapan
Namun baru menjejakkan kaki di teras saja sudah menyerah
Beberapa mampu tinggal sementara
Lalu kemudian lari dengan meninggalkan jejak kerusakan, luka dan lara dimana-mana

Bukan salah mereka
Mungkin harapanku yang melambung terlalu luar biasa
Atau mungkin karma
Karena tak jarang pula kuusir mereka yang datang dengan sukarela, hanya karena aku merasa bukan merekalah yang layak jadi pemilik rumah dan segala isinya

Tapi aku masih percaya
Akan datang seseorang yang benar-benar akan bertahan lama
Mungkin untuk selamanya
Yang tak kan berkeberatan untuk menghabiskan separuh hidupnya dalam buai kemungilan rumah sederhana
Dalam hembusan semilir angin tengah sawah
Dan di tengah terik mentari kala siang
Dengan segala daya upaya untuk memperbaiki dan menerima...

Kamis, 11 Juni 2015

Analogi Rumah dan Hati

Karena hati kita seperti rumah dimana satu dua atau banyak orang pernah singgah. Mereka datang silih berganti, kadang hanya sekedar mengetuk, ada pula yang sempat masuk meski hanya beberapa saat, ada pula yang hanya memandangnya dari luar saja kemudian berlalu tanpa sempat mampir. Entah karena hanya sekedar lewat atau memang enggan untuk sekedar berkunjung tanpa sempat masuk karena apa yang nampak di luar tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Atau mungkin karena kita, sang pemilik rumah tidak cukup ‘welcome’ untuk menyambut dan menerima kedatangannya. Kadang mereka tinggal sebentar, kemudian pergi karena setelah tinggal selama beberapa hari, ada sesuatu yang membuat mereka tidak merasa nyaman atau tidak cocok dengan suasana yang kita suguhkan.

Kadang ada seseorang yang sebenarnya berniat datang dan mengetuk pintu rumah kita, kemudian menyerah dan pergi tanpa sempat masuk dalam rumah karena kita, sang pemilik rumah tidak mau membuka pintu untuknya, meskipun hanya sekedar mempersilahkannya untuk melihat-lihat saja. Mungkin karena kita hanya melihat dan menilai sekilas dari balik jendela, bahwa orang yang mengetuk tidak sesuai untuk tinggal di rumah kita. Kadang ada yang sempat masuk namun kemudian kita memintanya untuk pergi karena ia tidak cukup baik untuk tinggal dalam rumah kita. Bukannya merawat dan menjaga, tetapi malah merusak dan tak mau memelihara. Ada yang sempat tinggal lama, namun kemudian ia pergi karena telah menemukan rumah baru yang lebih luas, besar, mewah atau karena dekat dengan tempatnya bekerja, atau karena tuntutan lain yang membuatnya harus pindah dari rumah kita.

Kadang rumah kita kotor. Penuh dengan sisa jamuan atau hiasan bersama tamu sebelumnya. Kadang hal itu yang membuat orang lain yang berniat singgah, jadi mengurungkan niatnya untuk sekedar masuk bahkan hanya sekedar mengetuk. Kadang kita perlu membersihkan rumah kita dulu. Dari sisa-sisa makanan jamuan, foto-foto kebersamaan dengan tamu sebelumnya, dan menghias serta merapikannya menjadi lebih baik, indah, segar dan baru lagi, sehingga mereka yang akan atau sudah berniat untuk mengetuk pintu rumah kita, tidak hanya berhenti pada sebatas mengetuk tapi juga mau masuk dan mungkin akan berlama-lama tinggal di dalamnya.

Begitu pula hati. Sama seperti rumah yang kadang datang dikunjungi. People come and go. Orang-orang datang dan pergi. Ada yang singgah lama, ada pula yang hanya sekedar lewat. Ada yang memang sengaja datang untuk mendekat, mengetuk dan masuk. Ada pula yang iseng hanya lewat tapi kemudian berniat masuk. Dan ada juga yang hanya melihat dari luar kemudian pergi lagi.  Kadang ada orang yang berniat mengetuk pintu hati atau sudah benar-benar masuk, namun kemudian pergi karena ia menganggap kita, sang pemilik hati, tak cukup ramah menyambut, tak cukup terbuka membuka hati kita untuk mereka yang sesungguhnya ingin masuk dan jadi penghuni hati kita. Kadang ada yang berniat datang dan kemudian tinggal lama di hati kita, namun kemudian pergi karena merasa tidak ada kecocokan atau kenyamanan ketika bersama kita.

Kadang ada orang yang benar-benar berniat masuk dan mengetuk pintu hati kita, namun kemudian menyerah karena kita tidak mau membukakan pintu hati untuknya. Entah karena hanya dari pandangan sekilas atau tampilan luar, kita tidak merasa cocok dengannya atau karena hal lainnya. Kadang ada yang telah kita perkenankan masuk dalam hati, namun kemudian kita harus memintanya pergi karena ia malah menyakiti dan melukai hati. Ada yang tinggal lama di hati, namun kita harus merelakannya pergi karena mungkin ia telah menemukan sosok baru yang lebih baik dan membuatnya lebih bahagia atau karena hal-hal lainnya.

Kadang hati kita masih belum seutuhnya bersih  dari kenangan masa lalu. Seperti rumah bekas pakai yang ditawarkan untuk dijual namun tidak ada renovasi, furniture, interior dan layout. Semuanya masih sama persis ketika penghuni lama menempatinya. Bahkan terjadi kerusakan di sana-sini tanpa kita mau memperbaiki. Begitu pula hati kita, kadang kita masih menyimpan bahkan dengan gamblang memajang sisa kenangan orang yang telah pergi dari kita. Enggan menghapus, membersihkan atau hanya sekedar meyimpannya rapi dalam tempat tersembunyi. Kadang hal ini membuat orang yang ingin datang dan masuk dalam hidup kita, kemudian pergi karena kita masih terbayang oleh kenangan masa lalu. Bahkan kadang kita masih membiarkan luka hati dan rasa sakit hati terhadap mereka yang telah pergi, menganga begitu saja dan membiarkannya terbuka dan tak mau memperbaiki atau mengobati, seperti halnya kerusakan pada rumah yang sebenarnya nyata dan terasa namun tetap kita biarkan dan tak kita perbaiki.

Sama seperti rumah bekas pakai yang akan disewakan atau dijual, kadang ada calon penghuni yang siap membantu kita untuk membersihkan rumah kita dari bekas barang-barang penghuni lama, memperbaiki kerusakannya, atap-tembok-pintu-jendela dan perabotannya. Namun lebih seringnya, mereka merasa tidak cocok dengan suasana rumah yang masih menyimpan kenangan penghuni lama. Ibarat hati kita, kadang kita ingin ada orang baru datang dan masuk di hati kita. Kemudian kita berbicara pada semua orang bahwa kita siap membuka hati kita untuk orang lain. Namun ketika benar-benar ada yang mengetuk dan berniat masuk, hati yang kita tawarkan masih belum benar-benar bersih dari kenangan masa lalu, masih menyimpan dendam dan sakit karena luka yang ditorehkan oleh yang telah berlalu, masih belum sepenuhnya ramah dan menerima sesuatu yang baru. Kadang ada orang yang siap membantu kita untuk lepas dari masa lalu, dengan segala daya dan upaya meyakinkan kita bahwa ia benar-benar ingin memiliki kita dan akan menjaga kita sepenuhnya serta merubah segala cara pandang kita yang lama sehingga kita mau menerima hal yang baru. Tapi lebih seringnya mereka menyerah dan lebih baik datang pada hati yang telah siap terbuka. Karenanya, sebelum kita pasang papan “sewa” atau “jual” di depan rumah, ada baiknya kita bersihkan dulu rumah dari sisa kotoran penghuni lama dan memperbaiki rumah dengan layout serta tatanan yang lebih baik lagi. Seperti halnya hati kita, untuk menanti kedatangan seseorang yang baru dalam hati kita, alih-alih berkata siap namun belum sesungguhnya membuka hati, lebih baik kita bersihkan hati dari kenangan lama dan perbaiki diri jadi lebih baik lagi.

Sama seperti rumah, mungkin banyak orang yang datang dan singgah kemudian pergi lagi dari hati kita. Ada yang mengetuk untuk kemudian masuk lalu pergi.  Membuka atau menutup pintu hati, menyeleksi atau membiarkan saja mereka masuk dalam hati, membiarkannya menyakiti atau mengusirnya pergi, menahannya untuk tetap tinggal atau merelakannya pergi, semua pilihan itu tergantung pada kita. Kita adalah tuan dari hati kita, sama seperti kita adalah tuan dari rumah kita sendiri. Membiarkan orang untuk datang, masuk dan mengusir pergi adalah hak dan piihan kita.


Dan satu hal lagi, jika kita benar-benar ingin orang baru datang dan masuk ke dalam hati kita, kita harus benar-benar telah lepas dan bersih dari kenangan masa lalu. Kita harus benar-benar telah menutup luka dan rasa sakit kita. Karena tidak mungkin kita biarkan tamu datang, masuk dan tinggal ke rumah yang kotor serta belum sepenuhnya bersih. Karena tidak mungkin kita biarkan orang yang kita inginkan untuk datang dan tinggal dalam hati kita, namun hati kita masih kotor dan masih menyisakan terlalu banyak ruang untuk masa lalu. Beruntung jika orang baru yang datang siap menerima, mengobati luka dan mau membantu kita untuk move on. Jika tidak, kitalah sendiri yang harus berjuang untuk membersihkan sisa kenangan lama karena kitalah tuan dari hati kita sendiri, pilihan untuk membersihkan atau membiarkannya tetap menjadi jamur dan parasit hati adalah keputusan kita. Jadi, bersihkan dulu hatimu dari kenangan masa lalu dan perbaiki dirimu sebelum menyambut kedatangan yang baru!

Minggu, 07 Juni 2015

Jodoh itu soal waktu. Kadang ia datang cepat, kadang lambat atau seringnya datang di saat yang tepat. Cepat lambat dan tepatnya kedatangan pasangan hidup kita tergantung Tuhan, Sang Dalang, Sutradara sekaligus penulis skenario hidup kita. Waktu kedatangan pasangan sudah diatur oleh-Nya. Jadi, kalau doa dan permohonan kita agar Tuhan mempercepat kehadiran pasangan hidup tak kunjung dikabulkan (entah karena belum waktunya atau Tuhan anggap kita belum siap), maka kita bisa mengubah doa kita, dari soal permohonan mengenai waktu agar kehadiran pasangan bisa dipercepat, menjadi tentang perubahan sifat dan sikap kita. Mungkin doa mohon dipercepat bisa diubah menjadi doa mohon kesabaran dalam menunggu dan doa memohon petunjuk untuk perbaikan diri menjadi lebih baik lagi, agar kita menjadi lebih siap dan pantas untuk menerima pasangan hidup yang merupakan anugerah yang Tuhan berikan untuk kita. Dan saya rasa Tuhan Maha Mendengar, Tuhan tak akan menolak mengabulkan permohonan kita untuk menjadi sabar dan menjadi pribadi yang lebih baik apabila kita memang benar-benar berniat untuk melakukannya, bukan sebatas doa tapi juga dalam tindakan. Karena tindakan adalah langkah kita sementara doa adalah kompas yang akan menuntun langkah kita menuju tujuan...

Selasa, 26 Mei 2015

Tragedi Potong Poni

Dan terjadi lagi, tragedi potong poni yang terulang kembali. Semacam kisah lama yang saya tulis kembali dengan versi judul yang berbeda, tapi intinya sama. Berawal dari poni yang mulai memanjang menutupi dahi, meskipun nyaman saya rasa dan saya pandang, tapi bagi sebagian orang, pemandangan poni menggantung hampir menutupi mata sangat lah mengganggu. Akhirnya, berbekal bayangan poni rapi menghiasi dahi, saya putuskan untuk memangkas rapi sebagian rambut yang memanjang seperti korden yang menutupi mata. Tapi, seperti biasanya, kadang bayangan dan kenyataan tidaklah sama. Apa yang kita harapkan kadang tidak terjadi pada kenyataannya. Poni yang dipangkas terlalu pendek, sehingga terlihat lucu jika dipandang. Bahkan terasa jauh lebih buruk daripada poni panjang seperti tirai yang menutupi mata. Sungguh, kalo sudah begini, mati-matian saya berusaha memperbaiki atau setidaknya menutupi kekurangan panjang poni tersebut. Berjam-jam saya memandang wajah di kaca, menata rambut sedemikian rupa, sisir sana sisir sini, belah pinggir, tengah, miring. Tapi hasilnya tetap sama dan tidak memperbaiki bentuk poninya. Tetap aneh dan wagu! Kalo sudah begini, rasanya pengen sembunyi sampai rambut benar-benar kembali seperti semula. Seolah-olah setiap orang yang kita temui memandang aneh pada kita (meskipun sebenarnya tidak seperti itu). Tapi saya percaya, sebulan atau dua bulan lagi, poni ini akan menemukan polanya. Akan terlihat indah jika sudah sedikit lebih panjang. Akan terasa pas jika sudah lama memanjang. Bukankah sebelumnya tragedy potong poni pernah terjadi? Bahkan berkali-kali, dan lama-lama akan terasa pas menggantung di dahi, meskipun butuh beberapa waktu untuk penyesuaian.

Saya rasa begitu pula dengan kisah saya. Terjadi lagi tragedi dimana saya harus kembali menghadapi kenyataan rumit nan pahit. Berjalan pada sebuah jalinan yang nyaman sebenarnya, sungguh indah rasanya bisa kembali merasakan perasaan ini. Namun pada akhirnya, tidak ada sesuatu yang abadi bukan? Perasaan nyaman ini kadang juga harus diakhiri. Sama seperti poni yang mulai memanjang, meskipun terasa nyaman dan pas di wajah, namun kadang kita harus memangkasnya, demi poni yang lebih rapi, dalam hal ini, demi jalinan hubungan yang lebih baik lagi. Kadang  apa yang menurut kita pas dan membuat nyaman, tak selalu bisa kita pertahankan. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara bertahan atau melepaskan. Pada akhirnya, ketika kita memutuskan untuk melepas, kita harus menerima konsekuensi bahwa kita harus memasuki fase baru, fase penyesuaian dimana kita harus melepaskan apa yang membuat kita nyaman. Sama seperti ketika potong poni, meskipun kelihatannya sepele, namun kehilangan bagian yang membuat wajah kita indah (menurut kita), harus direlakan demi poni baru yang lebih rapi dan sedap dipandang meskipun kita harus melalui fase penyesuaian bentuk wajah yang sedikit berbeda karena potongan yang kependekan. Tapi ketika kita sudah mulai terbiasa menjalani hari tanpa apa yang membuat kita nyaman, belajar menyesuaikan diri, maka percayalah, keterbiasaan ini akan membuat kita menemukan hal baru yang mungkin akan bisa me-replace atau menggantikan sesuatu yang nyaman yang telah kita lepaskan tadi. Sama ketika kita percaya bahwa poni yang tadinya kependekan dan jelek, suatu saat akan memanjang dan menemukan pola terbaiknya. Semoga!


Tragedi potong poni juga mengajarkan saya bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, yang abadi hanyalah perubahan  itu sendiri. Perubahan poni dari panjang ke pendek kemudian panjang lagi. Dari bentuk poni yang membuat wajah kita indah ke bentuk poni yang merubah wajah menjadi baik lagi dan begitu seterusnya. Sama seperti bahagia yang datang sebentar, kemudian berubah menjadi kesedihan dan kemudian bahagia muncul lagi. Sama halnya dengan ketika kita mendapatkan sesuatu kemudian kehilangannya dan menemukan lagi, entah dengan sesuatu yang sama atau sesuatu yang baru yang lebih baik lagi. Kemudian saya teringat ucapan Andi Warhol “I’m really afraid to be happy because it never lasts”. Saya setuju kata-kata Warhol, perasaan senang tidak akan bertahan lama, maka nikmatilah selagi bisa dan berpikirlah bahwa itu tak akan bertahan lama sehingga kita tidak akan terlalu larut dalam perasaan yang hanya sesaat. Sama halnya dengan senang, kita juga harus percaya bahwa kesedihan yang kita alami juga tidak akan berlangsung lama. Suatu saat nanti, entah dalam waktu yang lama atau hanya sesaat, bahagia akan segera datang dan jika memang telah tiba waktunya, nikmatilah! J

Rabu, 29 April 2015

TRAVEL LOG
PARI-DISE : ‘A LITTLE PARADISE’ IN THE NORTH JAKARTA
Catatan Perjalanan ke Pulau Pari – Kepulauan Seribu Selatan

Jakarta, Sabtu pagi. Langkah kaki atau lebih tepatnya laju mobil angkot warna biru muda yang kami tumpangi ber-tiga-belas (sebuah angka yang menurut mereka mengakibatkan kesialan namun syukurlah tidak berpengaruh apa-apa bagi rombongan saya, dari awal berangkat hingga kembali ke kosan), membawa kami menuju utara Jakarta. Setelah sempat berputar-putar menyusuri jalanan Jakarta yang lengang (mungkin karena weekend dan hari masih terlalu pagi untuk beraktivitas di akhir pekan), dengan bantuan GPS, sampailah kami di Pelabuhan Muara Angke. Aroma tak sedap menyergap hidung  kami. Paduan antara aroma ikan segar, ikan tak segar, tumpukan sampah, tanah basah (becek –red), asap kendaraan yang lalu lalang dan (mungkin) keringat nelayan serta ratusan manusia yang beraktivitas di lingkungan Muara Angke. Spontan tangan kami menutup satu-satunya indera yang membuat kami menghirup paduan aroma yang tak biasa.

Ready to go! Pari Island!
Kontras dengan suasana jalanan yang lengang, suasana di Muara Angke dan sekitarnya mulai riuh dengan lalu lalang kendaraan dan lautan manusia yang berjejal. Pemandangan kontras mulai terlihat, perpaduan antara nelayan lokal dan pedangang ikan dengan baju lusuh dan gerobak pengangkut ikan yang terbiasa dengan aroma dan suasana Muara Angke versus wisatawan lokal dengan pakaian ala liburan serta tas ransel bekal menginap sehari semalam di pulau tujuan, membaur dalam padatnya pelabuhan nelayan dan tempat pelelangan ikan di Utara Jakarta itu.

Ya, Muara Angke adalah langkah pertama kami dan ratusan pelancong lain menuju pulau-pulau di gugusan Kepulauan Seribu. Ratusan orang telah menanti agen travel mereka di meeting point yang biasa ditetapkan oleh travel agent untuk menjemput dan mengarahkan wisatawan menuju ke pulau tujuan masing-masing. Pom bensin menjadi pusat para wisatawan untuk turun dari kendaraan masing-masing, sebelum berjalan ke tepi pelabuhan menuju ke kapal.  Seorang petugas dari agen travel mengantarkan kami menuju pelabuhan. Lorong sempit menjadi jalan penghubung dari daratan menuju pelabuhan. Setelah berjingkat melewati dua kapal terparkir dari tepian, tibalah kami di kapal yang akan mengantarkan kami ke Pulau Pari.

Puluhan kapal nelayan dan kapal penumpang lainnya bersandar di pelabuhan yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara tersebut. Mata saya terpaku pada pemandangan air laut sekitar pelabuhan, hitam pekat dengan sampah-sampah mengambang, tersuguh kontras dengan gedung-gedung bersih dan tinggi menjulang yang berdiri tak jauh di sekitarnya. Tidak perlu mengutuk, mungkin saya juga termasuk satu dari ratusan ribu bahkan jutaan masyarakat Jakarta yang sadar atau tak sadar, langsung maupun tidak langsung, menyumbangkan sampah-sampah yang akhirnya bermuara di Muara Angke.

All team!
Setelah menanti satu jam, sesuai jadwal, kapal kami bertolak dari pelabuhan, kala matahari sudah mulai tinggi dan terasa menyengat. Kami memilih duduk di bagian depan kapal, meski sempat dilarang oleh kru kapal dengan alasan keselamatan. Semilir angin mulai membelai kami, aroma air laut terasa pekat tercium. Sekitar satu kilo dari pelabuhan, warna air masih hitam dengan gelombang sampah yang mengapung. Selepas itu, laut biru sebagaimana layaknya warna laut, mulai menyambut. Meski sesekali barisan sampah mengambang di atas hamparan warna biru lautan. Kadang ‘mata-haus-pemandangan-indah’ kami dihibur oleh tarian burung camar (atau entah apalah itu namanya) yang terbang tipis di atas air, mengintai ikan-ikan kecil untuk dikonsumsi. Bahkan, di tengah perjalanan, dua ikan kecil (entah apa juga namanya), berenang melompat-lompat di atas air, sejajar dengan kapal yang kami tumpangi, seolah mengajak kapal kami untuk balapan. Awesome!

Perjalanan hampir dua jam mengarungi laut di utara Jakarta akhirnya berujung di dermaga Pulau Pari, tujuan akhir rombongan kami. Warna biru toska air di tepian dermaga menyambut mata kami. Pulau seluas 94 hektar ini seolah terpagari oleh pohon-pohon hijau nan asri, membuat saya bertanya-tanya, apa yang ada dan tersembunyi di dalamnya. Sedikit tidak yakin ada rumah-rumah dan penduduk yang tinggal di sana. Bahkan sebelum ke pelabuhan, saya sempat ragu, benarkah listrik dan jaringan seluler bisa saya dapatkan?

Welcome to Pari Island!

Dan pikiran sempit saya yang memgira bahwa Pari adalah pulau terpencil yang tak tersentuh listrik serta jaringan seluler terbantahkan, saudara-saudara! Di balik rerimbunan pohon-pohon nan hijau berjajar memagar, terdapat rumah-rumah penduduk sekaligus homestay tempat para wisatawan tinggal. Tak perlu takut kepanasan seperti yang sebelumnya saya pikirkan karena rata-rata homestay tersebut dilengkapi AC dan fasilitas MCK yang bersih, termasuk homestay kami yang terletak sekitar 500 meter di sebelah utara dari dermaga. Bagi yang tak bisa kehilangan sinyal ponsel, tak perlu khawatir, untuk beberapa provider, sinyal yang ada cukup kuat di pulau ini. Udara di Pulau Pari juga bersih, tidak ada kendaraan kecuali sepeda dan segelintir sepeda motor. Tidak ada mobil, keberadaan mobil tidak akan diperlukan karena Pulau Pari terlalu sempit untuk dikelilingi dengan mobil. Kami, wisatawan, pergi kemana-mana hanya jalan kaki dan naik sepeda. Tak perlu takut jalan jauh atau bersepeda jauh, jalanan di Pulau Pari hanya membentang dari ujung ke ujung dan hanya ada dua jalan utama selebar sekitar dua meter dengan dasar susunan paving dengan beberapa gang kecil sebagai penghubung antar dua jalan utama tersebut. Satu jalan di tepi dermaga dan satu lagi di tengah desa. Pulau Pari juga telah dilengkapi dengan fasilitas kesehatan berupa Puskesmas yang 24 jam siap memberikan pelayanan kesehatan darurat.

Lelah dan penat kami sepanjang perjalanan terbayarkan dengan suasana ala pedesaan. Bagi saya yang berasal dan tumbuh besar di desa, suasana di Pulau Pari mengingatkan saya pada suasana kampung halaman. Sederhana, tenang, akrab dan jauh dari hingar bingar. Such a great escape untuk para pencari keheningan dan ketenangan yang terpaksa harus hidup dalam keramaian *halaahh.

Pantai Pasir Perawan

Setelah beristirahat sejenak sembari menyeruput welcome drink berupa es kelapa muda, kami meneruskan perjalanan dengan bersepeda menuju Pantai Perawan atau Virgin Beach. Bersepeda sekitar satu kilo ke arah timur homestay, setelah sebelumnya membayar karcis masuk seharga dua ribu rupiah, kami disambut dengan suguhan pantai pasir putih dengan air laut biru kehijauan serta beberapa pohon bakau yang tumbuh menggerombol di beberapa bagian. Di pantai ini, tersedia perahu kano dan perahu kayuh untuk mengelilingi atau mengunjungi gugusan pohon bakau yang terletak tidak jauh dari pantai. Silahkan menghabiskan sepertiga memori kamera kalian dengan foto-foto narsis di spot ini.

Tak cukup lama kami berada di Pantai Perawan, jelang makan siang, kami kembali menuju homestay untuk menyantap hidangan makan siang, istirahat sejenak untuk melanjutkan tujuan utama kami datang ke Pulau Pari – SNORKLING!!

Ready for snorkling!
Sekitar jam setengah dua siang, guide lokal kami telah mempersiapkan peralatan snorkeling berupa kacamata, alat bantu pernapasan, life vest dan lainnya. Ada sedikit kekhawatiran karena (honestly) saya tidak bisa berenang, phobia air dalam jumlah besar dan takut kedalaman air. Dan sekalinya renang langsung nyemplung ke tengah lautan! O-M-G! But I dare my self to face my fear. Kalau bukan sekarang kapan lagi?!

Perjalanan menuju ke spot snorkeling kami tempuh dengan kapal tradisional nelayan. Untuk melawan rasa takut, saya duduk di tepian kapal menikmati semilir angin sembari menggantungkan kedua kaki saya di atas air laut, membiarkan gelombang air sesekali menerpa kaki saya, sambil terkadang berjingkat mengangkat kaki karena barisan sampah yang numpang lewat. Sempat berhenti beberapa kali untuk mencari spot snorkeling, bahkan guide kami sempat hampir memilih spot yang terdapat banyak sampah mengambang, akhirnya kami sampai di spot yang cukup jauh dari keramaian orang snorkeling lainnya dan tentunya aman dari barisan limbah plastik serta sampah lainnya.


Underwater!
Satu persatu anggota rombongan mulai menjatuhkan tubuh mereka ke kedalaman sekitar 3-5 meter. Saya, yang takut air dan tidak bisa berenang, sempat bimbang, namun akhirnya, dengan segenap perjuangan melawan rasa takut, saya jatuhkan diri saya ke laut biru. Sempat panik, dengan tubuh mengambang, terbalik, timbul, tenggelam, melayang, dan tak sanggup mengontrol diri.  Akhirnya saya bisa mengendalikan diri, menaklukkan rasa takut dan menikmati pesona bawah laut dengan hamparan karang serta birunya kedalaman bawah laut. Sesekali mata kami terhibur dengan puluhan ikan nemo yang berenang lalu lalang, apalagi apabila kami menggenggam remah biskuit. Puluhan ikan akan datang mengerumuni. Jadi, bagi kalian yang ingin foto bawah laut dengan kerumunan ikan nemo, bawalah biskuit sebagai umpan untuk memancing kedatangan mereka.

Di antara puluhan ikan Nemo
Puas menikmati pemandangan bawah laut, kami kembali ke Pulau Pari dengan berbagai cerita dan ekspresi ketika ‘menenggelamkan diri’ untuk melihat secara langsung, keindahan dan apa yang ada di balik dalam dan birunya lautan. Beberapa teman-teman bahkan melanjutkan untuk menikmati sensasi terombang-ambing dengan banana boat yang ditarik cepat di atas laut. Namun saya harus menghentikan kesenangan saya sejenak, saya harus kembali ke homestay  lebih cepat karena tiba-tiba muncul bercak merah panas membengkak di beberapa bagian kulit. Alergi! Padahal saya tidak mengkonsumsi seafood sama sekali. Entahlah, mungkin air laut pun memiliki pengaruh untuk memunculkan alergi. Satu lagi tips bagi kalian yang memiliki alergi seperti saya, jangan lupa membawa obat anti alergi ketika berlibur ke pantai atau daerah pesisir.

Sore hari, selepas mandi, kami bersepeda lagi menuju ke arah barat, memasuki arena bangunan milik LIPI untuk menikmati panorama matahari terbenam. Namun sayang, kami terlambat datang. Matahari sudah terlanjur terbenam tanpa sempat kami mengabadikan momennya. Bahkan kami sempat terjebak hujan deras selama hampir satu jam, pulang selepas Maghrib dengan suasana gelap, menyusuri jalanan yang kiri kanan hanya terhampar pepohonan serta semak rimbun. Untungnya kami tak sendirian, ada rombongan lain yang pulang bersama kami karena juga menanti hujan reda.

Malam hari, setelah menyantap makan malam, kami kembali bersepeda menuju Pantai Perawan untuk (kembali) makan dan menikmati suasana malam di tepi pantai sembari menyantap sajian ikan dan cumi bakar. Suasana tepi pantai yang tenang, berkumpul bersama teman-teman, dapat menjadi pertimbangan bagi kalian untuk membawa gitar, mengisi waktu malam hari dengan bernyanyi atau sekedar menikmati petikan gitar yang sayup terdengar di keheningan malam.

Sunrise di tepi dermaga
Esoknya, jarang-jarang di hari Minggu saya bangun pagi. Tapi demi sunrise di Pulau Pari, pagi-pagi sudah nongkrong di dermaga Pulau Pari. Di sebuah gundukan tanah menyerupai bukit untuk melihat matahari terbit. Agak lama menantikan sunrise, namun karena mendung, matahari baru terlihat ketika sudah berada pada titik cukup tinggi. Namun penantian kami tak cukup membosankan, kami sempat dihibur oleh gerombolan ratusan ikan kecil yang bersama-sama melompat di atas air dengan ketukan konstan dan melompat bersamaan, seolah laut adalah panggungnya, mereka artis penghibur yang menunjukkan kebolehan dan atraksi spektakuler di hadapan penontonnya. Luar biasa!

Kembali ke homestay, sarapan telah disajikan, mandi kemudian guide membawa kami ke Pantai Bintang, yang juga merupakan tempat penaangkaran biota laut, tidak jauh dari bangunan milik LIPI yang kami kunjungi kemarin sore. Panorama di pantai Bintang sedikit berbeda. Selain karena ceceran sampah di tepi pantainya, gundukan putih menyerupai karang (yang setelah didekati ternyata gundukan pasir pantai) menghampar dengan latar pohon bakau. Seolah-olah ada hamparan salju di tengah lautan nan biru. Warna biru muda lautan senada dengan warna langit pagi itu yang juga biru, luas menghampar, seolah langit dan laut menyatu dan hanya terpisahkan oleh segaris tipis cakrawala.


Pasir putih Pantai Bintang
Usai melepaskan hasrat untuk bernarsis ria di tengah hamparan pasir putih yang berkumpul di antara tepian laut biru yang tenang, kami melanjutkan kayuhan sepeda kami. Karena perut kami sudah membunyikan alarm kelaparan, kami pun mencari spot jajanan dan es kelapa muda untuk memenuhi keinginan perut dan mulut. Jalan yang kami tempuh kali ini sedikit berbeda, melalui jalanan setapak tanah di antara kebun dan rumah-rumah, kami dapat memotret secara langsung bagaimana warga-warga di Pulau Pari menjalani aktivitas pagi. Mata saya sempat berbinar dan terpaku selama beberapa detik ketika menangkap pemandangan di sebuah halaman belakang rumah kayu nan sederhana. Satu keluarga, bapak dan anak laki-laki seusia kira-kira sepuluh tahun duduk semeja menikmati sajian sarapan pagi dan segelas teh hangat, sementara ibu berdiri tak jauh dari mereka, menjerang air di atas tungku bata untuk seduhan teh selanjutnya. Sungguh, tidak ada yang lebih damai dari ini, hidup sederhana dengan segala keramahan alam dan suasana pedesaan yang tenang serta tak jauh dari keluarga. Ketika jarak dan batas bapak ibu serta anak hanya dipisahkan oleh meja kayu yang luasnya tak seberapa. Ketika kemudian saya sadar bahwa mengais rejeki yang begitu banyak di perantauan dengan segala kemewahan yang ditawarkan, tak kan ada artinya dengan kebersamaan bersama keluarga meskipun dengan kesederhanaan.

Selesai menyantap sajian otak-otak dan kelapa muda, kami kembali ke homestay untuk packing dan persiapan kembali ke Jakarta karena kapal yang akan mengangkut kami tiba pada pukul 12.00. menuju ke dermaga dengan wajah tak seceria ketika berangkat, kapal yang akan membawa kami kembali telah bersandar sejak setengah jam yang lalu, telah penuh sesak dengan manusia beserta kenangan akan keindahan dan kisah sehari semalam di Pulau Pari. Kami memutuskan untuk duduk di bagian dalam, meskipun sempit dan pengap, karena kami sudah tidak punya cukup tenaga untuk berpanas ria apabila duduk di luar kapal.

Pukul 13.30, kapal kami telah bersandar di Pelabuhan Muara Angke, masih dengan setting yang sama, gedung yang masih berdiri angkuh di lokasi tak jauh dari pelabuhan kumuh yang mendadak dua kali lipat lebih ramai karena kedatangan wisatawan dan kenangan serta kisah menarik di Kepulauan Seribu. Wajah bahagia namun sendu, bahagia karena telah melewati weekend dengan liburan asyik dan sendu karena harus kembali menghadapi rutinitas serta kesumpekan Jakarta dengan tumpukan pekerjaan yang telah menanti. Namun begitu, Pulau Pari telah menjadi great escape kami selama sehari semalam, untuk sejenak melupakan beban pekerjaan dan menyatu dengan kesederhanaan dan keramahan yang alam tawarkan...

***

Catatan :
Untuk perjalanan ke Pulau Pari, kami menggunakan jasa travel dengan biaya Rp 340.000,- / orang untuk 13 orang. Semakin banyak orang yang ada dalam rombongan, maka biaya yang kalian keluarkan akan makin sedikit. Biaya tersebut sudah mencakup :
1.       Tiket kapal PP (Angke – Pari – Angke)
2.       Biaya sewa homestay
3.       Biaya sewa sepeda untuk transportasi keliling Pulau Pari
4.       Makan 3 kali (Siang – Malam – Pagi)
5.       Sewa alat snorkeling dan kapal menuju ke spot snorkeling
6.        Dokumentasi (foto bawah laut dan kegiatan selama di Pulau Pari)

Belum termasuk :
1.   Tip untuk guide lokal
2.   Tiket masuk lokasi Pantai Pasir Perawan dan Pantai Bintang (untuk masuk ke lokasi pantai, kalian hanya perlu merogoh kocek sekitar Rp 1000,- s.d 2000,-)
3.       Uang untuk beli jajanan dan keperluan lain yang tidak disebutkan di atas

Rabu, 25 Februari 2015

Hold On for Something Better

Kadang kita sering bilang, "saya ingin mencari tempat atau sesuatu yang lebih baik. Karena apa yang saya jalani sekarang terasa berat dan menyulitkan." Lalu, bagaimana kita bisa mendapatkan yang terbaik kalo baru dikasih cobaan segini aja udah nyerah?  Yang terbaik tidak akan datang kalo kita belum menyelesaikan ujian yang sekarang. Dan Tuhan akan memberikan sesuatu atau tempat yang lebih baik, apabila Ia memandang sudah selesai waktu kita di tempat ini, sudah cukup ujian kita di sini. Intinya, yang terbaik akan datang jika kita terus berusaha. Mungkin, jika berusaha menjadi lebih baik itu sulit, setidaknya berusahalah bertahan dengan tempat atau sesuatu yang ada sekarang, hingga Tuhan berkata sudah saatnya kita beralih ke suatu tempat yang lebih baik. So, keep holdin' on! God always be with us!

Kamis, 19 Februari 2015

Lupa Berkaca!

Kadang kita lupa berkaca
Atau memang tak punya kaca
Atau sengaja menyembunyikannya
Ketika kita jatuh cinta

Kadang mati logika kita
Atau lupa punya logika
Karena kekaguman pada sosok yang kita cinta

***

Ya, kadang kita lupa berkaca ketika sedang jatuh cinta. Kita lupa siapa diri kita, kita lupa berkaca seperti apa diri kita dan lupa merefleksikan diri, apakah kita layak dan pantas untuknya. Kadang melambung harapan kita, tinggi tak menjejak daratan, dengan balon-balon harapan yang membawa kita terbang. Harapan yang muncul karena, ya tadi, kita lupa berkaca. Pura-pura lupa pada diri kita sendiri, lupa mengukur kemampuan diri sendiri, sejauh mana hal yang kita punya ini sanggup meraih sosok yang kita harapkan. Tidak, maksud saya berkaca di sini bukan hanya soal fisik semata atau perkara apa yang kita punya. Tapi juga diri kita seutuhnya, termasuk kebaikan dan keburukan yang ada di dalamnya, yang awalnya tak terungkap namun lama kelamaan akan tertangkap..

Kadang kita mendadak amnesia, bahwa karakter kita yang seperti ini tidak cocok untuk dia yang seperti itu. Atau tentang kisah Cinderella yang tidak akan menjadi sesuatu yang nyata, kita lupa apa yang ia miliki jauh di atas kita, dia lebih layak untuk mendapatkan yang terbaik. Karena kita tidak cukup baik untuknya. Apa yang kita punya tak sanggup mengimbangi apa yang ia miliki. Ya meskipun kita tahu, kadang cinta tidak mengenal kelas dan kasta, apa yang kau punya dan apa yang ku punya, atau seperti apa wujud dan rupa, seberapa jauh beda usia serta seburuk apa sikap dan sifatnya.

Pada intinya, untuk bisa menerima kegagalan sebuah hubungan, untuk bisa memahami kenapa orang yang kita cinta tidak membalas perasaan kita, salah satunya adalah dengan berkaca. Pantaskah kita untuknya? layakkah kita bersanding dengan dia? Sebandingkah kebaikannya dengan apa yang kita punya? Dengan begitu kita akan merelakannya pergi mencari yang terbaik untuknya, yang layak dan pantas bersamanya. Dan sebaiknya kita berkaca, mematut diri, merias diri merapikan apa yang kita miliki, untuk menerima berkah yang baik dan sebanding dengan apa yang ada dalam diri kita. Semoga!.

***

Selasa, 17 Februari 2015

Don't Hate Too Much, Don't Hope Too Much

Kejadian belakangan menyadarkan saya bahwa orang yang selalu kita pandang buruk, mereka yang kita anggap jahat, mereka yang diam-diam dalam pikiran kita, selalu kita anggap mencelakai kita, ternyata bisa berbalik begitu baik pada kita, membantu kita dengan sukarela tanpa kita minta dan menolong kita. Sungguh berbeda dengan gambaran negatif yang ada di benak kita.

Namun sebaliknya, orang yang kita anggap baik, yang selalu berbuat manis, yang seolah2 selalu ada ketika kita membutuhkan, bisa berubah menjadi orang yang mengecewakan, yang entah sengaja atau tidak, menyakiti hati kita, melukai perasaam kita.Yang dekat dengan kita, yang selalu kita suka, kita puja dan kita harapkan adalah orang yang berpotensi besar menancapkan luka dalam bagi kita. Sedikit saja sikap mereka mengecewakan kita, rasa sedih karena kehancuran harapan kita akan sangat terasa. Berbeda ketika orang yang begitu kita benci, kita pandang negatif, justru adalah orang yang pertama menolong kita ketika kita jatuh. Kita akan merasa malu pada diri kita sendiri, karena jauh dalam hati dan pikiran, kita pernah berpikiran buruk terhadapnya. Intinya, benci itu wajar, suka itu biasa. Kalau benci sekedarnya saja, kalau memuja seperlunya saja. Don't hate too much, don't hope too much, because that 'much' will hurt you so much...

Rabu, 04 Februari 2015

About Faith When You Decide to Fall

Saya bermimpi berdiri di tepi ngarai
Gemericik air sungai ratusan meter di bawah sana menggapai-gapai
Semilir angin lantas membelai

Saya melongok ke bawah
Di atas ngarai menjejak tanah
Apa jadinya jika saya jatuh?
Lalu saya rasakan tanah saya berpijak mulai runtuh      
Sesaat kemudian, sayup terdengar suara riuh          
Di bawah ngarai, saya melihat seorang menengadahkan tangan, siap menangkap saya yang hampir jatuh
Dia bilang, percayalah! Aku akan menangkapmu. Tak kan ku biarkan kau jatuh!
Tak ada waktu berpikir, saya pejamkan mata dan biarkan tubuh lunglai ini luluh bersama retakan tanah
Lepas bebas, luruh hanyut, desir jantung dan irama nafas
esaat menjelang gravitasi mutlak
mengempas saya ke dalam riak air sungai, sosok itu hilang bersama detak jantung yg mendadak berhenti, nafas saya tercekat sejenak sebelum terempas
Hanyut, hilang, lepas tapi tak bebas
Gelap...
Gelap yang menelan saya kembali ke atas
Kembali ke ngarai yang sama
Dengan setting dan suasana yang tak jauh beda
Hanya saja sosok yang berteriak dari bawah lah yang tak lagi sama
Namun tetap, ia meminta saya untuk terjun, jatuh dan mempercayakan tubuh saya padanya untuk direngkuh di bawah nantinya
Tapi semua tetaplah sama, tubuh saya menghempas riak air sungai, lalu masuk ke lorong gelap bawah sadar saya
Dan kembali pada setting yang sama
Begitu seterusnya
Hingga saya lelah jatuh
Saya lelah percaya
Pada apapun di bawah sana
Dan pada siapapun yang meminta saya untuk percaya dan menjatuhkan diri padanya
Saya tidak percaya bahwa kepercayaan bisa dipermainkan sedemikian rupa
Apakah saya yang terlalu mudah menaruh percaya? Atau mereka yang hanya ingin bermain-main dengan saya?
Entahlah, mungkin saya saja yang belum menemukan sosok yang bisa saya percaya
Yang bisa menepati janjinya
Dan siap menangkap saya ketika saya menjatuhkan rasa percaya saya padanya...


Selasa, 13 Januari 2015

Benar atau Salah?

Menuangkan sekelumit obrolan malam saya dengan seorang teman beberapa waktu lalu. Bercakap-cakap mengenai 'sisi' dan 'sudut pandang', baik dan buruk serta salah dan benar...

Dia : Jadi begini, saya merasa banyak orang yang nggak suka sama saya. Kadang karena pikiran mereka itu, saya jadi mencap diri saya sendiri buruk, tidak baik, karena banyaknya orang yang nggak suka sama saya.
Saya : Kenapa begitu? Berapa prosentase orang yang nggak suka sama kamu?
Dia : Banyak.
Saya : Apa ada lebih dari 80% orang dari kehidupanmu yang tidak menyukaimu?
Dia : Nggak sih, paling hanya sekitar 10% atau 20% saja.

Saya : Nah, jadi gampangnya gini, dari sampel 10 orang di sekitarmu, hanya 1 atau 2 orang saja yang nggak suka. Saya pernah baca bahwa tidak masalah kalo ada yang nggak suka sama kamu, tapi kamu akan dikatakan bermasalah kalo 80% orang di kehidupanmu tidak menyukaimu. Agak sedikit rancu juga sih, bahwa salah benar dan baik buruknya kita ditentukan dari seberapa banyak orang yang suka atau nggak suka dan seberapa banyak orang yang bilang kita salah atau benar. Tapi begitulah sistem hidup kita. Saya berpikir bahwa benar dan salah itu adalah sebuah konsensus, kesepakatan kita bersama atau lebih tepatnya kesepakatan kebanyakan orang yang menentukan bahwa ini salah dan itu benar, ini baik dan itu buruk. Hal tersebut didukung dengan adanya aspek legal berupa peraturan yang mengesahkan perkara baik buruk dan salah benar. Contohnya mengenai orang yang mencuri. Sudah pasti dari kesepakatan kebanyakan orang dan dari aturan, hal tersebut adalah salah dan merupakan perbuatan yang buruk. Tapi apabila ditilik dari sisi lain, mungkin ia mencuri karena alasan untuk menghidupi diri dan keluarga. Begitu juga mengenai cap jahat seseorang. Mungkin bagi kebanyakan orang, ia dianggap jahat, karena kebanyakan orang berdiri dan memandangnya hanya dari kejauhan dan dari satu sisi yang menampilkan keburukannya. Sementara mungkin bagi keluarga atau orang terdekatnya, orang itu tetaplah baik karena mereka berdiri dekat darinya dan memandangnya dari berbagai sisi atau dari sisi baiknya. 

Dari contoh tersebut di atas, saya selalu berpikir bahwa tidak ada yang benar-benar baik di dunia ini, begitu pula sebaliknya, tidak ada yang benar-benar buruk atau jahat di dunia ini. Saya percaya bahwa manusia jahat sekalipun, pasti memiliki sisi baik. Begitu pula yang baik, pasti memiliki sisi buruknya. Begitu pula dengan salah dan benar. Saya juga percaya bahwa tidak ada yang mutlak benar di dunia ini, pun sebaliknya, tidak ada yang mutlak salah di dunia ini. Benar atau salah, baik atau buruk, semua tergantung dari sisi dan sudut pandang mana kita melihatnya. Bisa juga saya katakan bahwa baik dan buruk serta salah dan benar itu adalah relatif, bukan suatu hal yang mutlak.

Kita adalah makhluk multidimensi, bukan selengkung gambar yang hanya dapat dilihat dan diinterpretasikan dari satu sisi saja. Karena multidimensi, kita dapat dilihat dari berbagai sudut dan sisi sementara tiap sisi memunculkan gambar dan representasi yang berbeda. Itu hanya dari sisi penglihatan, belum lagi dari sisi persepsi dimana tiap orang memiliki pendapat berbeda, serta adanya kepentingan dan faktor kedekatan, lalu hubungan antar keduanya, juga mempengaruhi cara pandang tiap orang. Sebut saja begini, ketika kita melihat suatu objek dari jarak jauh, dimana kita melihatnya dari sisi belakangnya, maka kita akan menilai objek tersebut dari sisi belakangnya saja, padahal masih ada sisi lain yang tentu akan memunculkan penilaian berbeda. 

Jadi, apabila ada orang atau kebanyakan orang menganggap kita jahat atau salah, mungkin hanya satu sisi saja mereka melihat kita, yaitu sisi buruknya dan juga karena kita berdiri di sisi berlawanan dengan mereka. Bukannya manusia memang begitu, selalu menganggap salah dan jahat apa yang berlawanan dengan dirinya dan dengan kebanyakan orang. Mungkin apabila mereka tidak mau mengubah sudut pandang, ada kalanya kita perlu berbalik badan, memutar sisi kita, hingga mereka melihat sisi baik kita. Namun pada akhirnya baik dan buruk hanya Tuhan yang tau. 

Kamis, 01 Januari 2015

Life is A Big Puzzle

Bagi saya, hidup itu seperti menyusun puzzle. Kita dilahirkan dengan membawa teka-teki dan jutaan pertanyaan yang harus kita temukan jawabannya. Teka-teki yang sudah kita bawa sejak kita lahir, pertanyaan tiada henti yang akan terus mengikuti tentang misteri untuk apa kita dilahirkan dan akan jadi apa kita nanti. Selama kita bernapas, pertanyaan demi pertanyaan akan misteri kehidupan yang tak bisa kita duga akan terus mengikuti. Melalui perjalanan setiap hari, jam, menit, detik dan secuil waktu dalam kehidupan kita, akan tersebar pola-pola, tanda dan clue yang menyusun jawaban tersebut. Perjalanan hidup yang kita lalui akan membentuk pecahan puzzle yang kita susun dan pada akhirnya akan menemukan suatu bentuk yang utuh sebagai jawabannya. Tiap fase dalam hidup memiliki puzzle nya masing-masing, dengan pola dan tingkat kesulitannya sendiri, tergantung bagaimana kita bisa mengumpulkan keping dan menyusunnya. Puzzle dari setiap fase tersebut hanyalah puzzle dari sekian banyak puzzle yang harus kita selesaikan sebelum membentuk puzzle utuh yang akan menjawab pertanyaan besar untuk apa kita ada dan akan jadi apa kita nantinya serta kapan kita akan bermuara pada Yang Kuasa. Barangkali hidup adalah perjalanan tiada henti untuk mencari kepingan jawaban, kepingan puzzle, kepingan teka-teki yang pada akhirnya akan menjawab kapan kita harus berhenti mencari dan menemukan jawaban atas teka-teki dan misteri. Barangkali hidup adalah misteri itu sendiri...