Rabu, 29 April 2015

TRAVEL LOG
PARI-DISE : ‘A LITTLE PARADISE’ IN THE NORTH JAKARTA
Catatan Perjalanan ke Pulau Pari – Kepulauan Seribu Selatan

Jakarta, Sabtu pagi. Langkah kaki atau lebih tepatnya laju mobil angkot warna biru muda yang kami tumpangi ber-tiga-belas (sebuah angka yang menurut mereka mengakibatkan kesialan namun syukurlah tidak berpengaruh apa-apa bagi rombongan saya, dari awal berangkat hingga kembali ke kosan), membawa kami menuju utara Jakarta. Setelah sempat berputar-putar menyusuri jalanan Jakarta yang lengang (mungkin karena weekend dan hari masih terlalu pagi untuk beraktivitas di akhir pekan), dengan bantuan GPS, sampailah kami di Pelabuhan Muara Angke. Aroma tak sedap menyergap hidung  kami. Paduan antara aroma ikan segar, ikan tak segar, tumpukan sampah, tanah basah (becek –red), asap kendaraan yang lalu lalang dan (mungkin) keringat nelayan serta ratusan manusia yang beraktivitas di lingkungan Muara Angke. Spontan tangan kami menutup satu-satunya indera yang membuat kami menghirup paduan aroma yang tak biasa.

Ready to go! Pari Island!
Kontras dengan suasana jalanan yang lengang, suasana di Muara Angke dan sekitarnya mulai riuh dengan lalu lalang kendaraan dan lautan manusia yang berjejal. Pemandangan kontras mulai terlihat, perpaduan antara nelayan lokal dan pedangang ikan dengan baju lusuh dan gerobak pengangkut ikan yang terbiasa dengan aroma dan suasana Muara Angke versus wisatawan lokal dengan pakaian ala liburan serta tas ransel bekal menginap sehari semalam di pulau tujuan, membaur dalam padatnya pelabuhan nelayan dan tempat pelelangan ikan di Utara Jakarta itu.

Ya, Muara Angke adalah langkah pertama kami dan ratusan pelancong lain menuju pulau-pulau di gugusan Kepulauan Seribu. Ratusan orang telah menanti agen travel mereka di meeting point yang biasa ditetapkan oleh travel agent untuk menjemput dan mengarahkan wisatawan menuju ke pulau tujuan masing-masing. Pom bensin menjadi pusat para wisatawan untuk turun dari kendaraan masing-masing, sebelum berjalan ke tepi pelabuhan menuju ke kapal.  Seorang petugas dari agen travel mengantarkan kami menuju pelabuhan. Lorong sempit menjadi jalan penghubung dari daratan menuju pelabuhan. Setelah berjingkat melewati dua kapal terparkir dari tepian, tibalah kami di kapal yang akan mengantarkan kami ke Pulau Pari.

Puluhan kapal nelayan dan kapal penumpang lainnya bersandar di pelabuhan yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara tersebut. Mata saya terpaku pada pemandangan air laut sekitar pelabuhan, hitam pekat dengan sampah-sampah mengambang, tersuguh kontras dengan gedung-gedung bersih dan tinggi menjulang yang berdiri tak jauh di sekitarnya. Tidak perlu mengutuk, mungkin saya juga termasuk satu dari ratusan ribu bahkan jutaan masyarakat Jakarta yang sadar atau tak sadar, langsung maupun tidak langsung, menyumbangkan sampah-sampah yang akhirnya bermuara di Muara Angke.

All team!
Setelah menanti satu jam, sesuai jadwal, kapal kami bertolak dari pelabuhan, kala matahari sudah mulai tinggi dan terasa menyengat. Kami memilih duduk di bagian depan kapal, meski sempat dilarang oleh kru kapal dengan alasan keselamatan. Semilir angin mulai membelai kami, aroma air laut terasa pekat tercium. Sekitar satu kilo dari pelabuhan, warna air masih hitam dengan gelombang sampah yang mengapung. Selepas itu, laut biru sebagaimana layaknya warna laut, mulai menyambut. Meski sesekali barisan sampah mengambang di atas hamparan warna biru lautan. Kadang ‘mata-haus-pemandangan-indah’ kami dihibur oleh tarian burung camar (atau entah apalah itu namanya) yang terbang tipis di atas air, mengintai ikan-ikan kecil untuk dikonsumsi. Bahkan, di tengah perjalanan, dua ikan kecil (entah apa juga namanya), berenang melompat-lompat di atas air, sejajar dengan kapal yang kami tumpangi, seolah mengajak kapal kami untuk balapan. Awesome!

Perjalanan hampir dua jam mengarungi laut di utara Jakarta akhirnya berujung di dermaga Pulau Pari, tujuan akhir rombongan kami. Warna biru toska air di tepian dermaga menyambut mata kami. Pulau seluas 94 hektar ini seolah terpagari oleh pohon-pohon hijau nan asri, membuat saya bertanya-tanya, apa yang ada dan tersembunyi di dalamnya. Sedikit tidak yakin ada rumah-rumah dan penduduk yang tinggal di sana. Bahkan sebelum ke pelabuhan, saya sempat ragu, benarkah listrik dan jaringan seluler bisa saya dapatkan?

Welcome to Pari Island!

Dan pikiran sempit saya yang memgira bahwa Pari adalah pulau terpencil yang tak tersentuh listrik serta jaringan seluler terbantahkan, saudara-saudara! Di balik rerimbunan pohon-pohon nan hijau berjajar memagar, terdapat rumah-rumah penduduk sekaligus homestay tempat para wisatawan tinggal. Tak perlu takut kepanasan seperti yang sebelumnya saya pikirkan karena rata-rata homestay tersebut dilengkapi AC dan fasilitas MCK yang bersih, termasuk homestay kami yang terletak sekitar 500 meter di sebelah utara dari dermaga. Bagi yang tak bisa kehilangan sinyal ponsel, tak perlu khawatir, untuk beberapa provider, sinyal yang ada cukup kuat di pulau ini. Udara di Pulau Pari juga bersih, tidak ada kendaraan kecuali sepeda dan segelintir sepeda motor. Tidak ada mobil, keberadaan mobil tidak akan diperlukan karena Pulau Pari terlalu sempit untuk dikelilingi dengan mobil. Kami, wisatawan, pergi kemana-mana hanya jalan kaki dan naik sepeda. Tak perlu takut jalan jauh atau bersepeda jauh, jalanan di Pulau Pari hanya membentang dari ujung ke ujung dan hanya ada dua jalan utama selebar sekitar dua meter dengan dasar susunan paving dengan beberapa gang kecil sebagai penghubung antar dua jalan utama tersebut. Satu jalan di tepi dermaga dan satu lagi di tengah desa. Pulau Pari juga telah dilengkapi dengan fasilitas kesehatan berupa Puskesmas yang 24 jam siap memberikan pelayanan kesehatan darurat.

Lelah dan penat kami sepanjang perjalanan terbayarkan dengan suasana ala pedesaan. Bagi saya yang berasal dan tumbuh besar di desa, suasana di Pulau Pari mengingatkan saya pada suasana kampung halaman. Sederhana, tenang, akrab dan jauh dari hingar bingar. Such a great escape untuk para pencari keheningan dan ketenangan yang terpaksa harus hidup dalam keramaian *halaahh.

Pantai Pasir Perawan

Setelah beristirahat sejenak sembari menyeruput welcome drink berupa es kelapa muda, kami meneruskan perjalanan dengan bersepeda menuju Pantai Perawan atau Virgin Beach. Bersepeda sekitar satu kilo ke arah timur homestay, setelah sebelumnya membayar karcis masuk seharga dua ribu rupiah, kami disambut dengan suguhan pantai pasir putih dengan air laut biru kehijauan serta beberapa pohon bakau yang tumbuh menggerombol di beberapa bagian. Di pantai ini, tersedia perahu kano dan perahu kayuh untuk mengelilingi atau mengunjungi gugusan pohon bakau yang terletak tidak jauh dari pantai. Silahkan menghabiskan sepertiga memori kamera kalian dengan foto-foto narsis di spot ini.

Tak cukup lama kami berada di Pantai Perawan, jelang makan siang, kami kembali menuju homestay untuk menyantap hidangan makan siang, istirahat sejenak untuk melanjutkan tujuan utama kami datang ke Pulau Pari – SNORKLING!!

Ready for snorkling!
Sekitar jam setengah dua siang, guide lokal kami telah mempersiapkan peralatan snorkeling berupa kacamata, alat bantu pernapasan, life vest dan lainnya. Ada sedikit kekhawatiran karena (honestly) saya tidak bisa berenang, phobia air dalam jumlah besar dan takut kedalaman air. Dan sekalinya renang langsung nyemplung ke tengah lautan! O-M-G! But I dare my self to face my fear. Kalau bukan sekarang kapan lagi?!

Perjalanan menuju ke spot snorkeling kami tempuh dengan kapal tradisional nelayan. Untuk melawan rasa takut, saya duduk di tepian kapal menikmati semilir angin sembari menggantungkan kedua kaki saya di atas air laut, membiarkan gelombang air sesekali menerpa kaki saya, sambil terkadang berjingkat mengangkat kaki karena barisan sampah yang numpang lewat. Sempat berhenti beberapa kali untuk mencari spot snorkeling, bahkan guide kami sempat hampir memilih spot yang terdapat banyak sampah mengambang, akhirnya kami sampai di spot yang cukup jauh dari keramaian orang snorkeling lainnya dan tentunya aman dari barisan limbah plastik serta sampah lainnya.


Underwater!
Satu persatu anggota rombongan mulai menjatuhkan tubuh mereka ke kedalaman sekitar 3-5 meter. Saya, yang takut air dan tidak bisa berenang, sempat bimbang, namun akhirnya, dengan segenap perjuangan melawan rasa takut, saya jatuhkan diri saya ke laut biru. Sempat panik, dengan tubuh mengambang, terbalik, timbul, tenggelam, melayang, dan tak sanggup mengontrol diri.  Akhirnya saya bisa mengendalikan diri, menaklukkan rasa takut dan menikmati pesona bawah laut dengan hamparan karang serta birunya kedalaman bawah laut. Sesekali mata kami terhibur dengan puluhan ikan nemo yang berenang lalu lalang, apalagi apabila kami menggenggam remah biskuit. Puluhan ikan akan datang mengerumuni. Jadi, bagi kalian yang ingin foto bawah laut dengan kerumunan ikan nemo, bawalah biskuit sebagai umpan untuk memancing kedatangan mereka.

Di antara puluhan ikan Nemo
Puas menikmati pemandangan bawah laut, kami kembali ke Pulau Pari dengan berbagai cerita dan ekspresi ketika ‘menenggelamkan diri’ untuk melihat secara langsung, keindahan dan apa yang ada di balik dalam dan birunya lautan. Beberapa teman-teman bahkan melanjutkan untuk menikmati sensasi terombang-ambing dengan banana boat yang ditarik cepat di atas laut. Namun saya harus menghentikan kesenangan saya sejenak, saya harus kembali ke homestay  lebih cepat karena tiba-tiba muncul bercak merah panas membengkak di beberapa bagian kulit. Alergi! Padahal saya tidak mengkonsumsi seafood sama sekali. Entahlah, mungkin air laut pun memiliki pengaruh untuk memunculkan alergi. Satu lagi tips bagi kalian yang memiliki alergi seperti saya, jangan lupa membawa obat anti alergi ketika berlibur ke pantai atau daerah pesisir.

Sore hari, selepas mandi, kami bersepeda lagi menuju ke arah barat, memasuki arena bangunan milik LIPI untuk menikmati panorama matahari terbenam. Namun sayang, kami terlambat datang. Matahari sudah terlanjur terbenam tanpa sempat kami mengabadikan momennya. Bahkan kami sempat terjebak hujan deras selama hampir satu jam, pulang selepas Maghrib dengan suasana gelap, menyusuri jalanan yang kiri kanan hanya terhampar pepohonan serta semak rimbun. Untungnya kami tak sendirian, ada rombongan lain yang pulang bersama kami karena juga menanti hujan reda.

Malam hari, setelah menyantap makan malam, kami kembali bersepeda menuju Pantai Perawan untuk (kembali) makan dan menikmati suasana malam di tepi pantai sembari menyantap sajian ikan dan cumi bakar. Suasana tepi pantai yang tenang, berkumpul bersama teman-teman, dapat menjadi pertimbangan bagi kalian untuk membawa gitar, mengisi waktu malam hari dengan bernyanyi atau sekedar menikmati petikan gitar yang sayup terdengar di keheningan malam.

Sunrise di tepi dermaga
Esoknya, jarang-jarang di hari Minggu saya bangun pagi. Tapi demi sunrise di Pulau Pari, pagi-pagi sudah nongkrong di dermaga Pulau Pari. Di sebuah gundukan tanah menyerupai bukit untuk melihat matahari terbit. Agak lama menantikan sunrise, namun karena mendung, matahari baru terlihat ketika sudah berada pada titik cukup tinggi. Namun penantian kami tak cukup membosankan, kami sempat dihibur oleh gerombolan ratusan ikan kecil yang bersama-sama melompat di atas air dengan ketukan konstan dan melompat bersamaan, seolah laut adalah panggungnya, mereka artis penghibur yang menunjukkan kebolehan dan atraksi spektakuler di hadapan penontonnya. Luar biasa!

Kembali ke homestay, sarapan telah disajikan, mandi kemudian guide membawa kami ke Pantai Bintang, yang juga merupakan tempat penaangkaran biota laut, tidak jauh dari bangunan milik LIPI yang kami kunjungi kemarin sore. Panorama di pantai Bintang sedikit berbeda. Selain karena ceceran sampah di tepi pantainya, gundukan putih menyerupai karang (yang setelah didekati ternyata gundukan pasir pantai) menghampar dengan latar pohon bakau. Seolah-olah ada hamparan salju di tengah lautan nan biru. Warna biru muda lautan senada dengan warna langit pagi itu yang juga biru, luas menghampar, seolah langit dan laut menyatu dan hanya terpisahkan oleh segaris tipis cakrawala.


Pasir putih Pantai Bintang
Usai melepaskan hasrat untuk bernarsis ria di tengah hamparan pasir putih yang berkumpul di antara tepian laut biru yang tenang, kami melanjutkan kayuhan sepeda kami. Karena perut kami sudah membunyikan alarm kelaparan, kami pun mencari spot jajanan dan es kelapa muda untuk memenuhi keinginan perut dan mulut. Jalan yang kami tempuh kali ini sedikit berbeda, melalui jalanan setapak tanah di antara kebun dan rumah-rumah, kami dapat memotret secara langsung bagaimana warga-warga di Pulau Pari menjalani aktivitas pagi. Mata saya sempat berbinar dan terpaku selama beberapa detik ketika menangkap pemandangan di sebuah halaman belakang rumah kayu nan sederhana. Satu keluarga, bapak dan anak laki-laki seusia kira-kira sepuluh tahun duduk semeja menikmati sajian sarapan pagi dan segelas teh hangat, sementara ibu berdiri tak jauh dari mereka, menjerang air di atas tungku bata untuk seduhan teh selanjutnya. Sungguh, tidak ada yang lebih damai dari ini, hidup sederhana dengan segala keramahan alam dan suasana pedesaan yang tenang serta tak jauh dari keluarga. Ketika jarak dan batas bapak ibu serta anak hanya dipisahkan oleh meja kayu yang luasnya tak seberapa. Ketika kemudian saya sadar bahwa mengais rejeki yang begitu banyak di perantauan dengan segala kemewahan yang ditawarkan, tak kan ada artinya dengan kebersamaan bersama keluarga meskipun dengan kesederhanaan.

Selesai menyantap sajian otak-otak dan kelapa muda, kami kembali ke homestay untuk packing dan persiapan kembali ke Jakarta karena kapal yang akan mengangkut kami tiba pada pukul 12.00. menuju ke dermaga dengan wajah tak seceria ketika berangkat, kapal yang akan membawa kami kembali telah bersandar sejak setengah jam yang lalu, telah penuh sesak dengan manusia beserta kenangan akan keindahan dan kisah sehari semalam di Pulau Pari. Kami memutuskan untuk duduk di bagian dalam, meskipun sempit dan pengap, karena kami sudah tidak punya cukup tenaga untuk berpanas ria apabila duduk di luar kapal.

Pukul 13.30, kapal kami telah bersandar di Pelabuhan Muara Angke, masih dengan setting yang sama, gedung yang masih berdiri angkuh di lokasi tak jauh dari pelabuhan kumuh yang mendadak dua kali lipat lebih ramai karena kedatangan wisatawan dan kenangan serta kisah menarik di Kepulauan Seribu. Wajah bahagia namun sendu, bahagia karena telah melewati weekend dengan liburan asyik dan sendu karena harus kembali menghadapi rutinitas serta kesumpekan Jakarta dengan tumpukan pekerjaan yang telah menanti. Namun begitu, Pulau Pari telah menjadi great escape kami selama sehari semalam, untuk sejenak melupakan beban pekerjaan dan menyatu dengan kesederhanaan dan keramahan yang alam tawarkan...

***

Catatan :
Untuk perjalanan ke Pulau Pari, kami menggunakan jasa travel dengan biaya Rp 340.000,- / orang untuk 13 orang. Semakin banyak orang yang ada dalam rombongan, maka biaya yang kalian keluarkan akan makin sedikit. Biaya tersebut sudah mencakup :
1.       Tiket kapal PP (Angke – Pari – Angke)
2.       Biaya sewa homestay
3.       Biaya sewa sepeda untuk transportasi keliling Pulau Pari
4.       Makan 3 kali (Siang – Malam – Pagi)
5.       Sewa alat snorkeling dan kapal menuju ke spot snorkeling
6.        Dokumentasi (foto bawah laut dan kegiatan selama di Pulau Pari)

Belum termasuk :
1.   Tip untuk guide lokal
2.   Tiket masuk lokasi Pantai Pasir Perawan dan Pantai Bintang (untuk masuk ke lokasi pantai, kalian hanya perlu merogoh kocek sekitar Rp 1000,- s.d 2000,-)
3.       Uang untuk beli jajanan dan keperluan lain yang tidak disebutkan di atas