Senin, 22 Januari 2018

Senin memang selalu menjadi hari yang melelahkan, bahkan lelah itu muncul seketika kita membuka mata pada detik pertama. Ah Senin! Begitu kadang kita merutuk awal pekan dengan gumaman negatif. Begitupula saya, hari Senin saya diawali lebih pagi dari ketika saya berkantor di Jakarta. Kantor saya kini terletak lebih jauh di pegunungan, bukan di Himalaya tapi di Cisarua tepatnya. Yang lebih berat dari bangun pagi adalah ketika saya menyadari bahwa perjalanan harus jauh saya tempuh. Bukan, bukan dengan kendaraan pribadi dimana kita bisa bebas memacu diri dengan kecepatan tinggi atau bisa dengan leluasa berhenti. Kendaraan umum dengan naik tiga jenis moda transportasi yang menjadi satu-satunya pilihan. Ojek online, sambung Angkutan Perbatasan Terintegrasi Bus Transjakarta lanjut dengan angkot.

Bukan suatu masalah bagi saya menumpang kendaraan umum. Rutinitas ini pernah hampir tiap hari saya lakukan, jauh sebelum saya bekerja. Yang perlu saya lakukan adalah kembali memunculkan semangat naik kendaraan umum, dimana sebelumnya saya dinikmatkan dengan transportasi pribadi. Bagi saya, transportasi umum adalah miniatur karakter manusia, ditilik dari status, gender, level,  pekerjaan, kepentingan, tujuan dan lain sebagainya. Mengamati penumpang-penumpang yang secara tak sengaja dipertemukan di waktu dan moda transportasi yang sama menjadi salah satu aktivitas favorit saya. Dan dari sini, pagi ini, di tengah hujan deras yang mengguyur sepanjang Ciawi sampai Cisarua diiringi kabut tipis yang perlahan menebal, saya kembali mendapatkan inspirasi menulis kembali setelah ia minggat dan mati suri lebih dari setahun ini...

..............

Januari – Hujan sehari-hari, begitu orang memaknai bulan di awal tahun ini. Dan terbukti, sepagi ini hujan sudah turun membasahi Ciawi. Hujan memang berkah, sebagian mengaku suka hujan namun ketika ia turun, mati-matian mereka menghindarinya (seperti dikutip dari quotes Bob Marley), bagi sebagian lagi, hujan di pagi hari adalah tanda untuk meningkatkan level perjuangan ke kadar yang lebih tinggi. Sepanjang perjalanan saya dari Ciawi hingga Cisarua, sambil menikmati aroma basah, daripada sibuk berkutat dengan handphone, saya mengamati orang-orang di sepanjang jalan dan di dalam angkutan dengan segala perjuangannya menembus hujan.

Ada kerumunan pelajar, dari putih merah hingga putih abu, berteduh di teras-teras toko yang masih belum buka. Begitu ramainya hingga saya kira kelas mereka sudah pindah ke teras. Ada pengendara motor tanpa perlindungan mantel nekat menembus hujan, meskipun sebagian besar memilih berteduh atau mengenakan jas hujan. Dalam angkot, mata saya tertambat pada seorang bapak dan anaknya dengan seragam SD. Wajah si bapak datar saja, seolah hujan bukan masalah yang perlu untuk dikeluhkan maupun dirutuki, tak nampak kesal pun juga adegan sayang yang berlebihan seperti mengelus kepala anaknya, tak ada pula kata yang terucap, dalam diam mereka menikmati deru angkot yang berpacu bersama tetesan hujan. Bagi mereka, mengantar anak adalah hal biasa dan bagi anaknya, diantar adalah kewajiban orangtua, namun bagi saya, menyisihkan waktu di tengah hujan dan segala keterbatasan, biarpun hanya bermodalkan naik angkot untuk mengantar anaknya, adalah suatu perjuangan yang baginya atau anaknya yang belum menyadari adalah biasa saja, tapi suatu saat jika anaknya mengingat, hal yang tadinya ia anggap biasa akan terasa jadi perjuangan yang luar biasa. Karena bagi saya, waktu adalah hal berharga yang bisa diberikan manusia, dan bapak tadi telah memberikan sesuatu yang berharga pada anaknya.

Selain kisah bapak dan anak tadi, beragam ekspresi dari penumpang angkot saya amati. Dari ekspresi heboh ibu-ibu yang turun dari angkot sambil berteriak, seolah yang turun adalah hujan paku bukan hujan air; kemudian teteh-teteh dengan wajah bertabur bedak dan tak henti mengelap wedges warna pink yang  sesaat menjadi coklat terkena cipratan air bercampur tanah; lalu anak SMA tanggung yang tak henti bercakap tentang pacar masing-masing.

Sesaat angkot berhenti cukup lama di tanjakan, menanti seorang ibu dan dua anaknya, laki-laki dan perempuan, yang akan menyeberang untuk mencapai angkot yang saya tumpangi. Mereka berpayung, namun tetap basah. Sesampai di angkot, saya amati anak perempuan yang duduk tepat di depan saya, Nacita namanya, terlihat dari badge nama yang terpasang di seragam SD nya. Anak laki-laki yang satunya, sibuk mengeluh pada ibunya. “Aduh ibu, bajunya jadi basah semua,” keluhnya. Tapi ibu tadi menanggapi dengan sabar, katanya semua orang juga basah, yang seolah-olah menegaskan bahwa derita basah karena hujan tak hanya dialami olah si anak laki-laki ini tapi juga oleh semua orang, baik yang naik motor, jalan kaki, naik angkot dan lain sebagainya.


Perkataan ibu ini menyadarkan saya bahwa kadang ketika kita ditimpa suatu kemalangan atau kesusahan, kita tak henti-henti menggerutu, seolah-olah hanya kita saja yang mengalami hal itu. Padahal di sisi lain, ada banyak orang yang mengalami hal serupa, hanya kita tidak tahu saja. Alih-alih mencari rekan senasib, kita justru malah sibuk melihat orang yang bernasib lebih baik, kemudian setelahnya tak henti meratap. Bukan untuk membandingkan atau menyombongkan, tapi dengan melihat orang yang bernasib sama atau jauh di bawah kita, rasa syukur yang tadinya luntur, perlahan akan kembali muncul. Bahwa di dunia ini, akan selalu ada yang di atas kita, pun di bawah kita. Tergantung ke arah mana kita menyorotkan pandangan sesuai dengan kebutuhan. Pandangan ke bawah untuk bersyukur dan ke atas untuk memacu diri menjadi lebih baik lagi.

Dan begitulah hujan pagi ini, yang bagi saya membawa inspirasi dan refleksi tersendiri...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar