Sabtu, 18 Mei 2019

Solo Backpacker Trip to Japan (Part I)

Now or Never: Be Brave. Take A Risk. Take A Chance.

Mungkin saya adalah satu dari jutaan orang yang bermimpi untuk pergi ke Jepang meskipun cuma stay selama beberapa hari. Mimpi ini sudah dari SD. Sejak saya nonton serial kartun-kartun Jepang yang menghiasi masa kecil saya di tahun 90-an. Konyol memang. Hanya dengan nonton kartun-kartun Jepang saja saya sudah tertarik untuk mengunjunginya. Tapi begitulah mimpi. Imajinasi yang tidak semudah itu dijelaskan dengan alasan logis kenapa kita memimpikannya. Bahkan kalau ditanya kenapa, saya hanya akan menjawab, penasaran apakah Jepang seperti yang digambarkan dalam kartun-kartun, manga atau dorama.

Mimpi untuk mengunjungi Jepang terus mengusik, bahkan setelah 5 tahun saya bekerja dan boleh dikatakan sudah cukup secara finansial untuk mewujudkan impian ke Jepang. Saya berpikir, hal apa yang sudah kamu lakukan untuk mengejar mimpi dengan jerih payahmu selama 5 tahun ini? Apa mimpi paling memungkinkan untuk diwujudkan dalam waktu dekat ini sebagai bayaran atas susah payahmu bekerja? Dan pergi ke Jepang adalah satu hal yang terus terngiang untuk diwujudkan dalam waktu dekat.

Tapi mewujudkan mimpi tak semudah menjentikkan jari. Ada banyak hal realistis yang harus saya persiapkan: mulai dari transportasi, akomodasi, itinerary, administrasi sampai kawan yang menemani. Saya mulai dengan menyiapkan administrasi kecil seperti paspor. Ya setidaknya seandainya tiba-tiba saya mau pergi ke Jepang, saya tidak perlu repot-repot dadakan bikin paspor kan. Atau misalnya mau pemanasan mengunjungi negara tetangga. Kemudian sempet plan pergi ke Penang buat pemanasan dengan tiket PP seharga 1 jutaan, eh tiba-tiba ada acara dadakan sehingga saya harus membatalkan rencana perjalanan. Dalam hati saya mikir, mau ke Penang yang tinggal nyebrang aja batal, gimana mau ke Jepang?!

Take A Chance…
Setengah tahun setelah punya paspor, saya kubur mimpi pergi ke Jepang. Kegagalan pemanasan pergi ke Penang membuat saya merasa makin tak mungkin rasanya menginjakkan kaki ke Jepang. Tapi entah angin dari mana, melihat teman-teman saya banyak yang udah mengejar keinginannya buat ke Korea, Jepang, tur keliling Eropa dengan modal backpacker membuat saya berpikir lagi, mereka saja bisa, kenapa saya tidak. Akhirnya semangat saya terpacu lagi. Saya mulai rajin browsing dan baca-baca blog tentang  travelling ke Jepang. Saya tawari teman-teman saya satu-satu, barangkali ada yang berniat ke Jepang dalam waktu dekat tapi rupanya belum ada yang berminat. Berkali-kali saya kunjungi forum Backpacker Indonesia, cari-cari backpacker yang mungkin akan ke Jepang dalam waktu dekat. Tapi hasilnya nihil, sodara-sodara. Rata-rata mereka berangkat akhir tahun ini atau pas musim panas sekitar bulan Juli Agustus. Lah kelamaan, keburu ada acara lagi ntar! Karena bagi saya, kalau bisa dilakukan dengan cepat, ngapain diperlambat. Eh!

Kemudian beberapa kali saya datang ke pameran travel and tour untuk cari-cari brosur, siapa tau ada paket murah. Tapi rupanya tidak ada paket yang cocok dengan kantong pas-pasan saya. Akhirnya saya memutuskan untuk meng-arrange trip saya sendiri saja. Akhirnya saya nemu satu tulisan di Kompasiana yang sesuai dengan keadaan saya. Tulisan itu ditulis oleh salah seorang cewek yang belum pernah ke luar negeri sama sekali tapi berani dan berhasil travelling sendirian ke Jepang, berangkat dan pulang dengan selamat. Saking termotivasinya, sampai-sampai saya berkorespondensi secara langsung melalui email. Beruntung, mba-nya ramah dan sangat detail menjelaskan rincian perjalanannya ke Jepang. Saya jadi semakin bersemangat. Oke, saatnya berburu tiket murah dengan keberangkatan dalam waktu dekat!

Selama dua minggu dari awal April, saya terus pantengin Tiket.com, Traveloka, Air Asia untuk melihat kemungkinan tiket murah. Saya nggak pakai Skyscanner karena bingung gimana cara makenya (duh! Gaptek ya!) Tadinya saya merencanakan untuk pergi di akhir Juni. Cuma 5 hari trip aja. Tapi tiba-tiba pas saya cek untuk keberangkatan 1 Mei, ada tiket yang cukup murah dari Cathay Pacific dari Jakarta transit Hongkong menuju Narita. Pas banget kan! 1 Mei kan tanggal merah dan berarti saya bisa ambil cuti dua hari saja. Kemudian saya tentukan tanggal kepulangan di hari Minggu tanggal 5 Mei, tapi oops! Tiket kepulangannya super duper mahal! Saya coba memundurkan kepulangan di tanggal 6 Mei, yang berarti saya harus ambil cuti 3 hari (duh! Padahal mau berhemat buat cuti akhir tahun) dan ternyata untuk tiket PP dengan keberangkatan 1 Mei dan kepulangan 6 Mei bisa saya dapatkan seharga 5,4 juta. Entah harga segitu mahal atau enggak, tapi menurut saya masih affordable lah. Cathay kan mirip-mirip kayak Garuda, dapet makan, bagasi 30 kg gratis, inflight entertainment yang nggak bikin bosen perjalanan selama berjam-jam dan pesawat yang nyaman.

Take A Risk…
Tapi issued tiket seharga 5,4 juta tidak semudah ngeklik Mobile Banking buat top up saldo Go-Pay, sodara-sodara! Gils! Dengan uang 5,4 juta ini, saya mungkin bisa beli tiket pesawat 2 kali PP bolak-balik ke rumah. Sejam – dua jam – tiga jam – udah hampir habis waktu yang disediakan Tiket.com buat bayar itu tiket. Akhirnya saya berdoa dalam hati “Tuhan, kalau memang ini jalan Tuhan agar saya bisa mewujudkan mimpi untuk pergi ke Jepang, impian masa kecil saya, maka lancarkanlah segala persiapan, keberangkatan hingga saya kembali ke Jakarta.” Oke, entah saya religius, impulsif atau modal nekat, setelah berdoa, saya merasa yaudah lah, kan udah berdoa dan udah pasrah sama Tuhan, transfer aja dulu. Kalo nggak jadi, refund aja. Oke! Saya transfer saat itu juga. Ticket issued!

Eh! Pas lihat kalender, saya baru sadar kalo tanggal 1 Mei kan 3 minggu lagi! Pening lah awak! Berarti ku harus urus Visa, pesen akomodasi, nyusun itinerary dan urusan administrasi lainnya karena buat urus Visa, dibutuhkan e-tiket pesawat PP, bukti pemesanan akomodasi, itinerary, paspor asli (udah punya), foto 4,5 cm x 4,5 cm yang bener-bener harus pas dengan segala proporsi wajah sesuai ketentuan, surat keterangan kerja, rekening koran selama 3 bulan, dsb (untuk info syarat visa lebih lengkap klik di website Kedubes Jepang di Indonesia. Oiya, berhubung paspor saya paspor biasa, jadi dokumen persyaratan apply visa beda sama pemegang e-paspor). 

Ada hal yang bikin saya panik tentang apply visa karena hari dimana saya issued tiket adalah hari Kamis, minggu depannya banyak libur kejepit (Paskah dan Pemilu). Ya Tuhan! Akhirnya Kamis itu saya persiapkan semuanya. Saya datang ke bank dekat kantor tanpa bawa buku tabungan untuk minta dicetakkan rekening Koran. Entah emang jalannya dipermudah atau gimana, tanpa bawa buku tabungan, saya diberikan cetak rekening Koran yang saya mau dan langsung jadi hari itu. Begitu pun dengan akomodasi. Saya langsung book hostel untuk 5 malam dengan berpindah-pindah dari Tokyo – Osaka – Tokyo. I count on Air BnB dan Booking.com. Pulang kantor, saya langsung foto untuk Visa di studio foto belakang kantor. Tapi kok hasil fotonya agak kurang meyakinkan. Tapi yaudahlah dicoba dulu. Sing penting yaqin! Dan semua berkas administrasi akhirnya terlengkapi.


Tapi kemantapan hati tak berhenti dari berkas administrasi visa yang terlengkapi. Saya sibuk menentukan mau apply visa sendiri atau via travel. Kalau mau apply visa sendiri saya harus datang ke JVAC di Lotte Shopping Avenue Kuningan, yang berarti saya harus melalui daerah macetnya Jakarta dan kalau memang mau nggak terlalu antri, saya harus bikin appointment online. Pas mau bikin appointment online, yang tersedia hanya tinggal hari Senin padahal saya maunya Jumat. Aduh, karena saya malas ribet dan menghabiskan waktu di jalan serta urusan pekerjaan yang sulit saya tinggalkan, saya serahkan pengurusan visa ke travel agent. Lah! Gimana! Katanya mau irit ala backpacker, kok malah urus visa pake agent yang harganya bisa dua kali lipat. Bodo amat! Daripada ribet. Itulah kira-kira gambaran ‘kontroversi hati’ saya tentang siapa yang akan mengurus visa. Kemudian Jumat pagi, berkas kelengkapan Visa saya serahkan ke travel agent. Yang bersangkutan menjanjikan 8-10 hari kerja. Lah lama amat! Bukannya 5 hari aja urus visa Jepang. Kemudian karena takut, saya pastikan lagi bahwa visa itu bisa jadi sebelum saya berangkat ke Jepang. Ngeri banget kan, udah book pesawat dan hostel, tiba-tiba gagal berangkat gara-gara visa nggak granted. Karena saya kemudian sadar bahwa TIKET PESAWAT SAYA NGGAK BISA DIREFUND PUN JUGA DIRESCHEDULE! Sorry capslock jebol karena menurut saya ini bagian yang paling bakal bikin saya rugi. 5,4 jutaku melayang begitu saja kalau nggak jadi ke Jepang.

Sembari ketar-ketir nunggu proses pengajuan visa. Saya mulai cari-cari di internet untuk rincian perjalanan saya ke Jepang, menentukan tempat wisata gratis yang akan saya kunjungi (iya gratis! Saya emang nggak memasukkan Disneyland atau Universal Studio yang berbayar itu. Maklum, backpacker low budget, hahaha). Banyak tempat wisata gratis yang patut dikunjungi. Di Jepang, kuil-kuil dan taman-tamannya aja Instagramable. Nggak usah kuil atau taman, jalan-jalan atau pedestrian walk yang rapi aja juga oke kok buat foto-foto.  Itinerary yang saya susun sebisa mungkin sangat detail sampai ke jam dan menit berapa saya harus naik kereta apa, berhenti di mana, berapa stasiun yang harus saya lewati, berapa cost yang harus saya bayar untuk transportnya, semua berkat bantuan aplikasi Google Maps dan Japan Navi Time! Aplikasi itu udah rinci banget nunjukin stasiun, kereta yang harus kita naiki, platform berapa, jadwal lengkap, sampai dengan cost yang harus kita keluarkan. Daaaaannn, kita bisa ubah tanggal pencarian sesuai dengan tanggal yang kita mau! Jangan khawatir kalau kereta di Jepang bakal terlambat. Kereta di Jepang sangat amat tepat waktu, tiba di platform yang sudah ditentukan! Jadi seandainya kamu meleset semenit, ya kamu harus naik kereta berikutnya dengan jarak rata-rata 4 sampai 7 menit kemudian. Btw, untuk detail itinerary akan saya attach nanti dalam blog ini ya. Semoga bisa membantu!

Itinerary sudah jadi fix seminggu sebelum keberangkatan. Selama itu juga saya hampir tiap hari neror mba-mba petugas travel yang ngurusin visa saya, nanyain udah jadi atau belum. H-7 keberangkatan, visa saya belum granted juga. Kumau meleleh aja rasanya. Yang bikin ketar ketir lagi, beberapa hari setelah saya serahkan berkas ke travel agent, petugas travel agent mengatakan kalo foto saya salah proporsi wajahnya! Nah loh! Akhirnya saat itu juga saya nyari studio foto bonafit dan sampe bawa-bawa penggaris buat memastikan bahwa ukurannya sesuai. Dan keesokan hari, foto itu saya serahkan ke travel agent. Meskipun di kemudian hari, visa saya tetep pake foto lama.

Selama dua minggu sebelum keberangkatan, gundah gulana hati saya. Ketar-ketir mikir jadi liburan atau nggak gegara visa belum jadi. Udah mau berangkat, visa belum ada, belum persiapan lainnya, tidur saya tiap malam tak nyenyak cuma gegara visa, sambil mikir, kalau nggak jadi berangkat gimana ya uang lima juta sekianku melayang gitu aja dongggg padahal bisa buat keperluan lainnya. Dan saya nggak mau ngurus yang lainnya, seperti beli JR Pass dan bebelian lainnya kalau visa saya belum benar-benar granted karena takut makin menambah kerugian finansial saya, apalagi JR Pass seharga 3,6 juta kan nggak bisa direfund ya. Oiya, JR Pass itu semacam tiket terusan gitu. Tersedia untuk jangka waktu 7 hari dan 14 hari. Saya berencana beli yang 7 hari karena toh perjalanan saya cuma 6 hari. Dengan JR Pass itu, saya bisa bebas naik semua shinkansen kecuali Shinkansen Nozomi dan Mizuho untuk jalur Tokaido, Sanyo dan Kyushu. JR Pass juga memungkinan saya untuk naik seluruh kereta subway dan metro JR Line serta JR Bus. Jadi, apa beda shinkansen, subway dan metro? Beda, sodara-sodara. Subway dan metro itu kayak kereta local aja. Kalo di Indonesia kayak KRL gitu lah sementara shinkansen kayak kereta cepat untuk perjalanan antar kota. Dan lagi, jalur kereta di Jepang itu banyaaaaaakkk banget dan dioperasikan oleh perusahaan yang berbeda-beda.

Oke! Back to the topic! Kembali lagi ke galaunya hati saya menanti visa. Kemudian saya cari-cari info di internet tentang kemungkinan visa ditolak atau jadi lewat dari tanggal keberangkatan. Tapi saya nggak nemu dong artikel itu. Intinya artikel di internet menceritakan keberhasilan mereka apply visa sendiri dan itu bener-bener cuma 5 hari. Dan sistematika kerja JVAC adalah, ketika berkas salah, mereka langsung kasih tau di loket saat itu juga. Seandainya kejadian proporsi foto salah, katanya di JVAC ada photobox khusus buat foto visa Jepang! Nah kan, jadi nyesel dong saya apply visa pakai travel agent. Tau gitu apply sendiri, biar tau salahnya dimana, yang diperbaiki apa dan bener-bener bisa diproses 5 hari kerja. Udah mahal pun, jadinya lama.  

Akhirnya saya coba tanya Kak Margaret, orang yang saya kenal lewat forum Backpacker Indonesia. Btw dia udah backpacker sendiri ke Jepang dua kali loh. Tentu pengalamannya sudah tidak perlu diragukan lagi, Saya sendiri belum pernah berjumpa dengan Kak Margaret tapi dia baik banget, ngasih saran segala macem tentang Jepang termasuk tanya soal visa. Kata dia, travel agent biasanya nunggu barengan untuk apply visa, jadi kadang mereka nggak langsung apply visa seketika saat kita serahkan berkas lengkap. Tuh kan, jadi makin nyesel kuadrat! Tau gitu apply sendiri.

Dengan segala ke-gerudukan dan kelabakan ini, beberapa orang sekitar saya bahkan berkomentar, maksa banget sih, lagian libur ke Jepang di siapin cuma sebulan (kurang dari sebulan lebih tepatnya), libur ke Jepang nggak ada persiapan matang kayak main-main aja dan beberapa komentar lainnya. Gila? Ya! Emang saya gila!

Sampai hari Sabtu, yang berarti H-4 sebelum keberangkatan, visa masih belum dalam genggaman tangan. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli printilan-printilan kecil seperti adaptor charger karena colokan listrik di Jepang beda kayak colokan listrik di Indonesia. Colokan listrik Jepang itu dua soket pipih gitu. Di hari ini pula saya mulai packing dengan ogah-ogahan karena udah ngebayangin batal berangkat. Saya udah mulai menghibur diri, yaudah kalau nggak jadi ke Jepang nggak apa-apa, saya sendirian loh, nanti kalo ilang gimana, kalau ada apa-apa di jalan gimana, kalau sakit di jalan gimana, mungkin batalnya saya berangkat karena Tuhan mau menghindarkan saya dari ilang di jalan. Gitu cara saya menghibur diri seandainya nggak jadi pergi. Perkara tiket 5 juta, biarin aja lah. Lalu saya coba cari tanya-tanya ke Tiket.com apakah memungkinkan tiket saya direfund atau direschedule. Saya juga belum sempet beli JR Pass, tapi udah mulai nanya ke HIS Travel apakah counter mereka buka di hari Minggu atau hari Senin dan apakah memungkinkan pembelian mepet tanggal keberangkatan dan ternyata kalau beli hari itu, hari itu juga dapet JR Passnya. Beda kalau di Klook, harus nunggu dikirim lewat Pos. harganya pun nggak beda jauh kok. Klook 3,5 juta kalo HIS juga sekitar 3,56 juta. Intinya saya memetakan segala kemungkinan dan rencana dari setiap kemungkinan itu. Sekali lagi, saya chat petugas travel untuk menanyakan progress visa saya, tapi sampai malam tak dibalas juga. Yasudahlah, mungkin dia lelah menghadapi saya yang bawel dan hobi nerror ini.

Saya pakai adaptor universal ini selama di Jepang. Adaptor ini bisa dipakai di ratusan negara lain. Saya beli dengan harga sekitar 50 ribu di Ace Hardware. Selama saya pakai di Jepang sih aman-aman aja.

Minggu pagi, H-3 sebelum keberangkatan. Dengan hati masih harap-harap-cemas, saya pergi ke gereja dan berdoa, seandainya memang saya nggak jadi ke Jepang, pasti Tuhan punya alasan lain kenapa saya nggak jadi berangkat. Kalau Tuhan kasih izin, pasti masih ada mukjizat. Dalam khotbah Romo pagi itu berkata bahwa jika kita percaya bahwa Tuhan ada, maka kita tidak perlu khawatir akan segala sesuatu. Dan benarlah bahwa Tuhan baik dan jika memang sesuai dengan rencana-Nya, kemudahan bukanlah hal yang mustahil. Pagi itu pulang dari gereja, saya dapat info bahwa visa saya sudah jadi dan akan dianter ke kantor hari Senin pagi. Puji Tuhan! Antara seneng, sedih, terharu dan semua rasa jadi satu, akhirnya ‘kunci utama’ saya buat berangkat ke Jepang dan seluruh kecemasan saya terjawab dengan kabar bahagia. Akhirnya pagi itu juga, saya segera menyelesaikan hal-hal yang perlu saya selesaikan terutama untuk pembelian JR Pass, final packing, beli paket internet roaming package, beli beberapa keperluan buat di Jepang dan sebagainya.

Untuk pembelian JR Pass. Saya beli di HIS Travel Mall Kelapa Gading. Prosesnya cepet kok. Dan bisa langsung dikasih voucher saat itu juga.


Ini bukan JR Pass ya. Ini baru Voucher JR Pass atau Exchange Order for JR Pass yang nanti harus dituker dengan JR Pass kalo udah sampai di Jepang.

Kemarin juga sempet browsing soal paket internet. Ini printilan tapi penting banget apalagi buat solo traveler yang nggak mau tersesat karena pasti butuh internet buat akses Google Maps atau Japan Navi Time. Kecuali kalian emang sengaja mau pake peta kayak Dora. Akhirnya saya bikin perbandingan, untuk solo traveler hemat mana ya, sewa pocket wifi, beli SIM Card baru atau pakai internet roaming package yang saya beli di Indonesia. Akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada internet roaming package dengan pertimbangan: kalau pakai pocket wifi harga sewa jauh lebih mahal dari paket roaming, mesti bawa-bawa pocket wifi yang biarpun kecil tetep jadi beban dan harus ngecharge kalo batrei habis. Berarti saya punya tanggungan ngecharge HP, kamera, powerbank dan pocket wifi. Ribet kan. Lagian saya pergi sendiri, jadi rugi kalo pake pocket wifi. Keuntungan pakai internet roaming package daripada beli SIM Card baru adalah lebih murah, nggak perlu ganti kartu. Dan lagi, saya kan transit di Hongkong! Meskipun transit nggak lama, tapi butuh internetan juga kan, meskipun bisa pakai wifi bandara.

Saya menggunakan internet roaming package dari Telkomsel yang cover wilayah Asia dan Australia yang lebih mudah daripada pocket wifi atau beli SIM Card baru, lebih murah dan nyaman daripada menggunakan pocket wifi atau beli SIM Card baru. Saya beli paket roaming internet via aplikasi Traveloka (Telkomsel Promo Asia Australia 7 Hari) dengan kuota internet 2.5 GB. Untuk 7 hari sih dan dipake buat cek Google Maps berkali-kali sambil sesekali browsing sih kuota segini cukup banget! Bahkan nyisa. Harganya sekitar 240 ribu. Dapet potongan jadi tinggal bayar 220 ribu. Sebelum beli, say abaca review-review pengguna paket ini di Traveloka dan hampir semuanya memberikan respon positif. Jadi makin yakin kan. Selama 6 hari di Jepang, internet lancar banget. Super duper lancar malah dan nyangkut sinyal 4G Softbank terus. Ketika transit di Hongkong pun begitu. Nggak perlu ubah setting macem-macem. Cukup nyalakan saja opsi paket internet roaming di setting handphone. Pas landing dan nyalain HP, auto connect ke jaringan provider local dalam satu kedipan mata saja. Mudah kan!

Be Brave…
Visa sudah, packing sudah, administrasi, transportasi, akomodasi dll sudah. Rasanya tinggal meluncur aja. Tapi H-sekian sebelum berangkat, entah kenapa hati rasa berat. Ada perasaan khawatir (nggak boleh sih harusnya, kalo percaya Tuhan kan nggak boleh khawatir) tapi benar-benar saya tidak bisa mengendalikan perasaan takut dan khawatir ini. Kekhawatiran dan ketakutan saya bahkan mengalahkan rasa bahagia bisa pergi ke Jepang. Saya takut hilang, takut sendirian, takut tersesat, takut ada apa-apa selama penerbangan yang panjang karena sejujurnya saya takut ketinggian dan takut naik pesawat dalam waktu lama. Itu sebabnya setiap naik pesawat, saya paling menghindari duduk di pinggir jendela. Selain itu, izin saya ke mama, saya ke Jepang sama temen Backpacker Indonesia, padahal mah sendiri. Saya nggak mau bikin mama khawatir aja. Tapi mau sendiri atau ada temennya, mama pasti doakan saya kok.

Yang bikin saya khawatir lagi karena ini adalah perjalanan saya ke luar negeri pertama kali! Dan sekalinya keluar negeri, pergi sendiri! Bahkan saking was-wasnya, saya sampai baca tata cara terbang ke luar negeri, gimana cara nglewati imigrasi, apa yang boleh dan tidak boleh dibawa, gimana sih etika masuk negara lain, gimana cara ngisi declaration of immigration, gimana cara nglewati imigrasi Jepang. Saya sampe baca-baca blog orang lain, bahkan ada yang sampe jam-jaman di tahan di bandara, diinterogasi petugas imigrasi Jepang dan yang lebih mengerikan lagi adalah deportasi! Nah loh, makin ngeri kan. Mana paspor saya masih kosong melompong. Hampir terlintas dalam pikiran saya untuk membatalkan perjalanan saya. But I’ve came this far, sudah sejauh ini saya menyiapkan segalanya, tinggal berangkat aja, kemudian saya batal berangkat cuma karena saya takut! No! Saya tidak boleh jadi pengecut. Apapun yang tejadi, harus saya hadapi dan percaya bahwa dimanapun saya berada, di tiap langkah saya, pasti Tuhan ada dan melindungi saya. Selalu. Akhirnya, petualangan saya di Jepang sendirian dimulai…


To be continued…


Lesson Learned:
  • Kalau memungkinkan, misal domisili di Jakarta dan nggak terlalu sibuk, ada baiknya apply visa sendiri di JVAC dan bikin appointment online di website JVAC. Dengan apply sendiri, kita bisa tau berkas mana yang perlu diperbaiki, tau pasti kapan visa selesai dan lebih hemat. Karena pakai travel agent nggak menjamin visa kita granted dan tidak menjamin bisa mempercepat proses visa. Mungkin pake travel agent kalo lokasi kalian di luar kota dan jauh banget dari JVAC/Kantor Konsuler Jepang,  butuh biaya + waktu + effort besar untuk dateng langsung.
  • Oiya, pembuatan visa ada region masing-masing. Misal KTP (alamat KTP ya, bukan domisili) Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI dll apply di JVAC. Misal KTP Surabaya, apply di Kantor Konsuler Jepang di Surabaya (cmiiw, untuk daftar regionnya bisa cek langsung di website Kedutaan Jepang). Jadi misal domisili Jakarta tapi KTP Jawa Timur, maka tetap apply visa di Kantor Konsuler Surabaya. Kayaknya sih gitu ya, cmiiw.
  • Beli JR Pass disesuaikan sama kurs saat itu. Jadi beli jauh-jauh hari saat Yen lagi turun. Tapi Yen termasuk stabil sih, rata-rata 127-128 aja. Oiya, jangan pesen terlalu jauh dari hari keberangkatan ya. Karena pada waktu 3 bulan setelah voucher JR Pass dicetak, kita harus segera menukarkannya. Jadi dari tempat kita beli JR Pass, kita dikasih voucher exchange order. Voucher Exchange Order ini bisa dituker ke JR Pass  hanya di Jepang. Penukaran tersedia di Bandara Narita, Haneda, stasiun besar seperti Tokyo Station, Shin Osaka dll. Pas penukaran di Jepang, kita akan ditanya mulai dari tanggal berapa sampe tanggal berapa akan digunakan JR Pass itu. Sekali pesen tanggal, nggak akan bisa diganti lagi.
  •  JR Pass nggak harus dibeli. Apalagi kalo kamu Cuma mau strolling around satu kota aja misal Tokyo aja. Atau misal nggak ada perjalanan bolak-balik. Jadi misal landing di Kansai Airport di Osaka, ke Kyoto, lalu ke Tokyo dan balik Indonesia dari bandara Narita. Karena Osaka Kyoto deket dan bisa pakai bus. Sebagai alternatif lebih hemat, bisa pakai willer bus dengan 7 jam perjalanan. Biasanya berangkat malam dan sampe kyoto/osaka pagi. Hemat biaya hostel juga. Tapi entah lah ya capeknya. Jadi fix-kan itinerary sebelum beli JR Pass.
  • Bikin itinerary serinci mungkin. Cek Google Maps dan Japan Navi Time. Dua aplikasi ini kelak akan sangat berguna selama kita di Jepang biar nggak banyak nanya orang di jalan. Terutama kalo Cuma bisa ngomong “Eki wa doko desu ka?” “Arigatou” “summimasen” “gommenasai” dan bahasa basic lainnya. Karena umumnya orang Jepang nggak fasih dan nggak ngerti bahasa Inggris. Sekalinya ngomong, biasanya aneh pronunciation-nya dan mereka nggak bisa merangkai kata-kata dalam bahasa inggris secara utuh dalam satu kalimat. Jadi kalopun bisa inggris, ngomongnya sepotong-potong dan aneh pelafalannya
  • Pastikan landing jam berapa. Inii menentukan transport apa yang akan membawamu ke hostel. Jangan berharap naik taksi kayak di Jakarta. Tarif taksi di Jepang super duper mahal. Narita ke Tokyo bisa sampe jutaan karena jaraknya yang jauh.. Kalau landing di Haneda enak ya, karena bandaranya deket ke pusat kota Tokyo jadi transportasi relatif mudah dan sedikit lebih murah. Lain cerita kalo landing di Narita seperti saya. Jadi cek jadwal landingmu. Kalo landing tengah malem, saya sarankan tidur di bandara karena sepertinya sudah tidak ada kereta atau bus yang beroperasi karena Narita jauh dari pusat  kota Tokyo. Sekitar sejam kalo naik bus.
  • Cetak itinerary, voucher hostel dan tiket pesawat PP. Cause we’ll never know kapan petugas imigrasi Jepang rese atau baik-baik aja. Siapa tau tiba-tiba dicegat kan, trus ditanyain detail mau pergi kemana aja, nginep dimana dll. Jadi pas ditanya, kita punya bukti printout-nya dan meyakinkan mereka bahwa kita nggak akan jadi gembel di sana.
  • Bawa kue (saya bawa brownis dari Indonesia) dan pop mie. Nggak usah banyak-banyak. Cukup masing-masing satu aja. Kelak makanan ini akan berguna kalo kita merasa udah kebanyakan keluar duit. Atau lagi dalam perjalanan buru-buru ngejar shinkansen dan belum sempet mampir konbini buat beli sarapan.