Sabtu, 15 Juni 2019

Solo Backpacker Trip to Japan (Part II)

And The Journey Begin…
Akhirnya hari yang dinanti-nanti sekaligus hari yang paling ditakuti dan dihindari tiba juga! Segala kekhawatiran saya di hari-H keberangkatan pun masih belum kunjung menemukan jawabannya. Salah satunya adalah menukar uang Rupiah ke Yen. Karena keraguan dan kegalauan yang terjadi kemarin, antara jadi berangkat atau nggak. Jadi niat untuk menukar uang ke Yen tertunda-tunda dan malah akhirnya sampai hari Senin nggak berkesempatan menukar uang di money changer. Selasa malam, saking paniknya nggak punya uang Yen, saya sampai browsing dengan harapan ada money changer di Terminal 3. Menurut laman resmi Angkasa Pura ada 3 money changer di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, yaitu money changer BRI, BNI dan Mandiri. Tapi ketika saya menelpon CS masing-masing bank, mereka bilang nggak ada money changer di situ. Nah loh! Ini beneran ada nggak sih.

Saya memutuskan untuk langsung telpon call center Angkasa Pura Bandara Soekarno Hatta. CS Angkasa Pura menjawab dengan ramah bahwa ada 3 money changer dari BRI, BNI dan Mandiri yang buka 24 jam! Semoga bener ya! Meskipun tukar di bandara pasti jauh lebih mahal. Tapi katanya akan jauh lebih mahal kalau tukar di bandara tujuan dan saya mikirnya pasti akan lebih ribet nyari-nyari money changer di Narita dan landing saya malam, pasti juga sudah capek. Maka saya putuskan tukar di Bandara Soetta yang masih bisa pake bahasa Indonesia (yaiyalah!), sedikit lebih murah dan dengan pertimbangan takut aja imigrasi bandara Narita lagi seloooo alias nggak ada kerjaan banget, jadi meriksa atau interogasi sampai nanya bawa uang Yen berapa dan ternyata saya nggak bawa sama sekali.  Siapa tau iseng kan. Segala sesuatu mungkin aja terjadi apalagi di kehidupan yang nggak pasti ini. Halah! Baiklah, markidur (mari kita tiduurrr!) Esok hari akan lebih panjang dan melelahkan. Jadi lebih baik saya himpun energi untuk menghadapi esok hari.

Saya awali perjalanan pertama saya menuju Jepang dengan bangun dini hari dan tak lupa mandi. Untuk perjalanan saya ke bandara Soekarno Hatta, saya sudah dari dua hari lalu memesan layanan Antar Jemput Bandara lewat aplikasi Traveloka. Sudah dua kali saya pakai layanan ini karena lagi ada promo. Dari kosan saya ke bandara Soekarno Hatta cuma sekitar 108 ribu rupiah dengan layanan taksi Golden Bird atau Kanigara! Sudah termasuk toll, parkir dan bensin. Jadi tinggal bobok cantik aja di mobil. Harga ini juga jauh lebih murah dibanding taksi konvensional dan taksi online. Untuk layanan Antar Jemput Bandara dari Golden Bird atau Kanigara via aplikasi Traveloka rata-rata menggunakan mobil jenis Avanza atau Innova. Selain itu drivernya ramah banget, sudah dua kali saya naik layanan ini dan dua-duanya ramah, bahkan mau ngangkat telepon aja minta izin dulu. Interior mobilnya juga bersih banget dan jauh dari kata bau.

Membelah jalanan Jakarta yang sepi karena masih dini hari, perjalanan dari kosan ke bandara cukup ditempuh dengan 30 menit saja. Padahal belum kelar saya tuntaskan tidur dengan nyenyak. Akhirnya saya sampai di Terminal 3 Soekarno Hatta. Dengan mata masih terbuka setengah, saya lewati mesin scanning. Untung saya nggak berobos ke scanner trolley karena beberapa tahun lalu, saya pernah penerbangan pagi dengan posisi nyawa masih setengah di alam mimpi, bukannya masuk ke pintu scanner manusia, tanpa sadar, saya setengah merundukkan badan dan berobos aja ke scanner trolley yang letaknya di antara scanner badan dan conveyer barang-barang. Sungguh kebodohan yang terlalu amat konyol! Malunya itu lho! Diketawain Avsec pula kan. Aduh aduhhh…

Oke! Kembali ke topik semula! Saya akhirnya nyari counter check in Cathay Pacific yang ada di island C dan D. Petugas counter check in Cathay ramah sekali dalam memberikan penjelasan ke saya yang baru banget naik pesawat ke luar negeri, pake transit pula. Saya bingung mekanisme transit gimana karena seumur-umur belum pernah naik pesawat transit, gimana bagasi saya, gimana pindah pesawat dll. Ternyata karena penerbangan dengan satu maskapai, jadi soal baggage handling sudah nggak ada masalah lagi. Artinya bagasi dari penerbangan Jakarta-Hongkong ke penerbangan Hongkong-Tokyo sudah dihandle oleh pihak maskapai, jadi saya nggak perlu repot-repot ambil bagasi lagi. Langsung boarding aja ke pesawat berikutnya.

Check in sudah. Saatnya saya berburu uang Yen. Seperti yang diinfokan call center Angkasa Pura, memang benar ada 3 money changer dari bank BRI, BNI dan Mandiri. Letaknya pun berdekatan dengan counter check in Cathay Pacific di island C. Letaknya dekat dengan Auntie Anne dan Marugame Udon. Saya mulai cek kurs dari Mandiri. 1 Yen = Rp 134,sekian sekian. Mahal. Lagipula mereka cuma punya pecahan 10 ribu yen. Akhirnya saya bergeser ke BNI. Saya lihat di layar, kurs mereka lebih murah. Kalau nggak salah 1 Yen = Rp 129, sekian-sekian. Meskipun lebih mahal daripada tukar di money changer di luar bandara, but I have no choice. Saya akhirnya tukar 10 ribu yen. Dengan mata berbinar, petugasnya bilang “pas banget mba! Tinggal sepuluh ribu dan pecahan seribu semua!” Ini yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba. Akhirnya saya pesen ke petugasnya untuk keep uang itu sembari saya ambil uang cash karena money changer ini hanya menerima cash. Transaksi pun selesai. Saya lanjutkan langkah kaki menuju boarding room.

Untuk menuju boarding room, ada security check lagi untuk memastikan bahwa kita tidak benar-benar membawa barang yang dilarang masuk ke kabin. Contohnya mineral water. Kalau penerbangan domestik, kadang bawa botol air mineral 600 ml lolos aja. Tapi no excuse di penerbangan international. Maksimal cairan yang boleh dibawa masuk kabin 100 ml (If I’m not mistaken). Dan air mineral 330 ml saya yang masih utuh pun akhirnya harus rela saya serahkan ke Avsec. Tau gitu masuk koper aja kan. Lumayan buat hemat beli air mineral di Jepang. Karena air mineral di sana paling murah 90 yen untuk ukuran 500 ml atau sekitar 11 ribu. Meskipun harganya masih masuk akal karena kalau di fancy restaurant atau mall di Jakarta mineral water harganya juga segitu.

Setelah lewat security check dan pemeriksaan boarding pass serta paspor, pemeriksaan berlanjut ke bagian imigrasi. Di bagian ini akan terpisah loket untuk WNI dan foreigner. Di sini, paspor kita akan diperiksa dan diberikan cap oleh petugas imigrasi. Tanpa proses tanya jawab yang berarti, seusai membubuhkan cap, petugas kembali menyerahkan paspor saya. Saya lanjutkan langkah kaki ke arah Gate 1. Letak gate ini ternyata jauh banget. Paling ujung. Tadi petugas di counter check in juga sudah mengingatkan kalau gatenya jauh. Tapi karena saya pergi dengan hati yang gembira, sembari pemanasan untuk jalan jauh di Jepang nantinya, jalan dari ujung ke ujung menuju boarding room pun tak terasa.


Jakarta to Hongkong…
Setelah menunggu selama kurang lebih setengah jam, akhirnya tiba juga waktu untuk boarding. On time sesuai dengan waktu boarding yang ditentukan. Petugas ground service Cathay yang memeriksa boarding pass ini ramah-ramah lho. Setelah proses check boarding pass dan paspor, tepat sebelum masuk garbarata menuju ke pesawat, ada security check lagi oleh petugas imigrasi dengan ekspresi wajah dan perawakan lebih garang dari sebelumnya. Badannya tegap macem satpam. Nggak ada mesin scanner, tapi petugas ini menggeledah tas atau tentengan yang dibawa penumpang satu persatu. Mungkin aja masih ada yang nyelundupin cairan atau benda yang dilarang lainnya.

Selesai proses check, akhirnya saya duduk di pesawat yang lebih besar dari pesawat domestik. Terakhir saya naik pesawat dengan seat 2 – 4 – 2 gini waktu ke Bali dan Balikpapan. Oiya, jenis pesawat Cathay yang akan membawa saya dari Jakarta ke Hongkong ini adalah Airbus tapi lupa tipe berapa. Untuk seat, saya duduk di sisi paling kiri tapi tidak dekat jendela. Selain untuk mempermudah pergerakan kalau saya mau ke toilet, saya juga menghindari duduk di tepi jendela karena phobia saya terhadap ketinggian. Dalam penerbangan bersama Cathay. Saya juga nggak perlu khawatir bakal bosan selama perjalanan yang akan makan waktu kurang lebih 4 jam karena ada inflight entertainment. Honestly, I was very very excited but also worried at the same time. That was my very first long flight abroad. Flight terpanjang saya sebelumnya adalah ke Manado selama 3,5 jam dan itu saya merasa amat sangat bosan. Dari tidur, makan, tidur sampai ngemil tapi rasanya nggak sampai-sampai. Tapi karena pesawat saya transit, jadi saya tidak perlu merasakan penerbangan 7 jam direct.

Tampilan layar in flight entertainment di Cathay Pacific saat penerbangan dari Jakarta ke Hongkong (Source: Foto Pribadi)


Setelah boarding beberapa saat, pramugari mengumumkan prosedur keselamatan dengan 3 bahasa: Indonesia, Inggris, Mandarin. Pramugarinya pun ada yang berasal dari Indonesia dan Hongkong (homebasenya Cathay). Oiya, untuk inflight mealnya lumayan lengkap dengan rasa standar. Ada nasi/mie, lauk pauk, sayur, buah, pudding dan berbagai macam minuman. Udah gitu masih dikasih roti. Urusan perut, sudah terjamin pastinya. Dan sejauh ini, penerbangan Jakarta Hongkong lancar tanpa turbulens berarti. Puji Tuhan...

Setelah terbang selama 4 jam, pesawat landing kurang lebih jam 2 siang. Waktu Hongkong lebih cepat 1 jam dari Jakarta. Karena pesawat yang akan membawa saya ke Tokyo akan terbang 50 menit lagi, saya segera menuju ke bagian pindah pesawat. Di sana ada security check dan periksa paspor lagi. Setelah itu langsung ke ruang tunggu. Dan ternyata ruang tunggu udah penuh banget. Saya sampai nyempil-nyempil duduk di antara bule-bule. Tapi beruntungnya, saya dapet tempat duduk menghadap jendela dengan view bukit-bukit serta beberapa gedung di Hongkong. Entah memang cuaca atau apa, tapi saya merasa udara luar Hongkong ini hazy, semacam berkabut padahal hari udah siang.

Duduk-duduk selonjor kaki sambil ketiduran sesekali, akhirnya tiba waktu boarding dari Hongkong ke Narita setelah tertunda setengah jam, dengan antrian yang sudah mengular panjang. Sampai-sampai petugas mengatur barisan agar tidak mengganggu lalu lintas pejalan lainnya. Tapi yang diatur pun nggak susah, sekali dikasih tau langsung ngerti. Masalah antri pun begitu, antrian mengular rapi. Nggak ada cerita serobot-serobotan atau nyempil-nyempil di tengah antrian.


One Step Closer to Japan…
Pesawat yang membawa saya dari Hongkong ke Tokyo ini sepertinya tipe Boeing dengan seat 3 – 4 – 3, seperti pesawat yang masih baru dibanding pesawat sebelumnya, dengan kursi yang lebih nyaman dan layar monitor yang lebih sensitive touchnya.  Seperti biasa, karena saya paling takut duduk pinggir jendela, saya pilih duduk di lorong. Setelah proses boarding selesai, Pramugari mulai mengumumkan prosedur keselamatan dengan 3 bahasa, kali ini tanpa Bahasa Indonesia, yaitu bahasa Inggris, Mandarin dan Jepang. Dari sini saya mulai merasa sendiri. Ternyata saya sudah sangat sangat jauh dari rumah karena nggak ada satupun penumpang atau pramugari yang saya temui yang bisa Bahasa Indonesia apalagi bahasa Jawa.


Tampilan Layar In Flight Entertaninment Cathay Pacific Hongkong-Tokyo (Source: Foto Pribadi)


Setelah pesawat lepas landas dan berada di ketinggian jelajah, pramugari mengedarkan form Customs Declaration. Saya bingung gimana cara ngisinya karena saya nggak bawa pulpen! Ketauan banget baru pertama ke luar negeri. Akhirnya dengan tampang memelas, saya pinjem pulpen mba-mba di samping saya. Yang paling memalukan lagi, pulpen itu udah saya puter-puter, saya ceklik-ceklik, tapi nggak mau nongol ujung pulpennya. Sampai akhirnya, mungkin karena kasian atau gimana, mba-mba tadi menunjukkan gimana cara pakai pulpen itu. Entah pulpennya yang terlalu canggih atau saya yang gaptek atau kombinasi keduanya. Tapi kejadian ini terasa agak memalukan. Semoga dia nggak tau kalau saya orang Indonesia. Kemudian saya isi form tersebut dengan sepenuh hati dan pikiran serasa lagi ujian nasional. Khawatir kalau salah isi nanti dicek sama petugas imigrasi terus kena deportasi. Ih ngeri!

Selesai berurusan dengan form Customs Declaration. Dilanjutkan dengan makan! Hot meal sudah diedarkan dengan menu Chicken Curry daaaannnn makanan penutup es krim Haagen-Dazs. Saya nikmati secuil kebahagiaan melalui es krim Haagen-Dazs secara perlahan-lahan karena ini enak banget!

Tapi kebahagiaan saya berhenti sampai es krim Haagen-Dazs saja, sodara-sodara! Dua setengah jam setelah pesawat lepas landas, dengan langit di luar yang sudah gelap, mendadak pesawat bergoyang heboh. Seluruh penumpang diharapkan kembali ke tempat duduk dan pakai seatbelt. Tapi guncangan ini bener-bener hebat. Saking hebatnya sampai-sampai biasanya kalau guncangan yang cuma karena cuaca buruk, pramugari masih sliwar-sliwer, kali ini pramugari bener-bener disuruh kembali ke tempat duduk masing-masing. Mba-mba di samping saya kayaknya juga panik karena beberapa kali dia kaget dan memekik pelan. Pikiran saya pun udah berkecamuk. Apakah ini yang dinamakan turbulensi? Perut udah mual rasa Pop Ice abis diblender masih pakai dishake-shake. Karena pada dasarnya saya panikan, takut ketinggian dan di luar jendela langit sudah gelap (karena saya juga takut gelap. Banyak banget ya hal-hal yang saya takutkan!) serta guncangan yang nggak kunjung mereda, rasanya bener-bener kayak mau pingsan. Oksigen yang mengalir dalam tubuh saya seperti berkurang, mungkin sedikit lagi saya akan benar-benar pingsan karena panik. Sungguh menyedihkan kalau saya benar-benar pingsan di pesawat. Udah travelling sendirian, kemudian saya pingsan karena guncangan pesawat.

Akhirnya dengan sekuat tenaga, saya berusaha untuk tenang. Saya coba cari air untuk menenangkan diri, tapi air mineral sudah saya habiskan dari tadi. Akhirnya saya cuma berkali-kali mengucap doa-doa dalam hati, sambil mengatur pernapasan, tarik napas dalam-dalam, keluarkan pelan-pelan sambil berhitung 1 sampai 10. Berkali-kali saya lakukan itu supaya tenang. Puji Tuhan, nggak jadi pingsan! Dan cuaca kembali membaik, pun juga guncangan sudah tidak saya rasakan lagi.

Sisa perjalanan menuju Tokyo akhirnya terlewati setelah goncangan selama beberapa menit. Finally, perjuangan melawan rasa takut akan guncangan berakhir dan pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Narita pada pukul 20.30. Senangnya! Akhirnya saya menginjakkan kaki di Jepang! Tapi perjuangan tidak berhenti sampai pada pesawat mendarat! Masih banyak serangkaian proses imigrasi, baggage claim, dan hal-hal lain. Brace your self, Angelita!


Japan! Here I am!
Menginjakkan kaki ke luar pesawat, menyusuri garbarata, saya langsung ditampar udara dingin Jepang selepas hujan. Bersyukur, saya sudah memakai turtle neck bahan rajut dan jaket karena saya teringat pesan Kak Margaret dan Mba Icha (temen kantor waktu saya masih di unit kerja lama) yang mengatakan bahwa angin di Jepang masih dingin meskipun udah masuk musim semi.

Setelah berjalan sekitar 5 menit, saya sampai di bagian imigrasi. Seperti di imigrasi Indonesia, di sini dibagi antara warga negara Jepang dan warga negara asing. Setelah itu akan diperiksa paspor dan visa kita yang tertempel di paspor. Kemudian pemeriksaan sidik jari dan mata. Beruntung, saya pakai kacamata dan nggak pakai softlens karena sudah mengira akan ada pemeriksaan macam ini. Takutnya kalau pakai softlens nggak kebaca dan nggak kebayang juga mesti copot softlens di situ. Di pemeriksaan ini, bapak-bapak petugas imigrasinya sempet jengkel karena sampai tiga kali scan, sidik jari saya masih nggak kebaca.

Proses berlanjut ke pengambilan bagasi. Di sini saya kebingungan mencari Customs Declaration yang udah saya isi di pesawat! Tapi kebingungan saya terjawab karena di dekat conveyer pengambilan bagasi, ada meja kecil yang dilengkapi form Customs Declaration, lengkap dengan pulpennya. Lah! Tau gitu daripada ngrepoti mba-mba di samping saya tadi, mending saya isi di sini sambil nunggu bagasi!

Entah karena koper saya kecil atau gimana, koper saya akhirnya tiba setelah 6 atau 7 koper lainnya lewat. Anyway, saya cuma bawa 1 koper ukuran 23 inch lho! IYA! Ukuran 23 inch! Itupun masih sisa space satu layer buat oleh-oleh. Kok bisa?! Saya berterimakasih kepada Marie Kondo dan tips tidying up-nya yang sangat membantu. Dan terima kasih kepada Fumio Sasaki dengan buku Hidup Minimalis ala Orang Jepang sehingga saya cuma bawa beberapa barang seperlunya yaitu handuk kecil digulung rapi (karena saya nginep di hostel takutnya nggak ada handuk), 3 baju, 2 sweater, 1 jaket, 2 celana, toiletries (shampoo, sabun, pasta gigi saya kemas dalam tube kecil seperlunya sehingga tidak makan tempat). Pakaian-pakaian saya gulung rapi dan ringkas, bahkan sampai saya karetin biar bener-bener berbentuk kecil!

Setelah saya berhasil mendapatkan my only one luggage, proses selanjutnya adalah menyerahkan form Customs Declaration. Ada dua jalur, jalur hijau dan merah (if I’m not mistaken). Jalur hijau untuk yang tidak membawa barang yang harus dilaporkan atau yang harus diperiksa atau barang yang tidak terkena pajak cukai. Jalur merah untuk yang bawa barang yang harus diperiksa atau dilaporkan dan barang-barang berisiko tinggi seperti tanaman, senjata, hewan, amunisi, barang yang memiliki daya ledak dll. Kalau bawa uang dalam jumlah yang besar juga harus lapor ke jalur merah. Tentu saja saya ada di jalur hijau. Di sini akan diperiksa lagi paspor. Pokoknya selama di bandara, paspor dan boarding pass harus berada dekat dengan jangkauan tangan kita. Karena nggak enak juga kan kalau baru nyari-nyari paspor di depan petugas imigrasi. Berpikir bahwa form Customs Declaration saya bakal dicek sampai detail, nyatanya tidak begitu. Proses ini hanya sebatas menyerahkan form saja.

Akhirnya proses imigrasi yang saya takuti berhasil terlewati tanpa kekhawatiran yang berarti! Selanjutnya, seperti yang sudah saya rencanakan, saya mencari Kantor JR di area Narita untuk menukar voucher JR saya dengan JR Pass. Daripada bingung, saya tanya bagian informasi. Tidak ada kesulitan berarti untuk mencari kantor JR yang terletak satu lantai di bawah pintu kedatangan Bandara Narita. Bahkan tidak terlalu banyak antrian saat saya tiba. Saya hanya perlu mengisi beberapa data seperti nomor paspor, nama dan tanggal mulai serta tanggal berakhir penggunaan JR Pass. Oiya, JR Pass saya ini non reservation seat. Jadi saya tidak bisa melakukan reservasi kursi untuk Shinkansen. Tapi jangan khawatir! Ada 5 gerbong khusus non reservasi, sehingga kita tetap bisa mendapatkan tempat duduk secara bebas ketika sudah berada di dalam Shinkansen. Yang artinya, sistem kursi non reservation ini adalah siapa cepat, dia dapat tempat.



Voucher JR Pass yang kita dapat di Indonesia akan ditukar dengan kartu JR Pass ini dan sudah siap digunakan
(Source: Foto Pribadi)
Selanjutnya saya menuju ke halte Airport Limousine Bus dengan kembali bertanya kepada bagian informasi. Ada banyak bus di sana, jadi pastikan bertanya sebelum mengantri atau masuk bus. Nggak lucu kan kalau nyasar, udah malem juga. Ketika saya tunjukkan tiket Airport Limousine Bus yang sudah saya beli dari Jakarta, petugas mengarahkan saya untuk menukar tiket itu di loket Airport Limousine Bus. Dan artinya saya harus masuk lagi ke dalam gedung. Bersyukur, saya langsung menemukan loket Airport Limousine Bus karena letaknya juga tidak begitu jauh dari halte dan memesan jam keberangkatan sekitar 10 menit lagi atau kira-kira akan berangkat pukul 21.50. Saya bahkan masih sempat membeli air mineral.

Setelah menunggu 5 menit, bus datang dengan sangat tepat waktu. Sungguh budaya tepat waktu yang perlu kita tiru!  Ketika bus tiba, petugas tadi mengambil tiket dan memasukkan koper ke dalam bagasi. Dan ketika bus akan berangkat, mereka serentak membungkukkan badan. Budaya ini yang beberapa waktu lalu sempat jadi kontroversi di Indonesia ketika petugas kereta dan porter-porter di stasiun membungkukkan badan pada kereta yang akan berangkat. Yang membuat saya takjub lagi adalah ketika sopir bus menghimbau kepada seluruh penumpang untuk mengenakan seatbelt. Suatu hal yang jarang atau bahkan hampir tidak saya temui ketika naik bus di Indonesia yaitu penumpang bus tetap harus mengenakan sabuk pengaman. Satu hal lagi yang membuat saya takjub. Ketika berada di perempatan jalan dan traffic light menyala merah. Bus ini benar-benar berhenti meskipun dari arah lain tidak ada kendaraan. Coba kalau di Indonesia, udah tengah malam, jalanan sepi, dan nggak ada polisi, mau di traffic light menyala merah, asal sepi, gas aja kan. Di sini, hal bar-bar macam itu tidak akan terjadi.

Perjalanan dari Bandara Narita menuju Tokyo memakan waktu kurang lebih 1,5 jam. Membelah jalan tol yang lengang, bus akhirnya tiba di permberhentian pertama. Saya lupa nama terminalnya apa. Tapi saya memutuskan turun di terminal ini karena ketika saya lihat maps, akan lebih dekat ke hostel apabila saya turun di sini daripada turun di Tokyo Station. Jangan bayangkan terminal ini bakal banyak pengamen, kotor dan kumuh. Terminalnya kecil, rapi dan amat sangat bersih. Ketika tiba, bahkan suasana sudah sangat sepi. Hingga saya khawatir kalau tidak ada taksi. Tapi nyatanya, di sisi bangunan lain, taksi sudah berjajar rapi.

Saya dapat taksi urutan ketiga. Sebuah sedan keluaran Toyota dan sepertinya mobil lama. Drivernya pun terlihat sudah berusia hampir 60 tahunan. Tapi jangan salah. Meskipun mobil dan drivernya sudah berumur, servis kepada penumpang tetap diutamakan. Meskipun koper yang saya bawa ukuran sedang dan saya tidak keberatan menenteng koper masuk ke dalam bagasi, tapi dengan sigap driver melarang saya mengangkat koper sendiri. Selain itu, yang patut dicatat bagi kalian yang baru pertama naik taksi di Jepang, meskipun mobilnya terlihat tua, tapi semua taksi di Jepang memiliki pintu yang terbuka otomatis. Jadi, silahkan jaga jarak dengan pintu penumpang. Nggak lucu kalau kita terhempas sampai terjengkang ketika pintu taksi terbuka otomatis dan menghantam badan. Ketakjuban saya tidak berhenti sampai di situ, meskipun mobilnya terlihat tua, tapi interior dalam taksi terasa amat sangat nyaman, bersih dan tidak bau bahkan AC berfungsi layaknya mobil baru. Jok dilapisi lapisan empuk berwarna putih bersih dan tentu dilengkapi LCD touch screen sebagai GPS.

Berhubung saya kurang fasih berbahasa Jepang dan nampaknya driver taksi tidak bisa berbahasa Inggris, saya akhirnya menyampaikan alamat hostel saya dengan menunjukkan maps yang ada di handphone. Setelah memutar-mutar layar handphone saya selama beberapa saat, driver langsung mengerti lokasi hostel tempat saya menginap. Kemudian mulai melajukan kendaraan. Oiya, jangan lupa, meskipun duduk di kursi penumpang, gunakanlah seatbelt sebagaimana ketika saya naik bus tadi. Budaya safety benar-benar telah mengakar di Jepang.

Hanya sekali putar, taksi akhirnya keluar dari terminal dan mulai membelah jalanan Tokyo. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 23.00. Jalanan Tokyo amat sangat lengang. Hanya sesekali saya berpapasan dengan mobil. Seperti ketika naik bus dari bandara tadi, meskipun kondisi jalanan sepi, kalau lampu menunjukkan tanda merah, taksi yang tadinya melaju dengan sangat kencang tetap berhenti sesuai dengan instruksi traffic light.

Tidak sampai 10 menit, saya tiba tepat di depan hostel. Saya sudah bersiap-siap mengeluarkan biaya mahal untuk taksi karena di Jepang memang sudah terkenal dengan biaya yang mahal. Driver kemudian menyodorkan nampan (sepertinya sudah budaya di Jepang, di toko apapun maupun di taksi, ada nampan kecil tempat meletakkan uang). Saya membayar 2.170 yen. It’s okay. Tidak mungkin saya jalan dengan membawa koper dalam kondisi jalanan Tokyo yang sudah sepi dan badan yang sudah sangat lelah.


About Hostel…
Kondisi sekitar hostel, meskipun terletak di tepi jalan raya, tapi sudah sangat sepi. Hanya ada satu dua mobil yang melintas. Saking sepinya, suara gledek roda koper saya terdengar bising dan berisik. 

Malam ini saya menginap di Playsis Hostel yang terletak tidak jauh dari Sumida River. Karena sebelumnya sudah menginformasikan kepada pihak hostel bahwa saya akan tiba tengah malam, resepsionis sudah pun berjaga. Oiya, selama di Jepang, saya menginap berpindah-pindah di 3 hostel yaitu 2 malam di Tokyo, 1 malam di Osaka dan 2 malam lagi kembali ke Tokyo. Jadi, fix-kan itinerary dulu, baru kemudian pesan hostel/apartemen/hotel/ryokan. Pemilihan tempat menginap bisa kalian sesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah orang yang pergi bersama kalian, supaya tepat fungsi, murah sekaligus nyaman karena biaya akomodasi di Jepang tergolong mahal. Ini klasifikasi penginapan di Jepang versi saya: 

·      Hostel cocok buat yang pergi backpacker sendiri, terutama buat kalian yang takut tidur sendiri di tempat asing seperti saya. Hostel ini seperti asrama, jadi tempat tidur bertingkat di sebuah ruangan besar semacam di asrama dengan sharing bathroom dan toilet. Tapi meskipun sharing, selama saya menginap di 3 hostel di Jepang, seluruhnya jauh dari kata jorok dan bau. Bersih, rapi dan wangi. Untuk tempat tidur biasanya dilengkapi tirai untuk membatasi aktivitas privasi kalian supaya tidak dilihat orang. Saran saya buat wanita, untuk menjaga diri sebaiknya cari hostel dengan tipe women dormitory karena biasanya hostel menyediakan satu lantai khusus mixed dormitory.
·     Capsule hotel. Mirip seperti hostel tapi bentuk bed-nya semacam bunker. Tadinya saya berminat nginep di capsule hostel tapi seluruh capsule hotel yang berlokasi strategis sudah penuh karena berbarengan dengan Golden Week. Seperti hostel, bathroom dan toiletnya juga sharing, biasanya capsule hotel juga dibedakan, ada lantai khusus wanita, pria dan mixed. Harganya menginap di capsule hotel relative murah, tapi masih lebih murah hostel. Mungkin karena tempat tidur hostel hanya ditutup horden macem etalase warteg.
·     Apartemen atau apato cocok buat kalian yang pergi rame-rame. Bagi kalian yang pergi rombongan dan menerapkan sistem cost sharing, nginep di apato amat sangat cocok. Dengan harga mulai dari 1,5 juta rupiah per hari, biayanya bisa kalian bagi rata dengan rombongan. Apato juga cocok buat yang pergi sama keluarga karena ada fasilitas memasak seperti microwave atau kompor. Lumayan buat berhemat, tinggal bawa ransum aja dari Indonesia.
·       Ryokan. Ryokan ini semacam tidur ala Jepang gitu. Jadi pakai tatami dan tidur lesehan beralaskan kasur tipis nan hangat. Ada yang bentuknya private room, ada juga yang rame-rame.
·   Hotel. Tidur di hotel tidak menjadi rekomendasi buat kalian solo backpacker! Selain karena harganya mahal (Biaya menginap semalam di hotel bintang 3 bisa sampai 1,5 juta rupiah!) juga rasanya nggak worthed kalau kalian keluar biaya mahal buat tidur sendirian, apalagi buat yang penakut seperti saya. Tidur sendiri di tempat asing itu semacam nightmare. Tapi buat kalian yang kelebihan uang dan menjunjung tinggi kenyamanan, boleh lah mencoba menginap di hotel yang nyaman.
·      Warnet. Jangan heran! Warnet di Jepang nyaman (katanya sih gitu) dan available untuk menginap. Biasanya pekerja-pekerja yang pulang kemalaman dan ketinggalan kereta akan memilih tidur di warnet. Selain itu, harganya juga super duper murah dan kalian bisa internetan. Tapi namanya juga warnet, jangan membayangkan tempat yang luas seperti kamar ya!

Untuk pemesanan hostel, saya menggunakan situs Booking.com. Kenapa nggak pakai Air BnB yang lebih popular dan banyak pilihan hostelnya? Karena Air BnB mengharuskan pembayaran menggunakan credit card sementara saya tidak memiliki credit card. Akhirnya saya pesan via Booking.com dengan menggunakan debit card Mastercard, bisa juga menggunakan Visa. Untuk pembayaran, dapat dilakukan secara cash pada saat check in atau gesek kartu debit/kartu kredit di hostel. Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi pemilik hostel by email. Sebelum ke Jepang, saya beberapa kali kontak dengan pemilik hostel melalui email untuk mengkonfirmasi late check in, ketersediaan fasilitas coin laundry dan sebagainya. Sejauh ini, respon mereka dalam membalas email cepat dan ramah.

Kembali lagi ke proses check in hostel. Prosesnya mudah, hanya menunjukkan paspor, mengisi form dan melakukan pembayaran, kemudian petugas resepsionis memberi saya kartu yang berisi password untuk membuka pintu kamar dan login wifi. Hostel-hostel di Jepang biasanya tidak menggunakan kunci berupa kartu tapi di daun pintu biasanya ada tombol-tombol dan pintu akan terbuka dengan menekan nomor kombinasi yang sudah diinformasikan resepsionis.

Playsis hostel ini sepertinya masih baru dengan bentuk bangunan kecil dan minimalis. Bahkan liftnya pun hanya muat untuk 5 orang. Tapi karena hanya terdiri dari beberapa lantai, kalau tidak membawa koper, bisa naik turun lewat tangga. Selain itu kamar saya hanya terletak satu lantai di atas lobby. Setibanya di depan kamar, saya disambut budaya Jepang yang kental yaitu rak sepatu di sisi pintu. Memang di Jepang, seperti di dorama atau kartun, sebelum memasuki rumah, kita melepas sepatu dan berganti dengan sandal rumah. Di hostel Playsis pun begitu.


Salah satu sudut dormitory di Playsis Hostel (Source: Booking.com)

Meskipun tidur beramai-ramai, tapi sepertinya seluruh hostel di Jepang amat sangat menjunjung tinggi privasi, kebersihan, kerapian dan ketenangan. Seluruh tamu dihimbau untuk tidak melakukan aktivitas yang menimbulkan kegaduhan. Bahkan jam 23.00, lampu utama kamar sudah dimatikan (inipun berlaku di 2 hostel lainnya). Di Playsis Hostel, lantai kamar dilengkapi dengan karpet, sprei, bantal, kasur, tirai, semuanya bersih tak berdebu dan tentunya wangi. Di masing-masing bed, ada colokan listrik dan lampu tidur. Untuk menjaga kerapian, koper diletakkan di tempat yang sudah ditentukan dan disediakan brankas kecil (seukuran dompet) untuk menyimpan barang berharga. Ada dua sharing bathroom yang meskipun sempit tapi bersih sekali dan dilengkapi exhaust untuk menarik udara supaya tidak pengap, ada shampoo dan sabun juga. Untuk toilet disediakan 7 toilet yang amat sangat bersih dengan wastafel, hairdryer, sabun cuci tangan dan tisu yang selalu terisi. Anyway, saya sangat suka nongkrong di kloset duduknya Jepang karena serba otomatis, mau flush, mau atur air untuk bilas, cukup pencet tombol yang ada di sisi kanan atau kiri dinding. Selain itu, dudukan klosetnya juga hangat!

Setelah melihat-lihat kondisi ruangan sekilas, mandi dan bongkar beberapa barang yang diperlukan dengan mengendap-endap karena takut mengganggu tetangga, saya akhirnya rebahan di kasur yang cukup nyaman dan bersih. Saya amat sangat perlu istirahat setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Ini baru awal mula, esok hari saya akan memulai petualangan saya menyusuri beberapa spot wisata di Jepang! I think I’m quite ready for tomorrow!


To be continued…


Lesson Learned:
·    Tidak ada salahnya menukar uang jauh-jauh hari. Selain karena mata uang Jepang cenderung stabil, misalnya tidak jadi berangkat, uang itu bisa ditukar lagi ke rupiah. Saran saya, tukar di money changer yang sudah mendapatkan lisensi karena takutnya dikasih uang palsu.
·     Beberapa traveler yang pertama pergi ke luar negeri kadang bingung, berapa banyak uang cash yang harus dibawa supaya nggak jadi gembel di sana. Sejujurnya saya juga nggak begitu paham yang bener gimana tapi menurut saya, lakukan yang menurut kalian nyaman! Ini prinsip yang saya pegang selama saya pergi sendiri di Jepang, termasuk perkara makan dan kebutuhan penting lainnya. Mereka yang mengecap diri backpacker atau traveler sejati mungkin akan bilang, ih segitu kemahalan, atau harusnya begini atau begitu. We have a right to do everything we want in our own way! Orang lain bisa kasih kita tips, tapi prakteknya, lakukan apa saja yang buat kalian nyaman daripada ribet sendiri karena denger omongan orang. Kalau saya pribadi, untuk uang cash, saya bawa dengan perhitungan cukup untuk 2-3 hari, sisanya bisa ambil duit di ATM. Karena menurut saya, agak ngeri bawa uang cash banyak-banyak. ATM di Jepang yang support buat Visa dan Mastercard juga sudah banyak. Selama di Jepang, saya gunakan debit card BNI). Saya biasanya ambil di 7Bank yang ada di Seven Eleven. Bahkan juga disediakan bahasa Indonesia untuk bertransaksi meskipun katanya sekali tarik kena biaya admin 25 ribu. It’s okay. Silahkan perhitungkan sendiri sesuai budget kalian, tidak perlu peduli dengan kata orang kalau itu dirasa menyulitkan.
·      Bawa baju secukupnya saja kecuali kalian ingin OOTD. Karena saya pergi sendiri dan anti ribet ribet club, sehingga tidak mau direpotkan dengan bawaan banyak, saya bawa barang secukupnya saja. Untuk baju, kalian tidak perlu khawatir pulang bawa oleh-oleh baju kotor, di hostel biasanya ada coin laundry dengan biaya sekitar 300 yen. Untuk daftar barang bawaan saya, silahkan klik di sini.