Akhirnya hari yang dinanti-nanti
sekaligus hari yang paling ditakuti dan dihindari tiba juga! Segala
kekhawatiran saya di hari-H keberangkatan pun masih belum kunjung menemukan
jawabannya. Salah satunya adalah menukar uang Rupiah ke Yen. Karena keraguan dan
kegalauan yang terjadi kemarin, antara jadi berangkat atau nggak. Jadi niat
untuk menukar uang ke Yen tertunda-tunda dan malah akhirnya sampai hari Senin
nggak berkesempatan menukar uang di money changer. Selasa malam, saking
paniknya nggak punya uang Yen, saya sampai browsing dengan harapan ada money
changer di Terminal 3. Menurut laman resmi Angkasa Pura ada 3 money changer di
Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, yaitu money changer BRI, BNI dan Mandiri.
Tapi ketika saya menelpon CS masing-masing bank, mereka bilang nggak ada money
changer di situ. Nah loh! Ini beneran ada nggak sih.
Saya memutuskan untuk langsung telpon
call center Angkasa Pura Bandara Soekarno Hatta. CS Angkasa Pura menjawab
dengan ramah bahwa ada 3 money changer dari BRI, BNI dan Mandiri yang buka 24
jam! Semoga bener ya! Meskipun tukar di bandara pasti jauh lebih mahal. Tapi
katanya akan jauh lebih mahal kalau tukar di bandara tujuan dan saya mikirnya
pasti akan lebih ribet nyari-nyari money changer di Narita dan landing saya
malam, pasti juga sudah capek. Maka saya putuskan tukar di Bandara Soetta yang masih bisa pake bahasa Indonesia (yaiyalah!), sedikit lebih murah dan
dengan pertimbangan takut aja imigrasi bandara Narita lagi seloooo alias nggak
ada kerjaan banget, jadi meriksa atau interogasi sampai nanya bawa uang Yen
berapa dan ternyata saya nggak bawa sama sekali. Siapa tau iseng kan. Segala sesuatu mungkin
aja terjadi apalagi di kehidupan yang nggak pasti ini. Halah! Baiklah, markidur
(mari kita tiduurrr!) Esok hari akan lebih panjang dan melelahkan. Jadi lebih
baik saya himpun energi untuk menghadapi esok hari.
Saya awali perjalanan pertama
saya menuju Jepang dengan bangun dini hari dan tak lupa mandi. Untuk perjalanan
saya ke bandara Soekarno Hatta, saya sudah dari dua hari lalu memesan layanan
Antar Jemput Bandara lewat aplikasi Traveloka. Sudah dua kali saya pakai
layanan ini karena lagi ada promo. Dari kosan saya ke bandara Soekarno Hatta cuma
sekitar 108 ribu rupiah dengan layanan taksi Golden Bird atau Kanigara! Sudah
termasuk toll, parkir dan bensin. Jadi tinggal bobok cantik aja di mobil. Harga
ini juga jauh lebih murah dibanding taksi konvensional dan taksi online. Untuk
layanan Antar Jemput Bandara dari Golden Bird atau Kanigara via aplikasi
Traveloka rata-rata menggunakan mobil jenis Avanza atau Innova. Selain itu
drivernya ramah banget, sudah dua kali saya naik layanan ini dan dua-duanya
ramah, bahkan mau ngangkat telepon aja minta izin dulu. Interior mobilnya juga
bersih banget dan jauh dari kata bau.
Membelah jalanan Jakarta yang
sepi karena masih dini hari, perjalanan dari kosan ke bandara cukup ditempuh
dengan 30 menit saja. Padahal belum kelar saya tuntaskan tidur dengan nyenyak.
Akhirnya saya sampai di Terminal 3 Soekarno Hatta. Dengan mata masih terbuka
setengah, saya lewati mesin scanning. Untung saya nggak berobos ke scanner
trolley karena beberapa tahun lalu, saya pernah penerbangan pagi dengan posisi
nyawa masih setengah di alam mimpi, bukannya masuk ke pintu scanner manusia,
tanpa sadar, saya setengah merundukkan badan dan berobos aja ke scanner trolley
yang letaknya di antara scanner badan dan conveyer barang-barang. Sungguh
kebodohan yang terlalu amat konyol! Malunya itu lho! Diketawain Avsec pula kan.
Aduh aduhhh…
Oke! Kembali ke topik semula!
Saya akhirnya nyari counter check in Cathay Pacific yang ada di island C dan D.
Petugas counter check in Cathay ramah sekali dalam memberikan penjelasan ke
saya yang baru banget naik pesawat ke luar negeri, pake transit pula. Saya
bingung mekanisme transit gimana karena seumur-umur belum pernah naik pesawat
transit, gimana bagasi saya, gimana pindah pesawat dll. Ternyata karena
penerbangan dengan satu maskapai, jadi soal baggage handling sudah nggak ada masalah
lagi. Artinya bagasi dari penerbangan Jakarta-Hongkong ke penerbangan
Hongkong-Tokyo sudah dihandle oleh pihak maskapai, jadi saya nggak perlu
repot-repot ambil bagasi lagi. Langsung boarding aja ke pesawat
berikutnya.
Check in sudah. Saatnya saya
berburu uang Yen. Seperti yang diinfokan call center Angkasa Pura, memang benar
ada 3 money changer dari bank BRI, BNI dan Mandiri. Letaknya pun berdekatan
dengan counter check in Cathay Pacific di island C. Letaknya dekat dengan Auntie
Anne dan Marugame Udon. Saya mulai cek kurs dari Mandiri. 1 Yen = Rp 134,sekian
sekian. Mahal. Lagipula mereka cuma punya pecahan 10 ribu yen. Akhirnya saya
bergeser ke BNI. Saya lihat di layar, kurs mereka lebih murah. Kalau nggak
salah 1 Yen = Rp 129, sekian-sekian. Meskipun lebih mahal daripada tukar di
money changer di luar bandara, but I have no choice. Saya akhirnya tukar 10 ribu
yen. Dengan mata berbinar, petugasnya bilang “pas banget mba! Tinggal sepuluh
ribu dan pecahan seribu semua!” Ini yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba.
Akhirnya saya pesen ke petugasnya untuk keep uang itu sembari saya ambil uang
cash karena money changer ini hanya menerima cash. Transaksi pun selesai. Saya
lanjutkan langkah kaki menuju boarding room.
Untuk menuju boarding room, ada
security check lagi untuk memastikan bahwa kita tidak benar-benar membawa
barang yang dilarang masuk ke kabin. Contohnya mineral water. Kalau penerbangan
domestik, kadang bawa botol air mineral 600 ml lolos aja. Tapi no excuse di
penerbangan international. Maksimal cairan yang boleh dibawa masuk kabin 100 ml
(If I’m not mistaken). Dan air mineral 330 ml saya yang masih utuh pun akhirnya
harus rela saya serahkan ke Avsec. Tau gitu masuk koper aja kan. Lumayan buat
hemat beli air mineral di Jepang. Karena air mineral di sana paling murah 90
yen untuk ukuran 500 ml atau sekitar 11 ribu. Meskipun harganya masih masuk
akal karena kalau di fancy restaurant atau mall di Jakarta mineral water
harganya juga segitu.
Setelah lewat security check dan
pemeriksaan boarding pass serta paspor, pemeriksaan berlanjut ke bagian
imigrasi. Di bagian ini akan terpisah loket untuk WNI dan foreigner. Di sini,
paspor kita akan diperiksa dan diberikan cap oleh petugas imigrasi. Tanpa
proses tanya jawab yang berarti, seusai membubuhkan cap, petugas kembali
menyerahkan paspor saya. Saya lanjutkan langkah kaki ke arah Gate 1. Letak
gate ini ternyata jauh banget. Paling ujung. Tadi petugas di counter check in
juga sudah mengingatkan kalau gatenya jauh. Tapi karena saya pergi dengan hati
yang gembira, sembari pemanasan untuk jalan jauh di Jepang nantinya, jalan dari
ujung ke ujung menuju boarding room pun tak terasa.
Jakarta to Hongkong…
Setelah menunggu selama kurang
lebih setengah jam, akhirnya tiba juga waktu untuk boarding. On time sesuai
dengan waktu boarding yang ditentukan. Petugas ground service Cathay yang memeriksa
boarding pass ini ramah-ramah lho. Setelah
proses check boarding pass dan paspor, tepat sebelum masuk garbarata menuju ke
pesawat, ada security check lagi oleh petugas imigrasi dengan ekspresi wajah
dan perawakan lebih garang dari sebelumnya. Badannya tegap macem satpam. Nggak
ada mesin scanner, tapi petugas ini menggeledah tas atau tentengan yang dibawa
penumpang satu persatu. Mungkin aja masih ada yang nyelundupin cairan atau
benda yang dilarang lainnya.
Selesai proses check, akhirnya
saya duduk di pesawat yang lebih besar dari pesawat domestik. Terakhir saya
naik pesawat dengan seat 2 – 4 – 2 gini waktu ke Bali dan Balikpapan. Oiya,
jenis pesawat Cathay yang akan membawa saya dari Jakarta ke Hongkong ini adalah
Airbus tapi lupa tipe berapa. Untuk seat, saya duduk di sisi paling kiri tapi
tidak dekat jendela. Selain untuk mempermudah pergerakan kalau saya mau ke
toilet, saya juga menghindari duduk di tepi jendela karena phobia saya terhadap
ketinggian. Dalam penerbangan bersama Cathay. Saya juga nggak perlu khawatir
bakal bosan selama perjalanan yang akan makan waktu kurang lebih 4 jam karena
ada inflight entertainment. Honestly, I was very very excited but also worried
at the same time. That was my very first long flight abroad. Flight terpanjang
saya sebelumnya adalah ke Manado selama 3,5 jam dan itu saya merasa amat sangat
bosan. Dari tidur, makan, tidur sampai ngemil tapi rasanya nggak sampai-sampai.
Tapi karena pesawat saya transit, jadi saya tidak perlu merasakan penerbangan 7
jam direct.
Tampilan layar in flight entertainment di Cathay Pacific saat penerbangan dari Jakarta ke Hongkong (Source: Foto Pribadi) |
Setelah boarding beberapa saat,
pramugari mengumumkan prosedur keselamatan dengan 3 bahasa: Indonesia, Inggris,
Mandarin. Pramugarinya pun ada yang berasal dari Indonesia dan Hongkong
(homebasenya Cathay). Oiya, untuk inflight mealnya lumayan lengkap dengan rasa
standar. Ada nasi/mie, lauk pauk, sayur, buah, pudding dan berbagai macam
minuman. Udah gitu masih dikasih roti. Urusan perut, sudah terjamin pastinya.
Dan sejauh ini, penerbangan Jakarta Hongkong lancar tanpa turbulens berarti.
Puji Tuhan...
Setelah terbang selama 4 jam,
pesawat landing kurang lebih jam 2 siang. Waktu Hongkong lebih cepat 1 jam dari
Jakarta. Karena pesawat yang akan membawa saya ke Tokyo akan terbang 50 menit
lagi, saya segera menuju ke bagian pindah pesawat. Di sana ada security check
dan periksa paspor lagi. Setelah itu langsung ke ruang tunggu. Dan ternyata
ruang tunggu udah penuh banget. Saya sampai nyempil-nyempil duduk di antara
bule-bule. Tapi beruntungnya, saya dapet tempat duduk menghadap jendela dengan
view bukit-bukit serta beberapa gedung di Hongkong. Entah memang cuaca atau
apa, tapi saya merasa udara luar Hongkong ini hazy, semacam berkabut padahal
hari udah siang.
Duduk-duduk selonjor kaki sambil ketiduran
sesekali, akhirnya tiba waktu boarding dari Hongkong ke Narita setelah tertunda
setengah jam, dengan antrian yang sudah mengular panjang. Sampai-sampai petugas
mengatur barisan agar tidak mengganggu lalu lintas pejalan lainnya. Tapi yang
diatur pun nggak susah, sekali dikasih tau langsung ngerti. Masalah antri pun
begitu, antrian mengular rapi. Nggak ada cerita serobot-serobotan atau nyempil-nyempil
di tengah antrian.
One Step Closer to Japan…
Pesawat yang membawa saya dari
Hongkong ke Tokyo ini sepertinya tipe Boeing dengan seat 3 – 4 – 3, seperti
pesawat yang masih baru dibanding pesawat sebelumnya, dengan kursi yang lebih
nyaman dan layar monitor yang lebih sensitive touchnya. Seperti biasa, karena saya paling takut duduk
pinggir jendela, saya pilih duduk di lorong. Setelah proses boarding selesai,
Pramugari mulai mengumumkan prosedur keselamatan dengan 3 bahasa, kali ini
tanpa Bahasa Indonesia, yaitu bahasa Inggris, Mandarin dan Jepang. Dari sini
saya mulai merasa sendiri. Ternyata saya sudah sangat sangat jauh dari rumah
karena nggak ada satupun penumpang atau pramugari yang saya temui yang bisa Bahasa
Indonesia apalagi bahasa Jawa.
Tampilan Layar In Flight Entertaninment Cathay Pacific Hongkong-Tokyo (Source: Foto Pribadi) |
Setelah pesawat lepas landas dan
berada di ketinggian jelajah, pramugari mengedarkan form Customs Declaration.
Saya bingung gimana cara ngisinya karena saya nggak bawa pulpen! Ketauan banget
baru pertama ke luar negeri. Akhirnya dengan tampang memelas, saya pinjem
pulpen mba-mba di samping saya. Yang paling memalukan lagi, pulpen itu udah
saya puter-puter, saya ceklik-ceklik, tapi nggak mau nongol ujung pulpennya.
Sampai akhirnya, mungkin karena kasian atau gimana, mba-mba tadi menunjukkan gimana cara pakai pulpen itu. Entah pulpennya yang terlalu canggih atau saya
yang gaptek atau kombinasi keduanya. Tapi kejadian ini terasa agak memalukan.
Semoga dia nggak tau kalau saya orang Indonesia. Kemudian saya isi form
tersebut dengan sepenuh hati dan pikiran serasa lagi ujian nasional. Khawatir
kalau salah isi nanti dicek sama petugas imigrasi terus kena deportasi. Ih
ngeri!
Selesai berurusan dengan form
Customs Declaration. Dilanjutkan dengan makan! Hot meal sudah diedarkan dengan
menu Chicken Curry daaaannnn makanan penutup es krim Haagen-Dazs. Saya nikmati
secuil kebahagiaan melalui es krim Haagen-Dazs secara perlahan-lahan karena ini
enak banget!
Tapi kebahagiaan saya berhenti
sampai es krim Haagen-Dazs saja, sodara-sodara! Dua setengah jam setelah
pesawat lepas landas, dengan langit di luar yang sudah gelap, mendadak pesawat
bergoyang heboh. Seluruh penumpang diharapkan kembali ke tempat duduk dan pakai
seatbelt. Tapi guncangan ini bener-bener hebat. Saking hebatnya sampai-sampai biasanya
kalau guncangan yang cuma karena cuaca buruk, pramugari masih sliwar-sliwer,
kali ini pramugari bener-bener disuruh kembali ke tempat duduk masing-masing.
Mba-mba di samping saya kayaknya juga panik karena beberapa kali dia kaget dan
memekik pelan. Pikiran saya pun udah berkecamuk. Apakah ini yang dinamakan
turbulensi? Perut udah mual rasa Pop Ice abis diblender masih pakai
dishake-shake. Karena pada dasarnya saya panikan, takut ketinggian dan di luar
jendela langit sudah gelap (karena saya juga takut gelap. Banyak banget ya
hal-hal yang saya takutkan!) serta guncangan yang nggak kunjung mereda, rasanya
bener-bener kayak mau pingsan. Oksigen yang mengalir dalam tubuh saya seperti
berkurang, mungkin sedikit lagi saya akan benar-benar pingsan karena panik. Sungguh
menyedihkan kalau saya benar-benar pingsan di pesawat. Udah travelling
sendirian, kemudian saya pingsan karena guncangan pesawat.
Akhirnya dengan sekuat tenaga,
saya berusaha untuk tenang. Saya coba cari air untuk menenangkan diri, tapi air
mineral sudah saya habiskan dari tadi. Akhirnya saya cuma berkali-kali mengucap
doa-doa dalam hati, sambil mengatur pernapasan, tarik napas dalam-dalam,
keluarkan pelan-pelan sambil berhitung 1 sampai 10. Berkali-kali saya lakukan
itu supaya tenang. Puji Tuhan, nggak jadi pingsan! Dan cuaca kembali membaik, pun
juga guncangan sudah tidak saya rasakan lagi.
Sisa perjalanan menuju Tokyo
akhirnya terlewati setelah goncangan selama beberapa menit. Finally, perjuangan
melawan rasa takut akan guncangan berakhir dan pesawat mendarat dengan selamat di
Bandara Narita pada pukul 20.30. Senangnya! Akhirnya saya menginjakkan kaki di
Jepang! Tapi perjuangan tidak berhenti sampai pada pesawat mendarat! Masih
banyak serangkaian proses imigrasi, baggage claim, dan
hal-hal lain. Brace your self, Angelita!
Japan! Here I am!
Menginjakkan kaki ke luar
pesawat, menyusuri garbarata, saya langsung ditampar udara dingin Jepang selepas
hujan. Bersyukur, saya sudah memakai turtle neck bahan rajut dan jaket karena
saya teringat pesan Kak Margaret dan Mba Icha (temen kantor waktu saya masih di
unit kerja lama) yang mengatakan bahwa angin di Jepang masih dingin meskipun
udah masuk musim semi.
Setelah berjalan sekitar 5 menit,
saya sampai di bagian imigrasi. Seperti di imigrasi Indonesia, di sini dibagi
antara warga negara Jepang dan warga negara asing. Setelah itu akan diperiksa
paspor dan visa kita yang tertempel di paspor. Kemudian pemeriksaan sidik jari
dan mata. Beruntung, saya pakai kacamata dan nggak pakai softlens karena sudah
mengira akan ada pemeriksaan macam ini. Takutnya kalau pakai softlens nggak
kebaca dan nggak kebayang juga mesti copot softlens di situ. Di pemeriksaan
ini, bapak-bapak petugas imigrasinya sempet jengkel karena sampai tiga kali
scan, sidik jari saya masih nggak kebaca.
Proses berlanjut ke pengambilan
bagasi. Di sini saya kebingungan mencari Customs Declaration yang udah saya isi
di pesawat! Tapi kebingungan saya terjawab karena di dekat conveyer pengambilan
bagasi, ada meja kecil yang dilengkapi form Customs Declaration, lengkap dengan
pulpennya. Lah! Tau gitu daripada ngrepoti mba-mba di samping saya tadi,
mending saya isi di sini sambil nunggu bagasi!
Entah karena koper saya kecil
atau gimana, koper saya akhirnya tiba setelah 6 atau 7 koper lainnya lewat.
Anyway, saya cuma bawa 1 koper ukuran 23 inch lho! IYA! Ukuran 23 inch! Itupun
masih sisa space satu layer buat oleh-oleh. Kok bisa?! Saya berterimakasih
kepada Marie Kondo dan tips tidying up-nya yang sangat membantu. Dan terima
kasih kepada Fumio Sasaki dengan buku Hidup Minimalis ala Orang Jepang sehingga
saya cuma bawa beberapa barang seperlunya yaitu handuk kecil digulung rapi
(karena saya nginep di hostel takutnya nggak ada handuk), 3 baju, 2 sweater, 1
jaket, 2 celana, toiletries (shampoo, sabun, pasta gigi saya kemas dalam tube
kecil seperlunya sehingga tidak makan tempat). Pakaian-pakaian saya gulung rapi
dan ringkas, bahkan sampai saya karetin biar bener-bener berbentuk kecil!
Setelah saya berhasil mendapatkan
my only one luggage, proses selanjutnya adalah menyerahkan form Customs
Declaration. Ada dua jalur, jalur hijau dan merah (if I’m not mistaken). Jalur
hijau untuk yang tidak membawa barang yang harus dilaporkan atau yang harus
diperiksa atau barang yang tidak terkena pajak cukai. Jalur merah untuk yang
bawa barang yang harus diperiksa atau dilaporkan dan barang-barang berisiko
tinggi seperti tanaman, senjata, hewan, amunisi, barang yang memiliki daya
ledak dll. Kalau bawa uang dalam jumlah yang besar juga harus lapor ke jalur
merah. Tentu saja saya ada di jalur hijau. Di sini akan diperiksa lagi paspor.
Pokoknya selama di bandara, paspor dan boarding pass harus berada dekat dengan
jangkauan tangan kita. Karena nggak enak juga kan kalau baru nyari-nyari paspor
di depan petugas imigrasi. Berpikir bahwa form Customs Declaration saya bakal
dicek sampai detail, nyatanya tidak begitu. Proses ini hanya sebatas
menyerahkan form saja.
Akhirnya proses imigrasi yang
saya takuti berhasil terlewati tanpa kekhawatiran yang berarti! Selanjutnya,
seperti yang sudah saya rencanakan, saya mencari Kantor JR di area Narita untuk
menukar voucher JR saya dengan JR Pass. Daripada bingung, saya tanya bagian
informasi. Tidak ada kesulitan berarti untuk mencari kantor JR yang terletak
satu lantai di bawah pintu kedatangan Bandara Narita. Bahkan tidak terlalu banyak
antrian saat saya tiba. Saya hanya perlu mengisi beberapa data seperti nomor
paspor, nama dan tanggal mulai serta tanggal berakhir penggunaan JR Pass. Oiya,
JR Pass saya ini non reservation seat. Jadi saya tidak bisa melakukan reservasi
kursi untuk Shinkansen. Tapi jangan khawatir! Ada 5 gerbong khusus non
reservasi, sehingga kita tetap bisa mendapatkan tempat duduk secara bebas
ketika sudah berada di dalam Shinkansen. Yang artinya, sistem kursi non
reservation ini adalah siapa cepat, dia dapat tempat.
Voucher JR Pass yang kita dapat di Indonesia akan ditukar dengan kartu JR Pass ini dan sudah siap digunakan (Source: Foto Pribadi) |
Selanjutnya saya menuju ke halte
Airport Limousine Bus dengan kembali bertanya kepada bagian informasi. Ada
banyak bus di sana, jadi pastikan bertanya sebelum mengantri atau masuk bus.
Nggak lucu kan kalau nyasar, udah malem juga. Ketika saya tunjukkan tiket
Airport Limousine Bus yang sudah saya beli dari Jakarta, petugas mengarahkan
saya untuk menukar tiket itu di loket Airport Limousine Bus. Dan artinya saya
harus masuk lagi ke dalam gedung. Bersyukur, saya langsung menemukan loket Airport
Limousine Bus karena letaknya juga tidak begitu jauh dari halte dan memesan jam
keberangkatan sekitar 10 menit lagi atau kira-kira akan berangkat pukul 21.50.
Saya bahkan masih sempat membeli air mineral.
Setelah menunggu 5 menit, bus
datang dengan sangat tepat waktu. Sungguh budaya tepat waktu yang perlu kita
tiru! Ketika bus tiba, petugas tadi
mengambil tiket dan memasukkan koper ke dalam bagasi. Dan ketika bus akan
berangkat, mereka serentak membungkukkan badan. Budaya ini yang beberapa waktu
lalu sempat jadi kontroversi di Indonesia ketika petugas kereta dan
porter-porter di stasiun membungkukkan badan pada kereta yang akan berangkat.
Yang membuat saya takjub lagi adalah ketika sopir bus menghimbau kepada seluruh
penumpang untuk mengenakan seatbelt. Suatu hal yang jarang atau bahkan hampir
tidak saya temui ketika naik bus di Indonesia yaitu penumpang bus tetap harus
mengenakan sabuk pengaman. Satu hal lagi yang membuat saya takjub. Ketika
berada di perempatan jalan dan traffic light menyala merah. Bus ini benar-benar
berhenti meskipun dari arah lain tidak ada kendaraan. Coba kalau di Indonesia,
udah tengah malam, jalanan sepi, dan nggak ada polisi, mau di traffic light
menyala merah, asal sepi, gas aja kan. Di sini, hal bar-bar macam itu tidak
akan terjadi.
Perjalanan dari Bandara Narita
menuju Tokyo memakan waktu kurang lebih 1,5 jam. Membelah jalan tol yang
lengang, bus akhirnya tiba di permberhentian pertama. Saya lupa nama terminalnya
apa. Tapi saya memutuskan turun di terminal ini karena ketika saya lihat maps,
akan lebih dekat ke hostel apabila saya turun di sini daripada turun di Tokyo
Station. Jangan bayangkan terminal ini bakal banyak pengamen, kotor dan kumuh.
Terminalnya kecil, rapi dan amat sangat bersih. Ketika tiba, bahkan suasana
sudah sangat sepi. Hingga saya khawatir kalau tidak ada taksi. Tapi nyatanya,
di sisi bangunan lain, taksi sudah berjajar rapi.
Saya dapat taksi urutan ketiga.
Sebuah sedan keluaran Toyota dan sepertinya mobil lama. Drivernya pun terlihat
sudah berusia hampir 60 tahunan. Tapi jangan salah. Meskipun mobil dan
drivernya sudah berumur, servis kepada penumpang tetap diutamakan. Meskipun
koper yang saya bawa ukuran sedang dan saya tidak keberatan menenteng koper
masuk ke dalam bagasi, tapi dengan sigap driver melarang saya mengangkat koper
sendiri. Selain itu, yang patut dicatat bagi kalian yang baru pertama naik
taksi di Jepang, meskipun mobilnya terlihat tua, tapi semua taksi di Jepang
memiliki pintu yang terbuka otomatis. Jadi, silahkan jaga jarak dengan pintu
penumpang. Nggak lucu kalau kita terhempas sampai terjengkang ketika pintu
taksi terbuka otomatis dan menghantam badan. Ketakjuban saya tidak berhenti
sampai di situ, meskipun mobilnya terlihat tua, tapi interior dalam taksi
terasa amat sangat nyaman, bersih dan tidak bau bahkan AC berfungsi layaknya
mobil baru. Jok dilapisi lapisan empuk berwarna putih bersih dan tentu
dilengkapi LCD touch screen sebagai GPS.
Berhubung saya kurang fasih berbahasa
Jepang dan nampaknya driver taksi tidak bisa berbahasa Inggris, saya akhirnya
menyampaikan alamat hostel saya dengan menunjukkan maps yang ada di handphone.
Setelah memutar-mutar layar handphone saya selama beberapa saat, driver
langsung mengerti lokasi hostel tempat saya menginap. Kemudian mulai melajukan
kendaraan. Oiya, jangan lupa, meskipun duduk di kursi penumpang, gunakanlah
seatbelt sebagaimana ketika saya naik bus tadi. Budaya safety benar-benar telah
mengakar di Jepang.
Hanya sekali putar, taksi akhirnya
keluar dari terminal dan mulai membelah jalanan Tokyo. Saat itu, waktu
menunjukkan pukul 23.00. Jalanan Tokyo amat sangat lengang. Hanya sesekali saya
berpapasan dengan mobil. Seperti ketika naik bus dari bandara tadi, meskipun
kondisi jalanan sepi, kalau lampu menunjukkan tanda merah, taksi yang tadinya
melaju dengan sangat kencang tetap berhenti sesuai dengan instruksi traffic
light.
Tidak sampai 10 menit, saya tiba
tepat di depan hostel. Saya sudah bersiap-siap mengeluarkan biaya mahal untuk
taksi karena di Jepang memang sudah terkenal dengan biaya yang mahal. Driver
kemudian menyodorkan nampan (sepertinya sudah budaya di Jepang, di toko apapun
maupun di taksi, ada nampan kecil tempat meletakkan uang). Saya membayar 2.170
yen. It’s okay. Tidak mungkin saya jalan dengan membawa koper dalam kondisi
jalanan Tokyo yang sudah sepi dan badan yang sudah sangat lelah.
About Hostel…
Kondisi sekitar hostel, meskipun
terletak di tepi jalan raya, tapi sudah sangat sepi. Hanya ada satu dua mobil
yang melintas. Saking sepinya, suara gledek roda koper saya terdengar bising
dan berisik.
Malam ini saya menginap di
Playsis Hostel yang terletak tidak jauh dari Sumida River. Karena sebelumnya
sudah menginformasikan kepada pihak hostel bahwa saya akan tiba tengah malam,
resepsionis sudah pun berjaga. Oiya, selama di Jepang, saya menginap
berpindah-pindah di 3 hostel yaitu 2 malam di Tokyo, 1 malam di Osaka dan 2
malam lagi kembali ke Tokyo. Jadi, fix-kan itinerary dulu, baru kemudian pesan
hostel/apartemen/hotel/ryokan. Pemilihan tempat menginap bisa kalian sesuaikan
dengan kebutuhan dan jumlah orang yang pergi bersama kalian, supaya tepat
fungsi, murah sekaligus nyaman karena biaya akomodasi di Jepang tergolong
mahal. Ini klasifikasi penginapan di Jepang versi saya:
· Hostel cocok buat yang pergi backpacker sendiri,
terutama buat kalian yang takut tidur sendiri di tempat asing seperti saya. Hostel
ini seperti asrama, jadi tempat tidur bertingkat di sebuah ruangan besar semacam
di asrama dengan sharing bathroom dan toilet. Tapi meskipun sharing, selama saya
menginap di 3 hostel di Jepang, seluruhnya jauh dari kata jorok dan bau. Bersih,
rapi dan wangi. Untuk tempat tidur biasanya dilengkapi tirai untuk membatasi
aktivitas privasi kalian supaya tidak dilihat orang. Saran saya buat wanita,
untuk menjaga diri sebaiknya cari hostel dengan tipe women dormitory karena biasanya
hostel menyediakan satu lantai khusus mixed dormitory.
· Capsule hotel. Mirip seperti hostel tapi bentuk
bed-nya semacam bunker. Tadinya saya berminat nginep di capsule hostel tapi seluruh
capsule hotel yang berlokasi strategis sudah penuh karena berbarengan dengan
Golden Week. Seperti hostel, bathroom dan toiletnya juga sharing, biasanya
capsule hotel juga dibedakan, ada lantai khusus wanita, pria dan mixed. Harganya
menginap di capsule hotel relative murah, tapi masih lebih murah hostel. Mungkin
karena tempat tidur hostel hanya ditutup horden macem etalase warteg.
· Apartemen atau apato cocok buat kalian yang
pergi rame-rame. Bagi kalian yang pergi rombongan dan menerapkan sistem cost
sharing, nginep di apato amat sangat cocok. Dengan harga mulai dari 1,5 juta rupiah
per hari, biayanya bisa kalian bagi rata dengan rombongan. Apato juga cocok
buat yang pergi sama keluarga karena ada fasilitas memasak seperti microwave
atau kompor. Lumayan buat berhemat, tinggal bawa ransum aja dari Indonesia.
· Ryokan. Ryokan ini semacam tidur ala Jepang
gitu. Jadi pakai tatami dan tidur lesehan beralaskan kasur tipis nan hangat. Ada
yang bentuknya private room, ada juga yang rame-rame.
· Hotel. Tidur di hotel tidak menjadi rekomendasi buat
kalian solo backpacker! Selain karena harganya mahal (Biaya menginap semalam di
hotel bintang 3 bisa sampai 1,5 juta rupiah!) juga rasanya nggak worthed kalau
kalian keluar biaya mahal buat tidur sendirian, apalagi buat yang penakut
seperti saya. Tidur sendiri di tempat asing itu semacam nightmare. Tapi buat
kalian yang kelebihan uang dan menjunjung tinggi kenyamanan, boleh lah mencoba
menginap di hotel yang nyaman.
· Warnet. Jangan heran! Warnet di Jepang nyaman
(katanya sih gitu) dan available untuk menginap. Biasanya pekerja-pekerja yang
pulang kemalaman dan ketinggalan kereta akan memilih tidur di warnet. Selain itu,
harganya juga super duper murah dan kalian bisa internetan. Tapi namanya juga
warnet, jangan membayangkan tempat yang luas seperti kamar ya!
Untuk pemesanan hostel, saya
menggunakan situs Booking.com. Kenapa nggak pakai Air BnB yang lebih popular dan
banyak pilihan hostelnya? Karena Air BnB mengharuskan pembayaran menggunakan
credit card sementara saya tidak memiliki credit card. Akhirnya saya pesan via
Booking.com dengan menggunakan debit card Mastercard, bisa juga menggunakan
Visa. Untuk pembayaran, dapat dilakukan secara cash pada saat check in atau gesek kartu debit/kartu
kredit di hostel. Untuk informasi lebih lanjut, bisa menghubungi pemilik hostel
by email. Sebelum ke Jepang, saya beberapa kali kontak dengan pemilik hostel
melalui email untuk mengkonfirmasi late check in, ketersediaan fasilitas coin
laundry dan sebagainya. Sejauh ini, respon mereka dalam membalas email cepat
dan ramah.
Kembali lagi ke proses check in
hostel. Prosesnya mudah, hanya menunjukkan paspor, mengisi form dan melakukan
pembayaran, kemudian petugas resepsionis memberi saya kartu yang berisi password
untuk membuka pintu kamar dan login wifi. Hostel-hostel di Jepang biasanya tidak menggunakan kunci berupa kartu tapi di daun pintu biasanya ada tombol-tombol dan pintu akan terbuka dengan menekan nomor kombinasi yang sudah diinformasikan resepsionis.
Playsis hostel ini sepertinya
masih baru dengan bentuk bangunan kecil dan minimalis. Bahkan liftnya pun hanya
muat untuk 5 orang. Tapi karena hanya terdiri dari beberapa lantai, kalau tidak
membawa koper, bisa naik turun lewat tangga. Selain itu kamar saya hanya
terletak satu lantai di atas lobby. Setibanya di depan kamar, saya disambut
budaya Jepang yang kental yaitu rak sepatu di sisi pintu. Memang di Jepang, seperti
di dorama atau kartun, sebelum memasuki rumah, kita melepas sepatu dan berganti
dengan sandal rumah. Di hostel Playsis pun begitu.
Salah satu sudut dormitory di Playsis Hostel (Source: Booking.com) |
Meskipun tidur beramai-ramai,
tapi sepertinya seluruh hostel di Jepang amat sangat menjunjung tinggi privasi,
kebersihan, kerapian dan ketenangan. Seluruh tamu dihimbau untuk tidak
melakukan aktivitas yang menimbulkan kegaduhan. Bahkan jam 23.00, lampu utama
kamar sudah dimatikan (inipun berlaku di 2 hostel lainnya). Di Playsis Hostel,
lantai kamar dilengkapi dengan karpet, sprei, bantal, kasur, tirai, semuanya
bersih tak berdebu dan tentunya wangi. Di masing-masing bed, ada colokan listrik dan lampu tidur. Untuk menjaga kerapian, koper diletakkan
di tempat yang sudah ditentukan dan disediakan brankas kecil (seukuran dompet)
untuk menyimpan barang berharga. Ada dua sharing bathroom yang meskipun sempit
tapi bersih sekali dan dilengkapi exhaust untuk menarik udara supaya tidak
pengap, ada shampoo dan sabun juga. Untuk toilet disediakan 7 toilet yang amat
sangat bersih dengan wastafel, hairdryer, sabun cuci tangan dan tisu yang
selalu terisi. Anyway, saya sangat suka nongkrong di kloset duduknya Jepang karena
serba otomatis, mau flush, mau atur air untuk bilas, cukup pencet tombol yang
ada di sisi kanan atau kiri dinding. Selain itu, dudukan klosetnya juga hangat!
Setelah melihat-lihat kondisi
ruangan sekilas, mandi dan bongkar beberapa barang yang diperlukan dengan
mengendap-endap karena takut mengganggu tetangga, saya akhirnya rebahan di
kasur yang cukup nyaman dan bersih. Saya amat sangat perlu istirahat setelah
perjalanan panjang yang melelahkan. Ini baru awal mula, esok hari saya akan
memulai petualangan saya menyusuri beberapa spot wisata di Jepang! I think I’m
quite ready for tomorrow!
To be continued…
Lesson Learned:
· Tidak ada salahnya menukar uang jauh-jauh hari.
Selain karena mata uang Jepang cenderung stabil, misalnya tidak jadi berangkat,
uang itu bisa ditukar lagi ke rupiah. Saran saya, tukar di money changer yang
sudah mendapatkan lisensi karena takutnya dikasih uang palsu.
· Beberapa traveler yang pertama pergi ke luar
negeri kadang bingung, berapa banyak uang cash yang harus dibawa supaya nggak
jadi gembel di sana. Sejujurnya saya juga nggak begitu paham yang bener gimana
tapi menurut saya, lakukan yang menurut
kalian nyaman! Ini prinsip yang saya pegang selama saya pergi sendiri di
Jepang, termasuk perkara makan dan kebutuhan penting lainnya. Mereka yang
mengecap diri backpacker atau traveler sejati mungkin akan bilang, ih segitu
kemahalan, atau harusnya begini atau begitu. We have a right to do everything we want in our own way! Orang lain
bisa kasih kita tips, tapi prakteknya, lakukan apa saja yang buat kalian nyaman
daripada ribet sendiri karena denger omongan orang. Kalau saya pribadi, untuk
uang cash, saya bawa dengan perhitungan cukup untuk 2-3 hari, sisanya bisa
ambil duit di ATM. Karena menurut saya, agak ngeri bawa uang cash banyak-banyak.
ATM di Jepang yang support buat Visa dan Mastercard juga sudah banyak. Selama di
Jepang, saya gunakan debit card BNI). Saya biasanya ambil di 7Bank yang ada di
Seven Eleven. Bahkan juga disediakan bahasa Indonesia untuk bertransaksi
meskipun katanya sekali tarik kena biaya admin 25 ribu. It’s okay. Silahkan perhitungkan sendiri sesuai budget
kalian, tidak perlu peduli dengan kata orang kalau itu dirasa menyulitkan.
· Bawa baju secukupnya saja kecuali kalian ingin
OOTD. Karena saya pergi sendiri dan anti ribet ribet club, sehingga tidak mau direpotkan
dengan bawaan banyak, saya bawa barang secukupnya saja. Untuk baju, kalian
tidak perlu khawatir pulang bawa oleh-oleh baju kotor, di hostel biasanya ada
coin laundry dengan biaya sekitar 300 yen. Untuk daftar barang bawaan saya,
silahkan klik di sini.