Berawal dari kisah perjalanan dan pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di tanah Borneo demi mengemban tugas (wuidiiih, gaya bener) serta pengalaman pertama saya mencicipi kepiting asam manis. Karena saya adalah pecinta seafood, ajakan untuk makan kepiting tidak saya tolak (mumpung gratis juga, mhiihihi) dan itu merupakan kali pertama makan kepiting (ngakunya penikmat seafood tapi nggak pernah makan kepiting, payaah). Akhirnya, demi kepiting gratis yang kalo beli pake kocek sendiri cukup menguras kantong saya dan demi memuaskan rasa penasaran saya akan kepiting, saya pun makan dua macam kepiting yang disediakan: kepiting soka dan kepiting apa lagi saya lupa makannya. Setelah saya coba, ternyata enak juga. Oke, mission completed! Kepiting ternyata enak juga, yang nggak enak cuma bagian ngupasnya.
Akhirnya, saya masukkan kepiting dalam daftar makanan seafood favorit saya setelah cumi-cumi dan udang. Tapi apa yang terjadi sodara-sodara (musik mulai dibikin panik macam pemeran protagonis saling bertatap muka dengan pemeran antagonis dalam sinetron...) tengah malem saya terbangun karena sekujur badan saya gatal-gatal, bentol-bentol, merah-merah dan panas pula. Panik lah saya. Pikiran saya mulai meracau kemana-mana. Jangan-jangan tadi handuknya ada ulet, jangan-jangan air buat saya mandi dikasih obat gatel-gatel, jangan-jangan saya kualat sama ini, jangan-jangan itu, pokoknya mulai macem-macem lah pikiran saya. Sampai tibalah saya pada titik pencerahan dimana saya mulai bisa berpikir jernih, bersih dan logis. Oh, mungkin saya alergi kepiting. Meski saya pikir nggak mungkin, karena biasanya saya makan udang dan cumi-cumi juga nggak pernah alergi. Dengan tangan kiri memegang hp dan tangan kanan sibuk garuk-garuk, saya brosing dan googling mengenai alergi yang saya derita, Fix! saya alergi kepiting! Secara nggak logisnya, saya mungkin kualat sama si mister crab ini. Soalnya kepiting adalah lambang zodiak saya. Berani-beraninya saya makan simbol dan cerminan diri saya, sungguh kurang ajar nian kau nak! Mungkin roh kepiting yang saya makan bakal bilang begitu sambil melayang-layang di atas jasadnya yang sudah terpotong-potong dan disausin pula.
Saya habiskan malam itu dengan gelisah garuk-garuk badan. Untungnuya pertolongan dari petugas hotel yang membawakan obat alergi segera datang. Akhirnya, dengan bantuan obat alergi yang sekaligus juga obat tidur paling ampuh, saya bisa tidur nyenyak malam itu...
Anyway, dari kejadian alergi itu saya bisa menarik analogi atau perumpamaan atau pemikiran atau apalah itu namanya. Bahwa kadang kita mungkin menyukai sesuatu, sama halnya seperti saya menyukai seafood. Namun akan tiba saat dimana apa yang kita suka justru malah melukai atau membuat kita sakit (dalam kasus yang saya alami, bikin alergi), sehingga mau tidak mau kita harus berhenti memakannya, dekat dengannya atau berinteraksi dengannya. Saya atau kita hanya akan berhenti memakan (untuk kasus alergi seafood) atau dekat atau berinteraksi dengan sesuatu yang kita suka, bukan berarti kita berhenti suka. Kita tetap suka, hanya saja sedikit menghindar agar tidak terluka. Namun, jika telah terbiasa jauh, menghindar dan terlalu lama berhenti berinteraksi atau memakannya, bukan tidak mungkin kita akan lupa bahwa kita pernah suka dengannya dan akhirnya akan berhenti menyimpan perasaan itu.
Maybe my thought sounds weird, especially for the last point. Agak nggak nyambung sama kisah alergi yang saya ceritakan panjang lebar di awal. Tapi saya hanya mencoba menggambarkan atau lebih tepatnya sok nyambung-nyambungin dan mengumpamakan, seperti itulah kita ketika kita mengalami perasaan suka yang justru malah membuat kita terluka dan membuat kita harus berhenti untuk dekat dengannya, meskipun sebenarnya kita ingin...