Some people work too hard, spend all their time and energy to collect much money. Then, they sick because they work too hard. And finally, they spend almost all of their money that collected from their hard work, to pay and recover their sickness. So ironic...
Kamis, 26 Juni 2014
Rabu, 25 Juni 2014
Cinta itu ibarat antibiotik. Itulah alasan kenapa 'jatuh' cinta itu nggak sesakit jatuh dari motor atau jatuh dari pohon. Karena variabel cinta lebih kuat dari jatuhnya. Karena cinta ibarat antibiotik yang menawarkan rasa sakit. Dan itulah kenapa ketika kita merasa sudah nggak ada cinta dari orang yang kita cinta, tinggal sakitlah yang kita rasa. Karena efek cinta yang dapat menghilangkan rasa sakit seperti antibiotik, mulai menghilang seiring berkurangnya cinta dari orang2 yang kita harapkan, dari orang2 yang dulunya membuat kita jatuh cinta...
Sabtu, 07 Juni 2014
Save the Best for the Last
Pagi tadi saya menikmati sarapan pagi dengan seporsi bubur ayam bersama seorang teman saya di ruang makan kosan. Ada sedikit perkataan teman saya dari sekian panjang percakapan yang kami ucapkan selama menikmati seporsi bubur ayam hangat nan nikmat yang tandas kami lahap sekejap pagi tadi. Berawal kebiasaan saya yang setiap makan selalu lauknya dimakan di akhir. Padahal lazimnya, lauk dimakan dengan nasi dan uba rampenya. Jadi nasi habis, lauk juga habis. Nah, saya beda. Nasi habis duluan saya makan dengan sayur atau kerupuk. Bagian enaknya, entah itu lauk ayam, daging sapi, sosis, bakso, ikan, dll, selalu saya makan belakangan. Apapun yang saya anggap enak, selalu saya makan belakangan. Saya sendiri juga tidak menyadari dari mana datangnya kebiasaan itu dan sudah sejak kapan saya mulai. Saya selalu berpikiran bahwa yang nggak enak dulu yang dimakan, yang enak belakangan. Semacam pepatah lama yang berbunyi berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Susah dulu, bagian yang nggak enak dulu, sakit dulu, baru senang kemudian. Kadang saking isengnya, temen-temen saya dulu suka nyerobot bagian enaknya ketika saya belum selesai menandaskan bagian nggak enaknya. Mereka suka kesel dengan cara makan saya yang aneh bin ajaib itu. Anyway, setelah sekian lama kita makan bersama dan dia mulai sadar kebiasaan saya, dia akhirnya berani menanyakan kenapa lauk selalu saya makan di bagian akhir. Kemudian saya jawab dengan penjelasan di atas. Sampai tibalah dia pada satu kalimat yang singkat namun bermakna "save the best for the last ya?" yang kemudian saya iyakan saja.
Ya, dia pikir saya adalah penganut ungkapan "save the best for the last". Dimana yang terbaik itu dinikmati di bagian akhir, bagian paling enak itu dinikmati belakangan dan bahwa yang terbaik kadang datangnya belakangan. Susah susah dulu lah, sakit-sakit dulu lah, baru kau bisa dapat yang terbaik. Saya jadi curiga bahwa Tuhan juga memegang teguh kalimat "save the best for the last" tadi. Karena kadang Tuhan juga kasih kita bagian nggak enak dulu di awal, Dia kasih kita cobaan, masalah dan rintangan serta part dalam hidup yang nggak kita suka dan seolah pengen kita skip, sampai akhirnya kalo kita kuat berenang sampai ke tepian kayak kata pepatah, kita akan dapatkan hal terbaik yang Tuhan janjikan. Kalau dalam bahasa Jawa "lakon menang keri" yang kalo ditranslate dalam bahasa Indonesia artinya "orang baik itu menangnya di akhir".
Saya rasa ungkapan "save the best for the last" juga berlaku untuk yang lagi cari jodoh. Tuhan menyimpan jodoh yang terbaik untuk kita itu di akhir. Meskipun kadang kita udah lelah berkali-kali pacaran, berkali-kali kenalan, berkali-kali deket, yang senengnya cuma sebentar doang, trus sakit kemudian. Entah sakit karena diduain atau ditigain, sakit karena perpisahan yang pahit, dan lain sebagainya. Bayangin aja buat yang pacaran udah lebih dari lima kali, mereka harus berkali-kali melewati siklus percintaan yang monoton: naksir - pedekate - jadian - mulai muncul masalah - galau - putus - galau kuadrat. Siklus yang manis sebentar dari fase jatuh cinta sampe awal jadian, lalu jadi derita beberapa bulan kemudian. Capek hati, capek pikiran, capek tenaga. Seakan-akan saking putus asanya, rasa-rasanya kayak nggak mau pacaran lagi kalo endingnya selalu putus. But if you never try, you'll never know. Ya, nggak ada salahnya mencoba kesempatan yang ada. Kita ibarat pelari dan Tuhan adalah jurinya. Juri misterius yang nggak mau kasih tau dimana garis finishnya. Kalo kita berhenti berlari, kita nggak akan akan tahu dimana garis finish itu berada. Tapi kalo kita terus berlari, entah kapan pasti akan ketemu juga. Intinya kalo lagi capek lari, ya berhenti bentar, bukan berarti kamu harus berhenti selamanya. Seperti itu juga soal cari jodoh, kita nggak akan tahu kalo kita nggak mencoba.
Bah! Dari sarapan bubur ayam, trus "save the best for the last" kenapa sampe ke perjodohan nih, nggak nyambung banget, mwahahahaha! Intinya sih, Tuhan udah menyimpan dan menyiapkan (jodoh, karir, dll) yang terbaik untuk kita di akhir nanti. Dan kadang yang terbaik itu datengnya belakangan, kita mesti ketemu yang jelek-jelek dulu, yang susah-susah dulu, ketemu masalah dulu, baru yang terbaik akan datang untuk kita. Baiklah, saatnya saya menutup posting yang super duper teramat panjang dan nggak nyambung ini daripada yang baca tambah pusing. Thank you for reading my post :)
Langganan:
Postingan (Atom)