TRAVEL LOG
PARI-DISE : ‘A LITTLE
PARADISE’ IN THE NORTH JAKARTA
Catatan Perjalanan ke Pulau
Pari – Kepulauan Seribu Selatan
Jakarta, Sabtu pagi. Langkah kaki atau lebih tepatnya
laju mobil angkot warna biru muda yang kami tumpangi ber-tiga-belas (sebuah
angka yang menurut mereka mengakibatkan kesialan namun syukurlah tidak
berpengaruh apa-apa bagi rombongan saya, dari awal berangkat hingga kembali ke
kosan), membawa kami menuju utara Jakarta. Setelah sempat berputar-putar
menyusuri jalanan Jakarta yang lengang (mungkin karena weekend dan hari masih
terlalu pagi untuk beraktivitas di akhir pekan), dengan bantuan GPS, sampailah
kami di Pelabuhan Muara Angke. Aroma tak sedap menyergap hidung kami. Paduan antara aroma ikan segar, ikan tak
segar, tumpukan sampah, tanah basah (becek –red), asap kendaraan yang lalu
lalang dan (mungkin) keringat nelayan serta ratusan manusia yang beraktivitas
di lingkungan Muara Angke. Spontan tangan kami menutup satu-satunya indera yang
membuat kami menghirup paduan aroma yang tak biasa.
Ready to go! Pari Island! |
Kontras dengan suasana jalanan yang lengang, suasana di
Muara Angke dan sekitarnya mulai riuh dengan lalu lalang kendaraan dan lautan
manusia yang berjejal. Pemandangan kontras mulai terlihat, perpaduan antara
nelayan lokal dan pedangang ikan dengan baju lusuh dan gerobak pengangkut ikan
yang terbiasa dengan aroma dan suasana Muara Angke versus wisatawan lokal
dengan pakaian ala liburan serta tas ransel bekal menginap sehari semalam di
pulau tujuan, membaur dalam padatnya pelabuhan nelayan dan tempat pelelangan
ikan di Utara Jakarta itu.
Ya, Muara Angke adalah langkah pertama kami dan ratusan
pelancong lain menuju pulau-pulau di gugusan Kepulauan Seribu. Ratusan orang
telah menanti agen travel mereka di meeting
point yang biasa ditetapkan oleh travel
agent untuk menjemput dan mengarahkan wisatawan menuju ke pulau tujuan
masing-masing. Pom bensin menjadi pusat para wisatawan untuk turun dari
kendaraan masing-masing, sebelum berjalan ke tepi pelabuhan menuju ke
kapal. Seorang petugas dari agen travel
mengantarkan kami menuju pelabuhan. Lorong sempit menjadi jalan penghubung dari
daratan menuju pelabuhan. Setelah berjingkat melewati dua kapal terparkir dari
tepian, tibalah kami di kapal yang akan mengantarkan kami ke Pulau Pari.
Puluhan kapal nelayan dan kapal penumpang lainnya
bersandar di pelabuhan yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara tersebut. Mata
saya terpaku pada pemandangan air laut sekitar pelabuhan, hitam pekat dengan
sampah-sampah mengambang, tersuguh kontras dengan gedung-gedung bersih dan
tinggi menjulang yang berdiri tak jauh di sekitarnya. Tidak perlu mengutuk,
mungkin saya juga termasuk satu dari ratusan ribu bahkan jutaan masyarakat
Jakarta yang sadar atau tak sadar, langsung maupun tidak langsung, menyumbangkan
sampah-sampah yang akhirnya bermuara di Muara Angke.
All team! |
Setelah menanti satu jam, sesuai jadwal, kapal kami
bertolak dari pelabuhan, kala matahari sudah mulai tinggi dan terasa menyengat.
Kami memilih duduk di bagian depan kapal, meski sempat dilarang oleh kru kapal
dengan alasan keselamatan. Semilir angin mulai membelai kami, aroma air laut
terasa pekat tercium. Sekitar satu kilo dari pelabuhan, warna air masih hitam
dengan gelombang sampah yang mengapung. Selepas itu, laut biru sebagaimana
layaknya warna laut, mulai menyambut. Meski sesekali barisan sampah mengambang
di atas hamparan warna biru lautan. Kadang ‘mata-haus-pemandangan-indah’ kami
dihibur oleh tarian burung camar (atau entah apalah itu namanya) yang terbang
tipis di atas air, mengintai ikan-ikan kecil untuk dikonsumsi. Bahkan, di
tengah perjalanan, dua ikan kecil (entah apa juga namanya), berenang
melompat-lompat di atas air, sejajar dengan kapal yang kami tumpangi, seolah
mengajak kapal kami untuk balapan. Awesome!
Perjalanan hampir dua jam mengarungi laut di utara
Jakarta akhirnya berujung di dermaga Pulau Pari, tujuan akhir rombongan kami.
Warna biru toska air di tepian dermaga menyambut mata kami. Pulau seluas 94
hektar ini seolah terpagari oleh pohon-pohon hijau nan asri, membuat saya bertanya-tanya,
apa yang ada dan tersembunyi di dalamnya. Sedikit tidak yakin ada rumah-rumah
dan penduduk yang tinggal di sana. Bahkan sebelum ke pelabuhan, saya sempat
ragu, benarkah listrik dan jaringan seluler bisa saya dapatkan?
Welcome to Pari Island! |
Dan pikiran sempit saya yang memgira bahwa Pari adalah
pulau terpencil yang tak tersentuh listrik serta jaringan seluler terbantahkan,
saudara-saudara! Di balik rerimbunan pohon-pohon nan hijau berjajar memagar,
terdapat rumah-rumah penduduk sekaligus homestay tempat para wisatawan tinggal.
Tak perlu takut kepanasan seperti yang sebelumnya saya pikirkan karena rata-rata
homestay tersebut dilengkapi AC dan fasilitas MCK yang bersih, termasuk
homestay kami yang terletak sekitar 500 meter di sebelah utara dari dermaga. Bagi
yang tak bisa kehilangan sinyal ponsel, tak perlu khawatir, untuk beberapa
provider, sinyal yang ada cukup kuat di pulau ini. Udara di Pulau Pari juga
bersih, tidak ada kendaraan kecuali sepeda dan segelintir sepeda motor. Tidak
ada mobil, keberadaan mobil tidak akan diperlukan karena Pulau Pari terlalu
sempit untuk dikelilingi dengan mobil. Kami, wisatawan, pergi kemana-mana hanya
jalan kaki dan naik sepeda. Tak perlu takut jalan jauh atau bersepeda jauh,
jalanan di Pulau Pari hanya membentang dari ujung ke ujung dan hanya ada dua
jalan utama selebar sekitar dua meter dengan dasar susunan paving dengan
beberapa gang kecil sebagai penghubung antar dua jalan utama tersebut. Satu
jalan di tepi dermaga dan satu lagi di tengah desa. Pulau Pari juga telah
dilengkapi dengan fasilitas kesehatan berupa Puskesmas yang 24 jam siap
memberikan pelayanan kesehatan darurat.
Lelah dan penat kami sepanjang perjalanan terbayarkan
dengan suasana ala pedesaan. Bagi saya yang berasal dan tumbuh besar di desa,
suasana di Pulau Pari mengingatkan saya pada suasana kampung halaman.
Sederhana, tenang, akrab dan jauh dari hingar bingar. Such a great escape untuk
para pencari keheningan dan ketenangan yang terpaksa harus hidup dalam
keramaian *halaahh.
Pantai Pasir Perawan |
Setelah beristirahat sejenak sembari menyeruput welcome
drink berupa es kelapa muda, kami meneruskan perjalanan dengan bersepeda menuju
Pantai Perawan atau Virgin Beach. Bersepeda sekitar satu kilo ke arah timur
homestay, setelah sebelumnya membayar karcis masuk seharga dua ribu rupiah, kami
disambut dengan suguhan pantai pasir putih dengan air laut biru kehijauan serta
beberapa pohon bakau yang tumbuh menggerombol di beberapa bagian. Di pantai
ini, tersedia perahu kano dan perahu kayuh untuk mengelilingi atau mengunjungi
gugusan pohon bakau yang terletak tidak jauh dari pantai. Silahkan menghabiskan
sepertiga memori kamera kalian dengan foto-foto narsis di spot ini.
Tak cukup lama kami berada di Pantai Perawan, jelang
makan siang, kami kembali menuju homestay untuk menyantap hidangan makan siang,
istirahat sejenak untuk melanjutkan tujuan utama kami datang ke Pulau Pari –
SNORKLING!!
Ready for snorkling! |
Sekitar jam setengah dua siang, guide lokal kami telah
mempersiapkan peralatan snorkeling berupa kacamata, alat bantu pernapasan, life
vest dan lainnya. Ada sedikit kekhawatiran karena (honestly) saya tidak bisa berenang,
phobia air dalam jumlah besar dan takut kedalaman air. Dan sekalinya renang
langsung nyemplung ke tengah lautan! O-M-G! But I dare my self to face my fear.
Kalau bukan sekarang kapan lagi?!
Perjalanan menuju ke spot snorkeling kami tempuh dengan
kapal tradisional nelayan. Untuk melawan rasa takut, saya duduk di tepian kapal
menikmati semilir angin sembari menggantungkan kedua kaki saya di atas air
laut, membiarkan gelombang air sesekali menerpa kaki saya, sambil terkadang
berjingkat mengangkat kaki karena barisan sampah yang numpang lewat. Sempat
berhenti beberapa kali untuk mencari spot snorkeling, bahkan guide kami sempat
hampir memilih spot yang terdapat banyak sampah mengambang, akhirnya kami
sampai di spot yang cukup jauh dari keramaian orang snorkeling lainnya dan
tentunya aman dari barisan limbah plastik serta sampah lainnya.
Underwater! |
Satu persatu anggota rombongan mulai menjatuhkan tubuh
mereka ke kedalaman sekitar 3-5 meter. Saya, yang takut air dan tidak bisa
berenang, sempat bimbang, namun akhirnya, dengan segenap perjuangan melawan
rasa takut, saya jatuhkan diri saya ke laut biru. Sempat panik, dengan tubuh
mengambang, terbalik, timbul, tenggelam, melayang, dan tak sanggup mengontrol
diri. Akhirnya saya bisa mengendalikan
diri, menaklukkan rasa takut dan menikmati pesona bawah laut dengan hamparan
karang serta birunya kedalaman bawah laut. Sesekali mata kami terhibur dengan
puluhan ikan nemo yang berenang lalu lalang, apalagi apabila kami menggenggam
remah biskuit. Puluhan ikan akan datang mengerumuni. Jadi, bagi kalian yang
ingin foto bawah laut dengan kerumunan ikan nemo, bawalah biskuit sebagai umpan
untuk memancing kedatangan mereka.
Di antara puluhan ikan Nemo |
Puas menikmati pemandangan bawah laut, kami kembali ke
Pulau Pari dengan berbagai cerita dan ekspresi ketika ‘menenggelamkan diri’
untuk melihat secara langsung, keindahan dan apa yang ada di balik dalam dan
birunya lautan. Beberapa teman-teman bahkan melanjutkan untuk menikmati sensasi
terombang-ambing dengan banana boat yang ditarik cepat di atas laut. Namun saya
harus menghentikan kesenangan saya sejenak, saya harus kembali ke homestay lebih cepat karena tiba-tiba muncul bercak
merah panas membengkak di beberapa bagian kulit. Alergi! Padahal saya tidak
mengkonsumsi seafood sama sekali. Entahlah, mungkin air laut pun memiliki
pengaruh untuk memunculkan alergi. Satu lagi tips bagi kalian yang memiliki
alergi seperti saya, jangan lupa membawa obat anti alergi ketika berlibur ke
pantai atau daerah pesisir.
Sore hari, selepas mandi, kami bersepeda lagi menuju ke
arah barat, memasuki arena bangunan milik LIPI untuk menikmati panorama
matahari terbenam. Namun sayang, kami terlambat datang. Matahari sudah
terlanjur terbenam tanpa sempat kami mengabadikan momennya. Bahkan kami sempat
terjebak hujan deras selama hampir satu jam, pulang selepas Maghrib dengan
suasana gelap, menyusuri jalanan yang kiri kanan hanya terhampar pepohonan
serta semak rimbun. Untungnya kami tak sendirian, ada rombongan lain yang
pulang bersama kami karena juga menanti hujan reda.
Malam hari, setelah menyantap makan malam, kami kembali
bersepeda menuju Pantai Perawan untuk (kembali) makan dan menikmati suasana
malam di tepi pantai sembari menyantap sajian ikan dan cumi bakar. Suasana tepi
pantai yang tenang, berkumpul bersama teman-teman, dapat menjadi pertimbangan
bagi kalian untuk membawa gitar, mengisi waktu malam hari dengan bernyanyi atau
sekedar menikmati petikan gitar yang sayup terdengar di keheningan malam.
Sunrise di tepi dermaga |
Esoknya, jarang-jarang di hari Minggu saya bangun pagi.
Tapi demi sunrise di Pulau Pari, pagi-pagi sudah nongkrong di dermaga Pulau
Pari. Di sebuah gundukan tanah menyerupai bukit untuk melihat matahari terbit.
Agak lama menantikan sunrise, namun karena mendung, matahari baru terlihat
ketika sudah berada pada titik cukup tinggi. Namun penantian kami tak cukup
membosankan, kami sempat dihibur oleh gerombolan ratusan ikan kecil yang
bersama-sama melompat di atas air dengan ketukan konstan dan melompat
bersamaan, seolah laut adalah panggungnya, mereka artis penghibur yang
menunjukkan kebolehan dan atraksi spektakuler di hadapan penontonnya. Luar
biasa!
Kembali ke homestay, sarapan telah disajikan, mandi
kemudian guide membawa kami ke Pantai Bintang, yang juga merupakan tempat
penaangkaran biota laut, tidak jauh dari bangunan milik LIPI yang kami kunjungi
kemarin sore. Panorama di pantai Bintang sedikit berbeda. Selain karena ceceran
sampah di tepi pantainya, gundukan putih menyerupai karang (yang setelah
didekati ternyata gundukan pasir pantai) menghampar dengan latar pohon bakau. Seolah-olah
ada hamparan salju di tengah lautan nan biru. Warna biru muda lautan senada
dengan warna langit pagi itu yang juga biru, luas menghampar, seolah langit dan
laut menyatu dan hanya terpisahkan oleh segaris tipis cakrawala.
Pasir putih Pantai Bintang |
Usai melepaskan hasrat untuk bernarsis ria di tengah
hamparan pasir putih yang berkumpul di antara tepian laut biru yang tenang,
kami melanjutkan kayuhan sepeda kami. Karena perut kami sudah membunyikan alarm
kelaparan, kami pun mencari spot jajanan dan es kelapa muda untuk memenuhi
keinginan perut dan mulut. Jalan yang kami tempuh kali ini sedikit berbeda,
melalui jalanan setapak tanah di antara kebun dan rumah-rumah, kami dapat
memotret secara langsung bagaimana warga-warga di Pulau Pari menjalani
aktivitas pagi. Mata saya sempat berbinar dan terpaku selama beberapa detik
ketika menangkap pemandangan di sebuah halaman belakang rumah kayu nan
sederhana. Satu keluarga, bapak dan anak laki-laki seusia kira-kira sepuluh
tahun duduk semeja menikmati sajian sarapan pagi dan segelas teh hangat,
sementara ibu berdiri tak jauh dari mereka, menjerang air di atas tungku bata
untuk seduhan teh selanjutnya. Sungguh, tidak ada yang lebih damai dari ini,
hidup sederhana dengan segala keramahan alam dan suasana pedesaan yang tenang
serta tak jauh dari keluarga. Ketika jarak dan batas bapak ibu serta anak hanya
dipisahkan oleh meja kayu yang luasnya tak seberapa. Ketika kemudian saya sadar
bahwa mengais rejeki yang begitu banyak di perantauan dengan segala kemewahan
yang ditawarkan, tak kan ada artinya dengan kebersamaan bersama keluarga
meskipun dengan kesederhanaan.
Selesai menyantap sajian otak-otak dan kelapa muda, kami
kembali ke homestay untuk packing dan
persiapan kembali ke Jakarta karena kapal yang akan mengangkut kami tiba pada
pukul 12.00. menuju ke dermaga dengan wajah tak seceria ketika berangkat, kapal
yang akan membawa kami kembali telah bersandar sejak setengah jam yang lalu,
telah penuh sesak dengan manusia beserta kenangan akan keindahan dan kisah
sehari semalam di Pulau Pari. Kami memutuskan untuk duduk di bagian dalam,
meskipun sempit dan pengap, karena kami sudah tidak punya cukup tenaga untuk
berpanas ria apabila duduk di luar kapal.
Pukul 13.30, kapal kami telah bersandar di Pelabuhan
Muara Angke, masih dengan setting yang sama, gedung yang masih berdiri angkuh
di lokasi tak jauh dari pelabuhan kumuh yang mendadak dua kali lipat lebih
ramai karena kedatangan wisatawan dan kenangan serta kisah menarik di Kepulauan
Seribu. Wajah bahagia namun sendu, bahagia karena telah melewati weekend dengan
liburan asyik dan sendu karena harus kembali menghadapi rutinitas serta kesumpekan
Jakarta dengan tumpukan pekerjaan yang telah menanti. Namun begitu, Pulau Pari
telah menjadi great escape kami
selama sehari semalam, untuk sejenak melupakan beban pekerjaan dan menyatu
dengan kesederhanaan dan keramahan yang alam tawarkan...
***
Catatan :
Untuk perjalanan ke Pulau Pari, kami menggunakan jasa
travel dengan biaya Rp 340.000,- / orang untuk 13 orang. Semakin banyak orang
yang ada dalam rombongan, maka biaya yang kalian keluarkan akan makin sedikit.
Biaya tersebut sudah mencakup :
1.
Tiket kapal PP (Angke – Pari –
Angke)
2.
Biaya sewa homestay
3.
Biaya sewa sepeda untuk
transportasi keliling Pulau Pari
4.
Makan 3 kali (Siang – Malam –
Pagi)
5.
Sewa alat snorkeling dan kapal
menuju ke spot snorkeling
6.
Dokumentasi (foto bawah laut dan kegiatan
selama di Pulau Pari)
Belum termasuk :
1. Tip untuk guide lokal
2. Tiket masuk lokasi Pantai Pasir
Perawan dan Pantai Bintang (untuk masuk ke lokasi pantai, kalian hanya perlu
merogoh kocek sekitar Rp 1000,- s.d 2000,-)
3.
Uang untuk beli jajanan dan
keperluan lain yang tidak disebutkan di atas