Dan terjadi lagi, tragedi potong poni yang terulang kembali. Semacam kisah
lama yang saya tulis kembali dengan versi judul yang berbeda, tapi intinya
sama. Berawal dari poni yang mulai memanjang menutupi dahi, meskipun nyaman
saya rasa dan saya pandang, tapi bagi sebagian orang, pemandangan poni
menggantung hampir menutupi mata sangat lah mengganggu. Akhirnya, berbekal bayangan
poni rapi menghiasi dahi, saya putuskan untuk memangkas rapi sebagian rambut
yang memanjang seperti korden yang menutupi mata. Tapi, seperti biasanya,
kadang bayangan dan kenyataan tidaklah sama. Apa yang kita harapkan kadang
tidak terjadi pada kenyataannya. Poni yang dipangkas terlalu pendek, sehingga
terlihat lucu jika dipandang. Bahkan terasa jauh lebih buruk daripada poni
panjang seperti tirai yang menutupi mata. Sungguh, kalo sudah begini,
mati-matian saya berusaha memperbaiki atau setidaknya menutupi kekurangan
panjang poni tersebut. Berjam-jam saya memandang wajah di kaca, menata rambut
sedemikian rupa, sisir sana sisir sini, belah pinggir, tengah, miring. Tapi hasilnya
tetap sama dan tidak memperbaiki bentuk poninya. Tetap aneh dan wagu! Kalo sudah
begini, rasanya pengen sembunyi sampai rambut benar-benar kembali seperti
semula. Seolah-olah setiap orang yang kita temui memandang aneh pada kita
(meskipun sebenarnya tidak seperti itu). Tapi saya percaya, sebulan atau dua
bulan lagi, poni ini akan menemukan polanya. Akan terlihat indah jika sudah
sedikit lebih panjang. Akan terasa pas jika sudah lama memanjang. Bukankah sebelumnya
tragedy potong poni pernah terjadi? Bahkan berkali-kali, dan lama-lama akan
terasa pas menggantung di dahi, meskipun butuh beberapa waktu untuk
penyesuaian.
Saya rasa begitu pula dengan kisah saya. Terjadi lagi tragedi dimana
saya harus kembali menghadapi kenyataan rumit nan pahit. Berjalan pada sebuah
jalinan yang nyaman sebenarnya, sungguh indah rasanya bisa kembali merasakan
perasaan ini. Namun pada akhirnya, tidak ada sesuatu yang abadi bukan? Perasaan
nyaman ini kadang juga harus diakhiri. Sama seperti poni yang mulai memanjang,
meskipun terasa nyaman dan pas di wajah, namun kadang kita harus memangkasnya,
demi poni yang lebih rapi, dalam hal ini, demi jalinan hubungan yang lebih baik
lagi. Kadang apa yang menurut kita pas
dan membuat nyaman, tak selalu bisa kita pertahankan. Ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan antara bertahan atau melepaskan. Pada akhirnya, ketika
kita memutuskan untuk melepas, kita harus menerima konsekuensi bahwa kita harus
memasuki fase baru, fase penyesuaian dimana kita harus melepaskan apa yang
membuat kita nyaman. Sama seperti ketika potong poni, meskipun kelihatannya
sepele, namun kehilangan bagian yang membuat wajah kita indah (menurut kita),
harus direlakan demi poni baru yang lebih rapi dan sedap dipandang meskipun
kita harus melalui fase penyesuaian bentuk wajah yang sedikit berbeda karena
potongan yang kependekan. Tapi ketika kita sudah mulai terbiasa menjalani hari
tanpa apa yang membuat kita nyaman, belajar menyesuaikan diri, maka percayalah,
keterbiasaan ini akan membuat kita menemukan hal baru yang mungkin akan bisa
me-replace atau menggantikan sesuatu yang nyaman yang telah kita lepaskan tadi.
Sama ketika kita percaya bahwa poni yang tadinya kependekan dan jelek, suatu
saat akan memanjang dan menemukan pola terbaiknya. Semoga!
Tragedi potong poni juga mengajarkan saya bahwa tidak ada yang abadi
di dunia ini, yang abadi hanyalah perubahan
itu sendiri. Perubahan poni dari panjang ke pendek kemudian panjang
lagi. Dari bentuk poni yang membuat wajah kita indah ke bentuk poni yang
merubah wajah menjadi baik lagi dan begitu seterusnya. Sama seperti bahagia
yang datang sebentar, kemudian berubah menjadi kesedihan dan kemudian bahagia
muncul lagi. Sama halnya dengan ketika kita mendapatkan sesuatu kemudian
kehilangannya dan menemukan lagi, entah dengan sesuatu yang sama atau sesuatu
yang baru yang lebih baik lagi. Kemudian saya teringat ucapan Andi Warhol “I’m really afraid to be happy because it
never lasts”. Saya setuju kata-kata Warhol, perasaan senang tidak akan
bertahan lama, maka nikmatilah selagi bisa dan berpikirlah bahwa itu tak akan
bertahan lama sehingga kita tidak akan terlalu larut dalam perasaan yang hanya
sesaat. Sama halnya dengan senang, kita juga harus percaya bahwa kesedihan yang
kita alami juga tidak akan berlangsung lama. Suatu saat nanti, entah dalam
waktu yang lama atau hanya sesaat, bahagia akan segera datang dan jika memang
telah tiba waktunya, nikmatilah! J