Senin memang selalu menjadi hari yang melelahkan, bahkan lelah itu
muncul seketika kita membuka mata pada detik pertama. Ah Senin! Begitu kadang
kita merutuk awal pekan dengan gumaman negatif. Begitupula saya, hari Senin
saya diawali lebih pagi dari ketika saya berkantor di Jakarta. Kantor saya kini
terletak lebih jauh di pegunungan, bukan di Himalaya tapi di Cisarua tepatnya.
Yang lebih berat dari bangun pagi adalah ketika saya menyadari bahwa perjalanan
harus jauh saya tempuh. Bukan, bukan dengan kendaraan pribadi dimana kita bisa
bebas memacu diri dengan kecepatan tinggi atau bisa dengan leluasa berhenti.
Kendaraan umum dengan naik tiga jenis moda transportasi yang menjadi
satu-satunya pilihan. Ojek online, sambung Angkutan Perbatasan Terintegrasi Bus
Transjakarta lanjut dengan angkot.
Bukan suatu masalah bagi saya menumpang kendaraan umum. Rutinitas ini
pernah hampir tiap hari saya lakukan, jauh sebelum saya bekerja. Yang perlu
saya lakukan adalah kembali memunculkan semangat naik kendaraan umum, dimana
sebelumnya saya dinikmatkan dengan transportasi pribadi. Bagi saya,
transportasi umum adalah miniatur karakter manusia, ditilik dari status,
gender, level, pekerjaan, kepentingan,
tujuan dan lain sebagainya. Mengamati penumpang-penumpang yang secara tak
sengaja dipertemukan di waktu dan moda transportasi yang sama menjadi salah
satu aktivitas favorit saya. Dan dari sini, pagi ini, di tengah hujan deras
yang mengguyur sepanjang Ciawi sampai Cisarua diiringi kabut tipis yang
perlahan menebal, saya kembali mendapatkan inspirasi menulis kembali setelah ia
minggat dan mati suri lebih dari setahun ini...
..............
Januari – Hujan sehari-hari, begitu orang memaknai bulan di awal tahun
ini. Dan terbukti, sepagi ini hujan sudah turun membasahi Ciawi. Hujan memang
berkah, sebagian mengaku suka hujan namun ketika ia turun, mati-matian mereka
menghindarinya (seperti dikutip dari quotes Bob Marley), bagi sebagian lagi,
hujan di pagi hari adalah tanda untuk meningkatkan level perjuangan ke kadar
yang lebih tinggi. Sepanjang perjalanan saya dari Ciawi hingga Cisarua, sambil
menikmati aroma basah, daripada sibuk berkutat dengan handphone, saya mengamati
orang-orang di sepanjang jalan dan di dalam angkutan dengan segala perjuangannya
menembus hujan.
Ada kerumunan pelajar, dari putih merah hingga putih abu, berteduh di
teras-teras toko yang masih belum buka. Begitu ramainya hingga saya kira kelas
mereka sudah pindah ke teras. Ada pengendara motor tanpa perlindungan mantel
nekat menembus hujan, meskipun sebagian besar memilih berteduh atau mengenakan
jas hujan. Dalam angkot, mata saya tertambat pada seorang bapak dan anaknya
dengan seragam SD. Wajah si bapak datar saja, seolah hujan bukan masalah yang
perlu untuk dikeluhkan maupun dirutuki, tak nampak kesal pun juga adegan sayang
yang berlebihan seperti mengelus kepala anaknya, tak ada pula kata yang
terucap, dalam diam mereka menikmati deru angkot yang berpacu bersama tetesan
hujan. Bagi mereka, mengantar anak adalah hal biasa dan bagi anaknya, diantar
adalah kewajiban orangtua, namun bagi saya, menyisihkan waktu di tengah hujan
dan segala keterbatasan, biarpun hanya bermodalkan naik angkot untuk mengantar
anaknya, adalah suatu perjuangan yang baginya atau anaknya yang belum menyadari
adalah biasa saja, tapi suatu saat jika anaknya mengingat, hal yang tadinya ia
anggap biasa akan terasa jadi perjuangan yang luar biasa. Karena bagi saya,
waktu adalah hal berharga yang bisa diberikan manusia, dan bapak tadi telah
memberikan sesuatu yang berharga pada anaknya.
Selain kisah bapak dan anak tadi, beragam ekspresi dari penumpang
angkot saya amati. Dari ekspresi heboh ibu-ibu yang turun dari angkot sambil
berteriak, seolah yang turun adalah hujan paku bukan hujan air; kemudian
teteh-teteh dengan wajah bertabur bedak dan tak henti mengelap wedges warna
pink yang sesaat menjadi coklat terkena
cipratan air bercampur tanah; lalu anak SMA tanggung yang tak henti bercakap
tentang pacar masing-masing.
Sesaat angkot berhenti cukup lama di tanjakan, menanti seorang ibu dan
dua anaknya, laki-laki dan perempuan, yang akan menyeberang untuk mencapai
angkot yang saya tumpangi. Mereka berpayung, namun tetap basah. Sesampai di
angkot, saya amati anak perempuan yang duduk tepat di depan saya, Nacita
namanya, terlihat dari badge nama yang terpasang di seragam SD nya. Anak
laki-laki yang satunya, sibuk mengeluh pada ibunya. “Aduh ibu, bajunya jadi
basah semua,” keluhnya. Tapi ibu tadi menanggapi dengan sabar, katanya semua
orang juga basah, yang seolah-olah menegaskan bahwa derita basah karena hujan
tak hanya dialami olah si anak laki-laki ini tapi juga oleh semua orang, baik
yang naik motor, jalan kaki, naik angkot dan lain sebagainya.
Perkataan ibu ini menyadarkan saya bahwa kadang ketika kita ditimpa
suatu kemalangan atau kesusahan, kita tak henti-henti menggerutu, seolah-olah
hanya kita saja yang mengalami hal itu. Padahal di sisi lain, ada banyak orang
yang mengalami hal serupa, hanya kita tidak tahu saja. Alih-alih mencari rekan
senasib, kita justru malah sibuk melihat orang yang bernasib lebih baik,
kemudian setelahnya tak henti meratap. Bukan untuk membandingkan atau
menyombongkan, tapi dengan melihat orang yang bernasib sama atau jauh di bawah kita,
rasa syukur yang tadinya luntur, perlahan akan kembali muncul. Bahwa di dunia
ini, akan selalu ada yang di atas kita, pun di bawah kita. Tergantung ke arah
mana kita menyorotkan pandangan sesuai dengan kebutuhan. Pandangan ke bawah
untuk bersyukur dan ke atas untuk memacu diri menjadi lebih baik lagi.