Selasa, 15 Oktober 2013

Segi Empat (Chapter 4)

Pertemuan pertama Aliya dan Yovie pagi itu menghantarkan mereka pada sebuah obrolan panjang yang berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Yovie sosok pria cerdas dan apa yang dilakukannya selalu keluar dari batas kenormalan yang biasa dilakukan manusia pada umumnya. Termasuk kegiatan-kegiatan yang belakangan sering mereka lakukan berdua selama lebih dari setengah semester pertama mereka di bangku kuliah. Bersamanya, Aliya merasa seperti dibawa ke sebuah dunia baru yang sama sekali tidak pernah ia pikirkan ada di sekitarnya. Membuatnya memandang sesuatu dari sudut lain yang tak lazim digunakan oleh manusia lainnya. 

Kuliah siang itu berakhir dengan tumpukan tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa tingkat pertama dari jurusan komunikasi. Beberapa mengeluh, beberapa menanggapinya dengan biasa saja dan sebagian kecil terlihat masa bodoh dengan tugas tersebut. Aliya merapikan dan mengemas susunan catatan ke dalam binder dan menaruhnya ke dalam ransel hitamnya. Ia hampir melompat karena terkejut ketika Yovie sudah ada di depannya, beberapa meter di depan kursi tempat Aliya duduk. Entah kenapa, Yovie menjadi tidak pernah absen dari jadwal kuliah setiap harinya, meskipun sering datang terlambat. Ia seperti tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memandang wajah Aliya yang belakangan ia panggil dengan nama "Koala". 

Beberapa saat kemudian, mereka berdua sudah duduk di salah satu sudut di kantin. Sekedar berbincang dan menyantap beberapa camilan. Aliya lebih banyak diam siang itu, sementara Yovie dengan leluasa menikmati wajah tenang Aliya yang seolah tak sadar bahwa pria yang ada di depannya itu terus menatap wajahnya lekat-lekat.

"Al, kamu kenal Opick nggak?" Yovie melemparkan sebuah pertanyaan singkat yang membuat Aliya hampir tersedak karena saat itu ia sedang menggelontorkan air dari botol minum ke dalam mulutnya.

"Opick. Katanya anak dari kota kamu juga. Kamu kenal?" Yovie kembali mengulangi pertanyaannya ketika Aliya masih terdiam karena perasaan terkejut yang tak Yovie sadari.

"Emm, Opick yang mana ya? Soalnya ada banyak yang punya nama Opick di kotaku," jawab Aliya setengah terbata. Bohong. Aliya tahu benar siapa yang Yovie maksud.

"Opick. Dia anak olahraga. Kenal?" kali ini pertanyaan Yovie terasa seperti mengejar.

"Ngg.. Nggak. Nggak kenal kalo yang itu." Gugup, Aliya menjawabnya. Ia kembali berbohong dan berharap Yovie tidak menangkap tanda-tanda kebohongan dari Aliya.

"Ohh... Aku penasaran aja sama orangnya. Dia yang ngrusak hubungan Benny sama pacarnya. Mereka putus gara-gara bocah itu."

Aliya tahu persis siapa yang Yovie maksud. Benny, Aliya sudah tahu seperti apa sosok Benny. Pria yang tempo hari ditanyakan Opick. Pria yang sempat menjalin hubungan dengan Riana, perempuan yang kini tengah dekat dengan Opick. Dan ternyata, belakangan Aliya tahu bahwa Benny adalah sahabat dekat Yovie. Aliya sendiri pusing dengan kisah cinta yang rumit antara Opick, Riana dan Benny. Kalau perasaannya pada Opick ikut terhitung, mungkin namanya juga akan masuk dalam pusaran cinta yang rumit bak benang kusut antara mereka bertiga. Kemudian ia merasa dunianya menyempit, kecil, tidak lebih lebar dari isi pikiran dan otaknya. Aliya kenal dengan Opick dan Opick dekat dengan Riana, sementara Riana adalah mantan kekasih Benny, dimana Benny adalah sahabat Yovie dan kini Yovie sedang dekat dengan Aliya. 

***

Sepanjang perjalanan pulangnya menuju rumah kos, Aliya terus memikirkan rantai kisah cinta yang rumit antara mereka. Aliya merasa secara tidak langung terjebak dalam jalinan kisah yang terangkai rumit antara mereka. Kisah yang Aliya sendiri tidak bisa menentukan dan memilih bagaimana akhirnya. Apakah ia  akan tetap mempertahankan perasaannya pada Opick, sahabat yang mungkin tidak akan menaruh perasaan yang sama dengannya atau beralih pada Yovie yang kini sejarak bintang dan bulan, terlihat dekat dan saling berhubungan di mata manusia lainnya, tapi jauh pada kenyataannya. Bukan Yovie yang jauh, ia terus berusaha mendekati Aliya, tapi Aliya seolah bergeming. Enggan memberikan pertandanya pada Yovie.

Aliya tahu, Yovie adalah sosok luar biasa. Ia nyaman berada di dekatnya, tapi perasaan ini berbeda dengan perasaan yang sebelumnya ia rasakan pada Ditya atau perasaannya pada Opick yang tak terungkapkan dan tak dapat ia definisikan apa namanya. Ia berharap, kedekatannya dengan Yovie dapat menyamarkan perasaannya pada Opick atau malah ia musnahkan dari ruang-ruang hatinya. Tanpa ia sadari, semakin ia mencoba menjauh, semakin ia dekat dengan orang yang dulu pernah membuatnya merasakan rasanya mengagumi seseorang dari kejauhan. 

Seperti sore ini, dua makhluk yang sama-sama saling tidak dapat meraba perasaannya dan terjebak dalam hubungan bernama 'sahabat' itu, menghabiskan sepanjang sore mereka untuk menonton film di bioskop. Sebenarnya Aliya sudah menonton film yang sama minggu lalu, bersama Yovie. Tapi entah kenapa, ia tidak bisa menolak ajakan Opick. Sosok yang justru belakangan ini semakin lekat dekat dengannya, meskipun mereka sama-sama dekat dengan seseorang yang sebenarnya juga memiliki perasaan yang serupa seperti apa yang mereka saling rasakan. Aliya dan Yovie, sementara Opick dengan Riana.

"Boy, gimana nih kelanjutan kisah kamu sama Riana?" tanya Aliya sambil menyendok sepotong tomat dari piringnya dan melahapnya sebagai makanan penutup. Usai menonton film, mereka memutuskan untuk mengisi perut mereka yang sudah protes sejak sebelum mereka masuk bioskop tadi. Area food court menjadi tempat pilihan bagi mereka untuk mengisi perut dengan seporsi nasi goreng, makanan favorit Aliya.

"Nggak tau, Al. Aku bingung sama perasaan dia ke aku. Kadang-kadang aku ngerasa ada harapan, tapi kadang-kadang dia kayak nggak merespons sinyal aku. Padahal dia udah putus sama Benny. Udah jelas-jelas available. Tapi kayaknya dia nggak ada reaksi. Ngejar dia itu kayak ngejar sesuatu yang nggak pasti, nggak jelas. Capek, Al," jawab Opick. Sendu. Putus asa, Itu ekspresi yang Aliya tangkap ketika Opick menjawab pertanyaannya.

"Mending aku ngejar yang pasti-pasti aja, kayak kamu mungkin."

Aliya hampir menumpahkan jus jeruk dari dalam gelas yang akan ia minum ketika mendengar Opick mengatakan kalimat singkat yang membuat Aliya terkejut. Ia merasa hari ini adalah hari penuh kejutan baginya. Setelah pertanyaan Yovie di kantin siang tadi, kini giliran pernyataan Opick yang membuatnya merasa seperti sedang diuji kesehatan jantungnya, yaitu dengan mendengarkan hal-hal tak terduga yang mengagetkannya.

Masih belum selesai ekspresi kaget dari Aliya, Opick mengakhirinya dengan tawa khasnya. Ia tergelak mendengar perkataan spontannya pada Aliya. Berharap tawanya bisa menyamarkan apa yang sebenarnya ia rasakan dan membuatnya seolah-olah ia sedang bercanda. 

"Kayaknya kalo sama kamu, aku nggak perlu capek-capek ngejar, Al. Ada juga kamu yang ngejar aku. Nggak inget waktu SMP gimana kelakuan kamu nguntit aku? Inget banget waktu itu kamu masih mini, pendek kayak kurcaci, ngikutin aku pulang dan naik bis yang sama. Aku tau, Al. Tau banget!" Kali ini tawa Opick meledak. Mungkin jika ia tidak sedang berada di keramaian, ia sudah tertawa lebih keras sambil mengguling-gulingkan badannya di lantai.

Wajah Aliya merah padam. Malu. Kesal. Semua tergambar jelas dari wajahnya. Ternyata selama ini Opick sadar bahwa ketika SMP, Aliya pernah menjadi pengagum rahasianya. Mengikuti rute pulang Opick, mengawasi Opick dari jauh dan mencari tahu segala sesuatu tentang Opick seperti agen mata-mata yang mengintai sasarannya. Dan kebersamaan mereka sepanjang sore itu dihabiskan dengan bernostalgia mengenang masa putih-biru mereka. 

Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang terus mengamati mereka berdua dari kejauhan dengan tatapan dingin seolah ingin meruntuhkan seisi food court termasuk dua orang yang diamatinya. Mengintai mereka dari sudut yang tak mereka ketahui dengan segenap perasaan kecewa, menjelma menjadi bara yang membakar dan berkecamuk dalam hatinya. Kemudian sosok itu merogoh ponsel dari saku celananya, menuliskan sesuatu dalam pesan singkat dan mengirimkannya. Satu pesan terkirim. Kemudian ia menulis lagi, kali ini jauh lebih singkat dari yang dikirimkan sebelumnya, kemudian menekan tombol 'Send' dengan keras dan sepenuh tekanan, seolah ia ingin melakukan hal serupa pada dua objek yang dipandangnya.

Bersambung...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar