Kamar dengan cat berwarna krem pucat itu nampak rapi dengan berbagai perabot seadanya yang ditata sedemikian rupa agar sang penghuni merasa nyaman. Lemari dua pintu, meja belajar, rak sepatu, kasur dan sebuah televisi kecil nampak berjajar rapi. Kamar itu masih sepi. Sang penghuni belum kembali sejak meninggalkan ruangan ini pagi tadi. Beberapa saat kemudian, saat sinar matahari masih bersinar dengan sepenuh cahayanya, derap langkah kaki memecah keheningan, menapaki anak-anak tangga menuju lantai dua dan berjalan menuju kamar yang terletak paling pojok tersebut. Aliya, sang pemilik kamar, muncul dari balik pintu dengan wajah lelah yang tergurat jelas. Ia melemparkan tubuh mungilnya di atas kasur, membiarkan matanya menatap langit-langit kamar yang kosong.
Bayangannya beralih pada percakapannya dengan Opick yang baru saja lewat. Hanya satu kalimat pertanyaan saja dari Opick, tapi sudah cukup mengguncangkan hatinya. Satu topik yang terus Aliya hindari tapi begitu ingin Opick bahas. Ditya. Hampir tiap percakapannya dengan Opick, ia selalu menyebut nama Ditya, sekedar menanyakan kabar hubungan Aliya dengan Ditya atau lebih seringnya mendesak Aliya agar segera tegas memberikan keputusan akan hubungan mereka. Aliya tidak mengerti apa yang membuat Opick begitu bersemangat mendesak Aliya untuk segera mengakhiri hubungannya dengan Ditya. Mungkin sebagai sahabat, Opick tidak tega melihat Aliya terus terluka dengan sikap dingin Ditya, pikir Aliya. Bagi Opick, sikap Aliya yang terus mencoba bertahan di tengah hubungannya dengan Ditya yang sudah tidak harmonis lagi dipandang sebagai suatu kesia-siaan belaka. Memang. Hubungan Ditya dan Aliya tidak bisa dibilang sebentar. Setahun kebersamaan mereka, tinggal dalam kota yang sama namun tidak ada niat bagi Ditya untuk sekedar bersua dengan Aliya. Sekedar menghubungi lewat pesan singkat pun terbilang jarang. Sikap dingin Ditya pada Aliya seolah tak membuatnya mundur untuk terus mempertahankan hubungan mereka.
Terlepas dari obrolan siangnya dengan Opick mengenai Ditya, ada satu hal yang tak kalah mengusik pikirannya. Opick sedang dekat dengan seorang perempuan. Bukan Aliya. Tapi perempuan lain. Perempuan yang sebenarnya telah memiliki kekasih. Entah mengapa ada sesuatu yang menekan hatinya ketika Opick mengatakan bahwa ia sedang dekat dengan perempuan yang belum ia ketahui siapakah orangnya. Aliya ragu, tidak mungkin perasaan yang muncul ketika ia masih berseragam putih biru itu muncul kembali. Perasaan yang tak terungkapkan karena ia tak berhasil dekat dengan orang yang semasa putih biru membuatnya merasa bodoh karena mengagumi orang yang sama sekali tak dapat ia sentuh. Dan beberapa waktu belakangan, Aliya menganggap bahwa perasaan itu hanya perasaan anak remaja jelang masa puber yang tak dapat dipertanggungjawabkan kedalaman rasanya. Kemudian ia mengubur angan dan mimpi-mimpi masa remajanya karena setelah ia melepas seragam putih birunya, ia tak lagi berjumpa dengan orang itu. Hingga saat rencana Tuhan mempertemukan mereka kembali beberapa tahun kemudian, dalam nuansa yang berbeda, dengan Opick yang semakin dekat bahkan bersahabat dengannya. Aliya masih tak mampu meraba perasaannya sendiri, tak mampu mengenali tanda apakah rasa yang sudah ia simpan sejak lama itu bisa muncul kembali.
Terlepas dari obrolan siangnya dengan Opick mengenai Ditya, ada satu hal yang tak kalah mengusik pikirannya. Opick sedang dekat dengan seorang perempuan. Bukan Aliya. Tapi perempuan lain. Perempuan yang sebenarnya telah memiliki kekasih. Entah mengapa ada sesuatu yang menekan hatinya ketika Opick mengatakan bahwa ia sedang dekat dengan perempuan yang belum ia ketahui siapakah orangnya. Aliya ragu, tidak mungkin perasaan yang muncul ketika ia masih berseragam putih biru itu muncul kembali. Perasaan yang tak terungkapkan karena ia tak berhasil dekat dengan orang yang semasa putih biru membuatnya merasa bodoh karena mengagumi orang yang sama sekali tak dapat ia sentuh. Dan beberapa waktu belakangan, Aliya menganggap bahwa perasaan itu hanya perasaan anak remaja jelang masa puber yang tak dapat dipertanggungjawabkan kedalaman rasanya. Kemudian ia mengubur angan dan mimpi-mimpi masa remajanya karena setelah ia melepas seragam putih birunya, ia tak lagi berjumpa dengan orang itu. Hingga saat rencana Tuhan mempertemukan mereka kembali beberapa tahun kemudian, dalam nuansa yang berbeda, dengan Opick yang semakin dekat bahkan bersahabat dengannya. Aliya masih tak mampu meraba perasaannya sendiri, tak mampu mengenali tanda apakah rasa yang sudah ia simpan sejak lama itu bisa muncul kembali.
Lamunan Aliya terbuyarkan ketika ponsel yang ada di dalam tasnya berdering singkat, tanda ada pesan yang masuk. Aliya merogoh saku depan tas yang masih tergeletak di sampingnya. Buru-buru dibukanya kunci ponsel, berharap itu pesan dari Ditya. Sudah tiga hari ini orang yang mulai ia kenal di akhir masa-masa SMAnya tersebut tidak menghubunginya. Sejenak dahi Aliya mengernyit. Pesan dari nomor baru. Siapa? Aliya membuka pesan tersebut dan membacanya.
Hai! Kok tadi di kampus duduk sendirian aja. Nungguin siapa, Neng?
Aliya merasa tidak mengenal nomor tersebut. Orang ini pasti tidak jauh dari sekitarnya, pikir Aliya. Darimana orang ini tahu nomornya tapi Aliya tidak mau ambil pusing. Yang ia rasakan saat itu hanya lelah dan ia ingin memejamkan mata barang sekejap saja.
***
Aliya mulai menikmati rutinitasnya sebagai mahasiswa, mulai mengenal teman-teman sekelasnya dan beberapa teman dari kelas lain. Kesibukannya sebagai mahasiswa mulai mereduksi pikiran dan bayangan tentang Ditya. Lama-lama ia mulai terbiasa dengan sikap dingin Ditya. Hanya saja hingga kini, ia masih belum memiliki keberanian untuk mengakhiri hubungannya. Satu lagi yang mengalihkan pikiran Aliya dari Ditya adalah kedekatannya dengan Opick. Meskipun setiap kali berbincang dengannya, Opick lebih sering curhat mengenai Riana, perempuan yang tempo hari diceritakan Opick sebagai gebetan. Dan satu lagi, sosok misterius yang tempo hari menghubunginya lewat pesan singkat, semakin sering mengirimkan pesan-pesannya. Lewat apa yang diutarakan sang pengirim pesan tersebut, Aliya semakin yakin bahwa orang itu tidak jauh dari Aliya. Orang itu memperhatikan setiap gerak-gerik Aliya di kampus.
Sore itu Aliya duduk di balkon kos-nya. Menikmati rintik-rintik hujan yang sedari siang tadi tak kunjung berhenti. Aroma tanah basah yang terguyur hujan menyuguhkan kesegaran baginya. Suasana sepi di jalanan depan kosnya mendadak terpecahkan oleh gelegar suara knalpot motor yang terasa tidak asing di telinganya. Opick, batin Aliya. Ia kemudian bergegas menuruni tangga, membuka pintu gerbang dan mendapati Opick basah kuyup, berkendara tanpa jas hujan yang membalut tubuh atletisnya.
"Hai Kunyil Kucil! Ada makanan nggak? Laper nihhh..." sapa Opick ceria sembari melepas jaket kumalnya yang basah. Dalam keadaan basah pun jaket tersebut makin terlihat kumal.
"Jadi kamu kesini cuma mau minta makan nih? Kamu kira kos-an aku ini warung makan," balas Aliya sewot. Aliya tahu, bukan tanpa alasan Opick datang ke kosnya. Bukan suatu hal yang mungkin, Opick mendadak datang ke kosnya tanpa alasan atau hanya sekedar berbasa-basi. Pasti ada hal yang ingin diceritakannya.
"Habis darimana kamu? Kok kayaknya hepi banget gitu?" tanya Aliya.
"Habis jalan-jalan sama Riana," jawab Opick dengan nada gembira. Seolah-olah itulah satu-satunya hal yang membawanya datang ke kos Aliya. Bercerita dengan bangganya bahwa dia baru saja melakukan kencan pertama dengan sosok perempuan yang sedang didekatinya.
"Oh," sahut Aliya singkat. "Jadi kamu ke sini cuma mau cerita soal ini?"
Opick tertawa seolah ucapan Aliya itu baru terlontar dari mulut seorang pelawak yang sedang melucu. "Kamu kenapa sih, Al? Kok kayaknya sensi banget. Padahal aku belum sampai ke poin pentingnya lho."
"Jadi poin pentingnya apa nih?"
"Kamu udah cari tahu soal Benny belum?"
"Penting banget ya buat kamu? Kenapa kamu nggak cari tahu sendiri aja," sahut Aliya kesal. Belakangan Opick terus meminta Aliya mencari tahu soal Benny, orang yang katanya satu angkatan dan satu jurusan dengannya, tapi sampai sekarang pun juga tak pernah Aliya tahu sosoknya.
"Aku capek. Tugasku juga masih banyak yang belum aku kerjain. Aku naik ke atas dulu ya. Kamu kalo mau pulang, pulang aja." Aliya berlalu meninggalkan Opick yang masih terpaku, bertanya-tanya apa yang membuat Aliya belakangan ini begitu sensitif dengan setiap perkataan yang diucapkannya. Aliya sendiri juga tidak tahu apa yang membuatnya begitu malas setiap kali Opick menyinggung soal Riana dan segala hal yang berkaitan dengan perempuan itu.
Kamar ukuran 3x3 meter itu kembali menyambut Aliya yang masuk dengan langkah gontai. Diambilnya ponsel yang tergeletak di meja. Pesan singkat lagi. Dari nomor misterius yang sama yang tempo hari selalu mengirimkan pesan untuknya. Entah apa yang membuat Aliya kemudian tergerak untuk mencari tahu siapa orang itu. Aliya kemudian ingat secarik kertas berisi nomor-nomor 40-an mahasiswa di kelas yang dibuat beberapa hari lalu dan kemudian dibagi-bagikan kepada sesama teman sekelas agar mudah jika ada tugas dan ingin menghubungi satu sama lain. Aliya begitu yakin, pemilik nomor itu berada satu kelas dengannya.
Ia mengambil tas ransel hitamnya, kemudian meraih binder dan mengambil kertas yang terselip di antara kertas-kertas yang ada di binder tersebut. Dipindainya sekilas daftar nama dan nomor yang tertera dari urutan abjad paling awal. Hingga urutan nama menunjukkan huruf 'S', tidak ada tanda yang mengisyaratkan bahwa pemilik nomor itu ada di kelasnya. Tidak ada nomor yang sama dengan nomor yang tempo hari ia abaikan, tapi semakin lama semakin membuatnya penasaran dengan siapa pemiliknya. Siapa yang ada di balik misi pengintaian rahasia yang menjadikannya sebagai obyek pengamatan. Hingga akhirnya ia menemukan nomor dengan susunan sama yang selama ini memunculkan satu pertanyaan besar dalam benaknya, siapa orang itu. Nomor yang ia temukan di urutan paling akhir. Yoviansyah Primadana...
Bersambung...
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar