Jadi menurutmu, apa kriteria orang yg bisa dibilang normal di kehidupan sosial yg always-judging ini?
21-22 fokus skripsi lalu wisuda
22-23 cari kerja
23-25 fokus kerja dan cari jodoh
25-26 mantapkan hati dgn calon pasangan
26-27 menikah
27-28 punya anak pertama
28-30 get promoted
30-31 punya anak kedua
Dst sampai maut menjemput
Inikah standar hidup normal menurut sebagian besar orang, terkhusus Indonesian? Menginjak usia 25, kalo udah sukses di dunia kerja, when you can earn money higher than your parents, manusia-manusia di luar sana nggak henti-hentinya nanya: kapan kawin? Kapan nikah? Kapan nyebar undangan? Si itu udah nikah loh, kamu kapan nyusul? Si ini kok nggak diajak lagi? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terasa mengganggu, apalagi kalo kamu wanita, udah menjelang kepala tiga.
Wahai para penanya yang budiman, sesungguhnya kami tidak merasa terganggu dan tertekan dengan status lajang yang kami sandang, pun juga tak terlalu kesepian, tapi sejujurnya pertanyaan kalianlah yang menjadi tekanan. Seolah-olah pernikahan dan goals lainnya adalah hal yang patut diperlombakan dan diperbandingkan. Ya misal yang lari duluan yang dapet pasangan, saya juga pengennya lari duluan, sekenceng-kencengnya, kalo perlu nyewa kereta Shinkansen atau pinjem kekuatan The Flash. Intinya, kami juga ingin menikah dan punya kehidupan normal seperti yang lainnya. Tapi apalah daya kalo ibarat lari, Tuhan sebagai sang juri kasih finish saya lebih jauh dari yang lainnya? Saya bisa apa? Hanya pasrah dan berdoa karena perkara jodoh dan rezeki (rezeki dikasih anak, rezeki dikasih kerja dan rezeki lainnya) adalah hal di luar kendali kita.
Ini yang perlu diluruskan dari lingkungan sosial kita. Bahwa tidak semua orang punya kesempatan untuk segera dapat pasangan dan momongan di usia-usia standar yang diharapkan. Rata-rata, banyak yang di usia 25-27 mampu dengan bahagia mengakhiri masa lajang and live happily ever after. Tapi ada segelintir yang jangankan menikah, membayangkan mau nikah sama siapa aja nggak tau dan pernikahan adalah hal yang jauh dari genggaman, belum lagi nol koma sekian persen populasi yang mesti mengecap pahitnya kegagalan di saat rekan-rekan lainnya udah sibuk mandiin anak atau honeymoon sama pasangan. Sungguh, pertanyaan horror yang sebenernya udah masuk ranah personal question tentang “kapan menikah?” yang niatnya hanya sebagai basa-basi untuk membuka obrolan itu adalah pertanyaan tekanan yang membuat yang ditanya makin nggak ngerti lagi mesti jawab apa. Kadang bahkan pertanyaan sama yang meningkat frekuensi ditanyakannya membuat seseorang seringkali merutuki dan menyalahkan diri sendiri, apa yang salah sama diri dan sifatnya? Sampai-sampai cari pasangan aja susah banget. Apa bener nggak ada yang mau? Kalau memang belum waktunya, mau cari dimanapun juga kan nggak akan dapet. Dan sejujurnya kami tidak ingin menikah hanya untuk membungkam pertanyaan basa-basi yang lama-lama jadi kebiasaan mengusik ini. Jadi lewat tulisan ini, siapapun yang membacanya, semoga kalian berhenti dengan entengnya menanyakan “kapan kawin?” Karena pertanyaan singkat yang meskipun kadang dijawab sambilalu ini juga jadi beban pikiran kami.
Intinya mari saling menghargai bahwa setiap orang punya waktunya sendiri-sendiri. Berhenti menanyakan pertanyaan basa-basi yang sebetulnya membuat yang ditanya makin merasa depresi.
Mengutip pembicaraan saya dengan salah seorang teman bahwa tidak ada standar normal di kehidupan sosial. Cuman ya persepsi orang aja yang menyamaratakan pencapaian seseorang dengan orang lain yang bikin kita seolah tidak mampu dan jauh tertinggal, padahal tiap orang punya waktu terbaiknya masing-masing. Jadi, mari sama-sama bijak untuk tidak menanyakan pertanyaan basa-basi terkait hal-hal personal yang sesungguhnya tidak layak untuk ditanyakan.
Ndang Rabi
BalasHapus