Aku adalah rumah
Tak megah tak juga mewah
Sederhana saja
Berdiri dalam wujud mungil di antara hamparan sawah
Sudah beberapa tahun aku tak berpenghuni
Beberapa orang datang silih berganti
Hanya sekedar mengamati
Atau masuk sebentar untuk kemudian pergi lagi
Ada yang datang mengetuk
Ada pula yang hanya sekedar menumpang duduk
Bagiku tak mengapa
Toh aku hanyalah rumah sederhana
Kau tau apa yang kurindu?
Adanya penghuni yang masuk dan tinggal lama di dalamku
Penghuni yang mau tinggal dalam rumah sederhana dan segala kekurangannya
Dan mampu memperbaiki serta membuatku menjadi lebih baik lagi
Beberapa datang dengan niatan dan harapan
Namun baru menjejakkan kaki di teras saja sudah menyerah
Beberapa mampu tinggal sementara
Lalu kemudian lari dengan meninggalkan jejak kerusakan, luka dan lara dimana-mana
Bukan salah mereka
Mungkin harapanku yang melambung terlalu luar biasa
Atau mungkin karma
Karena tak jarang pula kuusir mereka yang datang dengan sukarela, hanya karena aku merasa bukan merekalah yang layak jadi pemilik rumah dan segala isinya
Tapi aku masih percaya
Akan datang seseorang yang benar-benar akan bertahan lama
Mungkin untuk selamanya
Yang tak kan berkeberatan untuk menghabiskan separuh hidupnya dalam buai kemungilan rumah sederhana
Dalam hembusan semilir angin tengah sawah
Dan di tengah terik mentari kala siang
Dengan segala daya upaya untuk memperbaiki dan menerima...
Selasa, 08 Desember 2015
Kamis, 11 Juni 2015
Analogi Rumah dan Hati
Karena hati kita seperti rumah dimana satu dua atau
banyak orang pernah singgah. Mereka datang silih berganti, kadang hanya sekedar
mengetuk, ada pula yang sempat masuk meski hanya beberapa saat, ada pula yang
hanya memandangnya dari luar saja kemudian berlalu tanpa sempat mampir. Entah
karena hanya sekedar lewat atau memang enggan untuk sekedar berkunjung tanpa
sempat masuk karena apa yang nampak di luar tidak sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Atau mungkin karena kita, sang pemilik rumah tidak cukup ‘welcome’ untuk menyambut dan menerima
kedatangannya. Kadang mereka tinggal sebentar, kemudian pergi karena setelah
tinggal selama beberapa hari, ada sesuatu yang membuat mereka tidak merasa
nyaman atau tidak cocok dengan suasana yang kita suguhkan.
Kadang ada seseorang yang sebenarnya berniat datang dan
mengetuk pintu rumah kita, kemudian menyerah dan pergi tanpa sempat masuk dalam
rumah karena kita, sang pemilik rumah tidak mau membuka pintu untuknya,
meskipun hanya sekedar mempersilahkannya untuk melihat-lihat saja. Mungkin
karena kita hanya melihat dan menilai sekilas dari balik jendela, bahwa orang
yang mengetuk tidak sesuai untuk tinggal di rumah kita. Kadang ada yang sempat
masuk namun kemudian kita memintanya untuk pergi karena ia tidak cukup baik untuk
tinggal dalam rumah kita. Bukannya merawat dan menjaga, tetapi malah merusak
dan tak mau memelihara. Ada yang sempat tinggal lama, namun kemudian ia pergi
karena telah menemukan rumah baru yang lebih luas, besar, mewah atau karena
dekat dengan tempatnya bekerja, atau karena tuntutan lain yang membuatnya harus
pindah dari rumah kita.
Kadang rumah kita kotor. Penuh dengan sisa jamuan atau
hiasan bersama tamu sebelumnya. Kadang hal itu yang membuat orang lain yang
berniat singgah, jadi mengurungkan niatnya untuk sekedar masuk bahkan hanya
sekedar mengetuk. Kadang kita perlu membersihkan rumah kita dulu. Dari
sisa-sisa makanan jamuan, foto-foto kebersamaan dengan tamu sebelumnya, dan
menghias serta merapikannya menjadi lebih baik, indah, segar dan baru lagi,
sehingga mereka yang akan atau sudah berniat untuk mengetuk pintu rumah kita,
tidak hanya berhenti pada sebatas mengetuk tapi juga mau masuk dan mungkin akan
berlama-lama tinggal di dalamnya.
Begitu pula hati. Sama seperti rumah yang kadang datang
dikunjungi. People come and go.
Orang-orang datang dan pergi. Ada yang singgah lama, ada pula yang hanya
sekedar lewat. Ada yang memang sengaja datang untuk mendekat, mengetuk dan
masuk. Ada pula yang iseng hanya lewat tapi kemudian berniat masuk. Dan ada juga
yang hanya melihat dari luar kemudian pergi lagi. Kadang ada orang yang berniat mengetuk pintu
hati atau sudah benar-benar masuk, namun kemudian pergi karena ia menganggap
kita, sang pemilik hati, tak cukup ramah menyambut, tak cukup terbuka membuka
hati kita untuk mereka yang sesungguhnya ingin masuk dan jadi penghuni hati
kita. Kadang ada yang berniat datang dan kemudian tinggal lama di hati kita,
namun kemudian pergi karena merasa tidak ada kecocokan atau kenyamanan ketika
bersama kita.
Kadang ada orang yang benar-benar berniat masuk dan
mengetuk pintu hati kita, namun kemudian menyerah karena kita tidak mau
membukakan pintu hati untuknya. Entah karena hanya dari pandangan sekilas atau
tampilan luar, kita tidak merasa cocok dengannya atau karena hal lainnya.
Kadang ada yang telah kita perkenankan masuk dalam hati, namun kemudian kita
harus memintanya pergi karena ia malah menyakiti dan melukai hati. Ada yang
tinggal lama di hati, namun kita harus merelakannya pergi karena mungkin ia
telah menemukan sosok baru yang lebih baik dan membuatnya lebih bahagia atau
karena hal-hal lainnya.
Kadang hati kita masih belum seutuhnya bersih dari kenangan masa lalu. Seperti rumah bekas
pakai yang ditawarkan untuk dijual namun tidak ada renovasi, furniture,
interior dan layout. Semuanya masih sama persis ketika penghuni lama
menempatinya. Bahkan terjadi kerusakan di sana-sini tanpa kita mau memperbaiki.
Begitu pula hati kita, kadang kita masih menyimpan bahkan dengan gamblang
memajang sisa kenangan orang yang telah pergi dari kita. Enggan menghapus,
membersihkan atau hanya sekedar meyimpannya rapi dalam tempat tersembunyi.
Kadang hal ini membuat orang yang ingin datang dan masuk dalam hidup kita,
kemudian pergi karena kita masih terbayang oleh kenangan masa lalu. Bahkan
kadang kita masih membiarkan luka hati dan rasa sakit hati terhadap mereka yang
telah pergi, menganga begitu saja dan membiarkannya terbuka dan tak mau
memperbaiki atau mengobati, seperti halnya kerusakan pada rumah yang sebenarnya
nyata dan terasa namun tetap kita biarkan dan tak kita perbaiki.
Sama seperti rumah bekas pakai yang akan disewakan atau
dijual, kadang ada calon penghuni yang siap membantu kita untuk membersihkan
rumah kita dari bekas barang-barang penghuni lama, memperbaiki kerusakannya,
atap-tembok-pintu-jendela dan perabotannya. Namun lebih seringnya, mereka
merasa tidak cocok dengan suasana rumah yang masih menyimpan kenangan penghuni
lama. Ibarat hati kita, kadang kita ingin ada orang baru datang dan masuk di
hati kita. Kemudian kita berbicara pada semua orang bahwa kita siap membuka
hati kita untuk orang lain. Namun ketika benar-benar ada yang mengetuk dan
berniat masuk, hati yang kita tawarkan masih belum benar-benar bersih dari
kenangan masa lalu, masih menyimpan dendam dan sakit karena luka yang
ditorehkan oleh yang telah berlalu, masih belum sepenuhnya ramah dan menerima
sesuatu yang baru. Kadang ada orang yang siap membantu kita untuk lepas dari
masa lalu, dengan segala daya dan upaya meyakinkan kita bahwa ia benar-benar
ingin memiliki kita dan akan menjaga kita sepenuhnya serta merubah segala cara
pandang kita yang lama sehingga kita mau menerima hal yang baru. Tapi lebih
seringnya mereka menyerah dan lebih baik datang pada hati yang telah siap
terbuka. Karenanya, sebelum kita pasang papan “sewa” atau “jual” di depan
rumah, ada baiknya kita bersihkan dulu rumah dari sisa kotoran penghuni lama
dan memperbaiki rumah dengan layout serta tatanan yang lebih baik lagi. Seperti
halnya hati kita, untuk menanti kedatangan seseorang yang baru dalam hati kita,
alih-alih berkata siap namun belum sesungguhnya membuka hati, lebih baik kita
bersihkan hati dari kenangan lama dan perbaiki diri jadi lebih baik lagi.
Sama seperti rumah, mungkin banyak orang yang datang dan
singgah kemudian pergi lagi dari hati kita. Ada yang mengetuk untuk kemudian
masuk lalu pergi. Membuka atau
menutup pintu hati, menyeleksi atau membiarkan saja mereka masuk dalam hati, membiarkannya
menyakiti atau mengusirnya pergi, menahannya untuk tetap tinggal atau merelakannya
pergi, semua pilihan itu tergantung pada kita. Kita adalah tuan dari hati kita,
sama seperti kita adalah tuan dari rumah kita sendiri. Membiarkan orang untuk
datang, masuk dan mengusir pergi adalah hak dan piihan kita.
Dan satu hal lagi, jika kita benar-benar ingin orang
baru datang dan masuk ke dalam hati kita, kita harus benar-benar telah lepas
dan bersih dari kenangan masa lalu. Kita harus benar-benar telah menutup luka
dan rasa sakit kita. Karena tidak mungkin kita biarkan tamu datang, masuk dan
tinggal ke rumah yang kotor serta belum sepenuhnya bersih. Karena tidak mungkin
kita biarkan orang yang kita inginkan untuk datang dan tinggal dalam hati kita,
namun hati kita masih kotor dan masih menyisakan terlalu banyak ruang untuk
masa lalu. Beruntung jika orang baru yang datang siap menerima, mengobati luka
dan mau membantu kita untuk move on.
Jika tidak, kitalah sendiri yang harus berjuang untuk membersihkan sisa
kenangan lama karena kitalah tuan dari hati kita sendiri, pilihan untuk
membersihkan atau membiarkannya tetap menjadi jamur dan parasit hati adalah
keputusan kita. Jadi, bersihkan dulu hatimu dari kenangan masa lalu dan perbaiki dirimu sebelum menyambut kedatangan yang
baru!
Minggu, 07 Juni 2015
Jodoh itu soal waktu. Kadang ia datang cepat, kadang lambat atau seringnya datang di saat yang tepat. Cepat lambat dan tepatnya kedatangan pasangan hidup kita tergantung Tuhan, Sang Dalang, Sutradara sekaligus penulis skenario hidup kita. Waktu kedatangan pasangan sudah diatur oleh-Nya. Jadi, kalau doa dan permohonan kita agar Tuhan mempercepat kehadiran pasangan hidup tak kunjung dikabulkan (entah karena belum waktunya atau Tuhan anggap kita belum siap), maka kita bisa mengubah doa kita, dari soal permohonan mengenai waktu agar kehadiran pasangan bisa dipercepat, menjadi tentang perubahan sifat dan sikap kita. Mungkin doa mohon dipercepat bisa diubah menjadi doa mohon kesabaran dalam menunggu dan doa memohon petunjuk untuk perbaikan diri menjadi lebih baik lagi, agar kita menjadi lebih siap dan pantas untuk menerima pasangan hidup yang merupakan anugerah yang Tuhan berikan untuk kita. Dan saya rasa Tuhan Maha Mendengar, Tuhan tak akan menolak mengabulkan permohonan kita untuk menjadi sabar dan menjadi pribadi yang lebih baik apabila kita memang benar-benar berniat untuk melakukannya, bukan sebatas doa tapi juga dalam tindakan. Karena tindakan adalah langkah kita sementara doa adalah kompas yang akan menuntun langkah kita menuju tujuan...
Selasa, 26 Mei 2015
Tragedi Potong Poni
Dan terjadi lagi, tragedi potong poni yang terulang kembali. Semacam kisah
lama yang saya tulis kembali dengan versi judul yang berbeda, tapi intinya
sama. Berawal dari poni yang mulai memanjang menutupi dahi, meskipun nyaman
saya rasa dan saya pandang, tapi bagi sebagian orang, pemandangan poni
menggantung hampir menutupi mata sangat lah mengganggu. Akhirnya, berbekal bayangan
poni rapi menghiasi dahi, saya putuskan untuk memangkas rapi sebagian rambut
yang memanjang seperti korden yang menutupi mata. Tapi, seperti biasanya,
kadang bayangan dan kenyataan tidaklah sama. Apa yang kita harapkan kadang
tidak terjadi pada kenyataannya. Poni yang dipangkas terlalu pendek, sehingga
terlihat lucu jika dipandang. Bahkan terasa jauh lebih buruk daripada poni
panjang seperti tirai yang menutupi mata. Sungguh, kalo sudah begini,
mati-matian saya berusaha memperbaiki atau setidaknya menutupi kekurangan
panjang poni tersebut. Berjam-jam saya memandang wajah di kaca, menata rambut
sedemikian rupa, sisir sana sisir sini, belah pinggir, tengah, miring. Tapi hasilnya
tetap sama dan tidak memperbaiki bentuk poninya. Tetap aneh dan wagu! Kalo sudah
begini, rasanya pengen sembunyi sampai rambut benar-benar kembali seperti
semula. Seolah-olah setiap orang yang kita temui memandang aneh pada kita
(meskipun sebenarnya tidak seperti itu). Tapi saya percaya, sebulan atau dua
bulan lagi, poni ini akan menemukan polanya. Akan terlihat indah jika sudah
sedikit lebih panjang. Akan terasa pas jika sudah lama memanjang. Bukankah sebelumnya
tragedy potong poni pernah terjadi? Bahkan berkali-kali, dan lama-lama akan
terasa pas menggantung di dahi, meskipun butuh beberapa waktu untuk
penyesuaian.
Saya rasa begitu pula dengan kisah saya. Terjadi lagi tragedi dimana
saya harus kembali menghadapi kenyataan rumit nan pahit. Berjalan pada sebuah
jalinan yang nyaman sebenarnya, sungguh indah rasanya bisa kembali merasakan
perasaan ini. Namun pada akhirnya, tidak ada sesuatu yang abadi bukan? Perasaan
nyaman ini kadang juga harus diakhiri. Sama seperti poni yang mulai memanjang,
meskipun terasa nyaman dan pas di wajah, namun kadang kita harus memangkasnya,
demi poni yang lebih rapi, dalam hal ini, demi jalinan hubungan yang lebih baik
lagi. Kadang apa yang menurut kita pas
dan membuat nyaman, tak selalu bisa kita pertahankan. Ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan antara bertahan atau melepaskan. Pada akhirnya, ketika
kita memutuskan untuk melepas, kita harus menerima konsekuensi bahwa kita harus
memasuki fase baru, fase penyesuaian dimana kita harus melepaskan apa yang
membuat kita nyaman. Sama seperti ketika potong poni, meskipun kelihatannya
sepele, namun kehilangan bagian yang membuat wajah kita indah (menurut kita),
harus direlakan demi poni baru yang lebih rapi dan sedap dipandang meskipun
kita harus melalui fase penyesuaian bentuk wajah yang sedikit berbeda karena
potongan yang kependekan. Tapi ketika kita sudah mulai terbiasa menjalani hari
tanpa apa yang membuat kita nyaman, belajar menyesuaikan diri, maka percayalah,
keterbiasaan ini akan membuat kita menemukan hal baru yang mungkin akan bisa
me-replace atau menggantikan sesuatu yang nyaman yang telah kita lepaskan tadi.
Sama ketika kita percaya bahwa poni yang tadinya kependekan dan jelek, suatu
saat akan memanjang dan menemukan pola terbaiknya. Semoga!
Tragedi potong poni juga mengajarkan saya bahwa tidak ada yang abadi
di dunia ini, yang abadi hanyalah perubahan
itu sendiri. Perubahan poni dari panjang ke pendek kemudian panjang
lagi. Dari bentuk poni yang membuat wajah kita indah ke bentuk poni yang
merubah wajah menjadi baik lagi dan begitu seterusnya. Sama seperti bahagia
yang datang sebentar, kemudian berubah menjadi kesedihan dan kemudian bahagia
muncul lagi. Sama halnya dengan ketika kita mendapatkan sesuatu kemudian
kehilangannya dan menemukan lagi, entah dengan sesuatu yang sama atau sesuatu
yang baru yang lebih baik lagi. Kemudian saya teringat ucapan Andi Warhol “I’m really afraid to be happy because it
never lasts”. Saya setuju kata-kata Warhol, perasaan senang tidak akan
bertahan lama, maka nikmatilah selagi bisa dan berpikirlah bahwa itu tak akan
bertahan lama sehingga kita tidak akan terlalu larut dalam perasaan yang hanya
sesaat. Sama halnya dengan senang, kita juga harus percaya bahwa kesedihan yang
kita alami juga tidak akan berlangsung lama. Suatu saat nanti, entah dalam
waktu yang lama atau hanya sesaat, bahagia akan segera datang dan jika memang
telah tiba waktunya, nikmatilah! J
Rabu, 29 April 2015
TRAVEL LOG
PARI-DISE : ‘A LITTLE
PARADISE’ IN THE NORTH JAKARTA
Catatan Perjalanan ke Pulau
Pari – Kepulauan Seribu Selatan
Jakarta, Sabtu pagi. Langkah kaki atau lebih tepatnya
laju mobil angkot warna biru muda yang kami tumpangi ber-tiga-belas (sebuah
angka yang menurut mereka mengakibatkan kesialan namun syukurlah tidak
berpengaruh apa-apa bagi rombongan saya, dari awal berangkat hingga kembali ke
kosan), membawa kami menuju utara Jakarta. Setelah sempat berputar-putar
menyusuri jalanan Jakarta yang lengang (mungkin karena weekend dan hari masih
terlalu pagi untuk beraktivitas di akhir pekan), dengan bantuan GPS, sampailah
kami di Pelabuhan Muara Angke. Aroma tak sedap menyergap hidung kami. Paduan antara aroma ikan segar, ikan tak
segar, tumpukan sampah, tanah basah (becek –red), asap kendaraan yang lalu
lalang dan (mungkin) keringat nelayan serta ratusan manusia yang beraktivitas
di lingkungan Muara Angke. Spontan tangan kami menutup satu-satunya indera yang
membuat kami menghirup paduan aroma yang tak biasa.
Ready to go! Pari Island! |
Kontras dengan suasana jalanan yang lengang, suasana di
Muara Angke dan sekitarnya mulai riuh dengan lalu lalang kendaraan dan lautan
manusia yang berjejal. Pemandangan kontras mulai terlihat, perpaduan antara
nelayan lokal dan pedangang ikan dengan baju lusuh dan gerobak pengangkut ikan
yang terbiasa dengan aroma dan suasana Muara Angke versus wisatawan lokal
dengan pakaian ala liburan serta tas ransel bekal menginap sehari semalam di
pulau tujuan, membaur dalam padatnya pelabuhan nelayan dan tempat pelelangan
ikan di Utara Jakarta itu.
Ya, Muara Angke adalah langkah pertama kami dan ratusan
pelancong lain menuju pulau-pulau di gugusan Kepulauan Seribu. Ratusan orang
telah menanti agen travel mereka di meeting
point yang biasa ditetapkan oleh travel
agent untuk menjemput dan mengarahkan wisatawan menuju ke pulau tujuan
masing-masing. Pom bensin menjadi pusat para wisatawan untuk turun dari
kendaraan masing-masing, sebelum berjalan ke tepi pelabuhan menuju ke
kapal. Seorang petugas dari agen travel
mengantarkan kami menuju pelabuhan. Lorong sempit menjadi jalan penghubung dari
daratan menuju pelabuhan. Setelah berjingkat melewati dua kapal terparkir dari
tepian, tibalah kami di kapal yang akan mengantarkan kami ke Pulau Pari.
Puluhan kapal nelayan dan kapal penumpang lainnya
bersandar di pelabuhan yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara tersebut. Mata
saya terpaku pada pemandangan air laut sekitar pelabuhan, hitam pekat dengan
sampah-sampah mengambang, tersuguh kontras dengan gedung-gedung bersih dan
tinggi menjulang yang berdiri tak jauh di sekitarnya. Tidak perlu mengutuk,
mungkin saya juga termasuk satu dari ratusan ribu bahkan jutaan masyarakat
Jakarta yang sadar atau tak sadar, langsung maupun tidak langsung, menyumbangkan
sampah-sampah yang akhirnya bermuara di Muara Angke.
All team! |
Setelah menanti satu jam, sesuai jadwal, kapal kami
bertolak dari pelabuhan, kala matahari sudah mulai tinggi dan terasa menyengat.
Kami memilih duduk di bagian depan kapal, meski sempat dilarang oleh kru kapal
dengan alasan keselamatan. Semilir angin mulai membelai kami, aroma air laut
terasa pekat tercium. Sekitar satu kilo dari pelabuhan, warna air masih hitam
dengan gelombang sampah yang mengapung. Selepas itu, laut biru sebagaimana
layaknya warna laut, mulai menyambut. Meski sesekali barisan sampah mengambang
di atas hamparan warna biru lautan. Kadang ‘mata-haus-pemandangan-indah’ kami
dihibur oleh tarian burung camar (atau entah apalah itu namanya) yang terbang
tipis di atas air, mengintai ikan-ikan kecil untuk dikonsumsi. Bahkan, di
tengah perjalanan, dua ikan kecil (entah apa juga namanya), berenang
melompat-lompat di atas air, sejajar dengan kapal yang kami tumpangi, seolah
mengajak kapal kami untuk balapan. Awesome!
Perjalanan hampir dua jam mengarungi laut di utara
Jakarta akhirnya berujung di dermaga Pulau Pari, tujuan akhir rombongan kami.
Warna biru toska air di tepian dermaga menyambut mata kami. Pulau seluas 94
hektar ini seolah terpagari oleh pohon-pohon hijau nan asri, membuat saya bertanya-tanya,
apa yang ada dan tersembunyi di dalamnya. Sedikit tidak yakin ada rumah-rumah
dan penduduk yang tinggal di sana. Bahkan sebelum ke pelabuhan, saya sempat
ragu, benarkah listrik dan jaringan seluler bisa saya dapatkan?
Welcome to Pari Island! |
Dan pikiran sempit saya yang memgira bahwa Pari adalah
pulau terpencil yang tak tersentuh listrik serta jaringan seluler terbantahkan,
saudara-saudara! Di balik rerimbunan pohon-pohon nan hijau berjajar memagar,
terdapat rumah-rumah penduduk sekaligus homestay tempat para wisatawan tinggal.
Tak perlu takut kepanasan seperti yang sebelumnya saya pikirkan karena rata-rata
homestay tersebut dilengkapi AC dan fasilitas MCK yang bersih, termasuk
homestay kami yang terletak sekitar 500 meter di sebelah utara dari dermaga. Bagi
yang tak bisa kehilangan sinyal ponsel, tak perlu khawatir, untuk beberapa
provider, sinyal yang ada cukup kuat di pulau ini. Udara di Pulau Pari juga
bersih, tidak ada kendaraan kecuali sepeda dan segelintir sepeda motor. Tidak
ada mobil, keberadaan mobil tidak akan diperlukan karena Pulau Pari terlalu
sempit untuk dikelilingi dengan mobil. Kami, wisatawan, pergi kemana-mana hanya
jalan kaki dan naik sepeda. Tak perlu takut jalan jauh atau bersepeda jauh,
jalanan di Pulau Pari hanya membentang dari ujung ke ujung dan hanya ada dua
jalan utama selebar sekitar dua meter dengan dasar susunan paving dengan
beberapa gang kecil sebagai penghubung antar dua jalan utama tersebut. Satu
jalan di tepi dermaga dan satu lagi di tengah desa. Pulau Pari juga telah
dilengkapi dengan fasilitas kesehatan berupa Puskesmas yang 24 jam siap
memberikan pelayanan kesehatan darurat.
Lelah dan penat kami sepanjang perjalanan terbayarkan
dengan suasana ala pedesaan. Bagi saya yang berasal dan tumbuh besar di desa,
suasana di Pulau Pari mengingatkan saya pada suasana kampung halaman.
Sederhana, tenang, akrab dan jauh dari hingar bingar. Such a great escape untuk
para pencari keheningan dan ketenangan yang terpaksa harus hidup dalam
keramaian *halaahh.
Pantai Pasir Perawan |
Setelah beristirahat sejenak sembari menyeruput welcome
drink berupa es kelapa muda, kami meneruskan perjalanan dengan bersepeda menuju
Pantai Perawan atau Virgin Beach. Bersepeda sekitar satu kilo ke arah timur
homestay, setelah sebelumnya membayar karcis masuk seharga dua ribu rupiah, kami
disambut dengan suguhan pantai pasir putih dengan air laut biru kehijauan serta
beberapa pohon bakau yang tumbuh menggerombol di beberapa bagian. Di pantai
ini, tersedia perahu kano dan perahu kayuh untuk mengelilingi atau mengunjungi
gugusan pohon bakau yang terletak tidak jauh dari pantai. Silahkan menghabiskan
sepertiga memori kamera kalian dengan foto-foto narsis di spot ini.
Tak cukup lama kami berada di Pantai Perawan, jelang
makan siang, kami kembali menuju homestay untuk menyantap hidangan makan siang,
istirahat sejenak untuk melanjutkan tujuan utama kami datang ke Pulau Pari –
SNORKLING!!
Ready for snorkling! |
Sekitar jam setengah dua siang, guide lokal kami telah
mempersiapkan peralatan snorkeling berupa kacamata, alat bantu pernapasan, life
vest dan lainnya. Ada sedikit kekhawatiran karena (honestly) saya tidak bisa berenang,
phobia air dalam jumlah besar dan takut kedalaman air. Dan sekalinya renang
langsung nyemplung ke tengah lautan! O-M-G! But I dare my self to face my fear.
Kalau bukan sekarang kapan lagi?!
Perjalanan menuju ke spot snorkeling kami tempuh dengan
kapal tradisional nelayan. Untuk melawan rasa takut, saya duduk di tepian kapal
menikmati semilir angin sembari menggantungkan kedua kaki saya di atas air
laut, membiarkan gelombang air sesekali menerpa kaki saya, sambil terkadang
berjingkat mengangkat kaki karena barisan sampah yang numpang lewat. Sempat
berhenti beberapa kali untuk mencari spot snorkeling, bahkan guide kami sempat
hampir memilih spot yang terdapat banyak sampah mengambang, akhirnya kami
sampai di spot yang cukup jauh dari keramaian orang snorkeling lainnya dan
tentunya aman dari barisan limbah plastik serta sampah lainnya.
Underwater! |
Satu persatu anggota rombongan mulai menjatuhkan tubuh
mereka ke kedalaman sekitar 3-5 meter. Saya, yang takut air dan tidak bisa
berenang, sempat bimbang, namun akhirnya, dengan segenap perjuangan melawan
rasa takut, saya jatuhkan diri saya ke laut biru. Sempat panik, dengan tubuh
mengambang, terbalik, timbul, tenggelam, melayang, dan tak sanggup mengontrol
diri. Akhirnya saya bisa mengendalikan
diri, menaklukkan rasa takut dan menikmati pesona bawah laut dengan hamparan
karang serta birunya kedalaman bawah laut. Sesekali mata kami terhibur dengan
puluhan ikan nemo yang berenang lalu lalang, apalagi apabila kami menggenggam
remah biskuit. Puluhan ikan akan datang mengerumuni. Jadi, bagi kalian yang
ingin foto bawah laut dengan kerumunan ikan nemo, bawalah biskuit sebagai umpan
untuk memancing kedatangan mereka.
Di antara puluhan ikan Nemo |
Puas menikmati pemandangan bawah laut, kami kembali ke
Pulau Pari dengan berbagai cerita dan ekspresi ketika ‘menenggelamkan diri’
untuk melihat secara langsung, keindahan dan apa yang ada di balik dalam dan
birunya lautan. Beberapa teman-teman bahkan melanjutkan untuk menikmati sensasi
terombang-ambing dengan banana boat yang ditarik cepat di atas laut. Namun saya
harus menghentikan kesenangan saya sejenak, saya harus kembali ke homestay lebih cepat karena tiba-tiba muncul bercak
merah panas membengkak di beberapa bagian kulit. Alergi! Padahal saya tidak
mengkonsumsi seafood sama sekali. Entahlah, mungkin air laut pun memiliki
pengaruh untuk memunculkan alergi. Satu lagi tips bagi kalian yang memiliki
alergi seperti saya, jangan lupa membawa obat anti alergi ketika berlibur ke
pantai atau daerah pesisir.
Sore hari, selepas mandi, kami bersepeda lagi menuju ke
arah barat, memasuki arena bangunan milik LIPI untuk menikmati panorama
matahari terbenam. Namun sayang, kami terlambat datang. Matahari sudah
terlanjur terbenam tanpa sempat kami mengabadikan momennya. Bahkan kami sempat
terjebak hujan deras selama hampir satu jam, pulang selepas Maghrib dengan
suasana gelap, menyusuri jalanan yang kiri kanan hanya terhampar pepohonan
serta semak rimbun. Untungnya kami tak sendirian, ada rombongan lain yang
pulang bersama kami karena juga menanti hujan reda.
Malam hari, setelah menyantap makan malam, kami kembali
bersepeda menuju Pantai Perawan untuk (kembali) makan dan menikmati suasana
malam di tepi pantai sembari menyantap sajian ikan dan cumi bakar. Suasana tepi
pantai yang tenang, berkumpul bersama teman-teman, dapat menjadi pertimbangan
bagi kalian untuk membawa gitar, mengisi waktu malam hari dengan bernyanyi atau
sekedar menikmati petikan gitar yang sayup terdengar di keheningan malam.
Sunrise di tepi dermaga |
Esoknya, jarang-jarang di hari Minggu saya bangun pagi.
Tapi demi sunrise di Pulau Pari, pagi-pagi sudah nongkrong di dermaga Pulau
Pari. Di sebuah gundukan tanah menyerupai bukit untuk melihat matahari terbit.
Agak lama menantikan sunrise, namun karena mendung, matahari baru terlihat
ketika sudah berada pada titik cukup tinggi. Namun penantian kami tak cukup
membosankan, kami sempat dihibur oleh gerombolan ratusan ikan kecil yang
bersama-sama melompat di atas air dengan ketukan konstan dan melompat
bersamaan, seolah laut adalah panggungnya, mereka artis penghibur yang
menunjukkan kebolehan dan atraksi spektakuler di hadapan penontonnya. Luar
biasa!
Kembali ke homestay, sarapan telah disajikan, mandi
kemudian guide membawa kami ke Pantai Bintang, yang juga merupakan tempat
penaangkaran biota laut, tidak jauh dari bangunan milik LIPI yang kami kunjungi
kemarin sore. Panorama di pantai Bintang sedikit berbeda. Selain karena ceceran
sampah di tepi pantainya, gundukan putih menyerupai karang (yang setelah
didekati ternyata gundukan pasir pantai) menghampar dengan latar pohon bakau. Seolah-olah
ada hamparan salju di tengah lautan nan biru. Warna biru muda lautan senada
dengan warna langit pagi itu yang juga biru, luas menghampar, seolah langit dan
laut menyatu dan hanya terpisahkan oleh segaris tipis cakrawala.
Pasir putih Pantai Bintang |
Usai melepaskan hasrat untuk bernarsis ria di tengah
hamparan pasir putih yang berkumpul di antara tepian laut biru yang tenang,
kami melanjutkan kayuhan sepeda kami. Karena perut kami sudah membunyikan alarm
kelaparan, kami pun mencari spot jajanan dan es kelapa muda untuk memenuhi
keinginan perut dan mulut. Jalan yang kami tempuh kali ini sedikit berbeda,
melalui jalanan setapak tanah di antara kebun dan rumah-rumah, kami dapat
memotret secara langsung bagaimana warga-warga di Pulau Pari menjalani
aktivitas pagi. Mata saya sempat berbinar dan terpaku selama beberapa detik
ketika menangkap pemandangan di sebuah halaman belakang rumah kayu nan
sederhana. Satu keluarga, bapak dan anak laki-laki seusia kira-kira sepuluh
tahun duduk semeja menikmati sajian sarapan pagi dan segelas teh hangat,
sementara ibu berdiri tak jauh dari mereka, menjerang air di atas tungku bata
untuk seduhan teh selanjutnya. Sungguh, tidak ada yang lebih damai dari ini,
hidup sederhana dengan segala keramahan alam dan suasana pedesaan yang tenang
serta tak jauh dari keluarga. Ketika jarak dan batas bapak ibu serta anak hanya
dipisahkan oleh meja kayu yang luasnya tak seberapa. Ketika kemudian saya sadar
bahwa mengais rejeki yang begitu banyak di perantauan dengan segala kemewahan
yang ditawarkan, tak kan ada artinya dengan kebersamaan bersama keluarga
meskipun dengan kesederhanaan.
Selesai menyantap sajian otak-otak dan kelapa muda, kami
kembali ke homestay untuk packing dan
persiapan kembali ke Jakarta karena kapal yang akan mengangkut kami tiba pada
pukul 12.00. menuju ke dermaga dengan wajah tak seceria ketika berangkat, kapal
yang akan membawa kami kembali telah bersandar sejak setengah jam yang lalu,
telah penuh sesak dengan manusia beserta kenangan akan keindahan dan kisah
sehari semalam di Pulau Pari. Kami memutuskan untuk duduk di bagian dalam,
meskipun sempit dan pengap, karena kami sudah tidak punya cukup tenaga untuk
berpanas ria apabila duduk di luar kapal.
Pukul 13.30, kapal kami telah bersandar di Pelabuhan
Muara Angke, masih dengan setting yang sama, gedung yang masih berdiri angkuh
di lokasi tak jauh dari pelabuhan kumuh yang mendadak dua kali lipat lebih
ramai karena kedatangan wisatawan dan kenangan serta kisah menarik di Kepulauan
Seribu. Wajah bahagia namun sendu, bahagia karena telah melewati weekend dengan
liburan asyik dan sendu karena harus kembali menghadapi rutinitas serta kesumpekan
Jakarta dengan tumpukan pekerjaan yang telah menanti. Namun begitu, Pulau Pari
telah menjadi great escape kami
selama sehari semalam, untuk sejenak melupakan beban pekerjaan dan menyatu
dengan kesederhanaan dan keramahan yang alam tawarkan...
***
Catatan :
Untuk perjalanan ke Pulau Pari, kami menggunakan jasa
travel dengan biaya Rp 340.000,- / orang untuk 13 orang. Semakin banyak orang
yang ada dalam rombongan, maka biaya yang kalian keluarkan akan makin sedikit.
Biaya tersebut sudah mencakup :
1.
Tiket kapal PP (Angke – Pari –
Angke)
2.
Biaya sewa homestay
3.
Biaya sewa sepeda untuk
transportasi keliling Pulau Pari
4.
Makan 3 kali (Siang – Malam –
Pagi)
5.
Sewa alat snorkeling dan kapal
menuju ke spot snorkeling
6.
Dokumentasi (foto bawah laut dan kegiatan
selama di Pulau Pari)
Belum termasuk :
1. Tip untuk guide lokal
2. Tiket masuk lokasi Pantai Pasir
Perawan dan Pantai Bintang (untuk masuk ke lokasi pantai, kalian hanya perlu
merogoh kocek sekitar Rp 1000,- s.d 2000,-)
3.
Uang untuk beli jajanan dan
keperluan lain yang tidak disebutkan di atas
Rabu, 25 Februari 2015
Hold On for Something Better
Kadang kita sering bilang, "saya ingin mencari tempat atau sesuatu yang lebih baik. Karena apa yang saya jalani sekarang terasa berat dan menyulitkan." Lalu, bagaimana kita bisa mendapatkan yang terbaik kalo baru dikasih cobaan segini aja udah nyerah? Yang terbaik tidak akan datang kalo kita belum menyelesaikan ujian yang sekarang. Dan Tuhan akan memberikan sesuatu atau tempat yang lebih baik, apabila Ia memandang sudah selesai waktu kita di tempat ini, sudah cukup ujian kita di sini. Intinya, yang terbaik akan datang jika kita terus berusaha. Mungkin, jika berusaha menjadi lebih baik itu sulit, setidaknya berusahalah bertahan dengan tempat atau sesuatu yang ada sekarang, hingga Tuhan berkata sudah saatnya kita beralih ke suatu tempat yang lebih baik. So, keep holdin' on! God always be with us!
Kamis, 19 Februari 2015
Lupa Berkaca!
Kadang kita lupa berkaca
Atau memang tak punya kaca
Atau sengaja menyembunyikannya
Ketika kita jatuh cinta
Kadang mati logika kita
Atau lupa punya logika
Karena kekaguman pada sosok yang kita cinta
***
Ya, kadang kita lupa berkaca ketika sedang jatuh cinta. Kita lupa siapa diri kita, kita lupa berkaca seperti apa diri kita dan lupa merefleksikan diri, apakah kita layak dan pantas untuknya. Kadang melambung harapan kita, tinggi tak menjejak daratan, dengan balon-balon harapan yang membawa kita terbang. Harapan yang muncul karena, ya tadi, kita lupa berkaca. Pura-pura lupa pada diri kita sendiri, lupa mengukur kemampuan diri sendiri, sejauh mana hal yang kita punya ini sanggup meraih sosok yang kita harapkan. Tidak, maksud saya berkaca di sini bukan hanya soal fisik semata atau perkara apa yang kita punya. Tapi juga diri kita seutuhnya, termasuk kebaikan dan keburukan yang ada di dalamnya, yang awalnya tak terungkap namun lama kelamaan akan tertangkap..
Kadang kita mendadak amnesia, bahwa karakter kita yang seperti ini tidak cocok untuk dia yang seperti itu. Atau tentang kisah Cinderella yang tidak akan menjadi sesuatu yang nyata, kita lupa apa yang ia miliki jauh di atas kita, dia lebih layak untuk mendapatkan yang terbaik. Karena kita tidak cukup baik untuknya. Apa yang kita punya tak sanggup mengimbangi apa yang ia miliki. Ya meskipun kita tahu, kadang cinta tidak mengenal kelas dan kasta, apa yang kau punya dan apa yang ku punya, atau seperti apa wujud dan rupa, seberapa jauh beda usia serta seburuk apa sikap dan sifatnya.
Pada intinya, untuk bisa menerima kegagalan sebuah hubungan, untuk bisa memahami kenapa orang yang kita cinta tidak membalas perasaan kita, salah satunya adalah dengan berkaca. Pantaskah kita untuknya? layakkah kita bersanding dengan dia? Sebandingkah kebaikannya dengan apa yang kita punya? Dengan begitu kita akan merelakannya pergi mencari yang terbaik untuknya, yang layak dan pantas bersamanya. Dan sebaiknya kita berkaca, mematut diri, merias diri merapikan apa yang kita miliki, untuk menerima berkah yang baik dan sebanding dengan apa yang ada dalam diri kita. Semoga!.
***
Selasa, 17 Februari 2015
Don't Hate Too Much, Don't Hope Too Much
Kejadian belakangan menyadarkan saya bahwa orang yang selalu kita pandang buruk, mereka yang kita anggap jahat, mereka yang diam-diam dalam pikiran kita, selalu kita anggap mencelakai kita, ternyata bisa berbalik begitu baik pada kita, membantu kita dengan sukarela tanpa kita minta dan menolong kita. Sungguh berbeda dengan gambaran negatif yang ada di benak kita.
Namun sebaliknya, orang yang kita anggap baik, yang selalu berbuat manis, yang seolah2 selalu ada ketika kita membutuhkan, bisa berubah menjadi orang yang mengecewakan, yang entah sengaja atau tidak, menyakiti hati kita, melukai perasaam kita.Yang dekat dengan kita, yang selalu kita suka, kita puja dan kita harapkan adalah orang yang berpotensi besar menancapkan luka dalam bagi kita. Sedikit saja sikap mereka mengecewakan kita, rasa sedih karena kehancuran harapan kita akan sangat terasa. Berbeda ketika orang yang begitu kita benci, kita pandang negatif, justru adalah orang yang pertama menolong kita ketika kita jatuh. Kita akan merasa malu pada diri kita sendiri, karena jauh dalam hati dan pikiran, kita pernah berpikiran buruk terhadapnya. Intinya, benci itu wajar, suka itu biasa. Kalau benci sekedarnya saja, kalau memuja seperlunya saja. Don't hate too much, don't hope too much, because that 'much' will hurt you so much...
Namun sebaliknya, orang yang kita anggap baik, yang selalu berbuat manis, yang seolah2 selalu ada ketika kita membutuhkan, bisa berubah menjadi orang yang mengecewakan, yang entah sengaja atau tidak, menyakiti hati kita, melukai perasaam kita.Yang dekat dengan kita, yang selalu kita suka, kita puja dan kita harapkan adalah orang yang berpotensi besar menancapkan luka dalam bagi kita. Sedikit saja sikap mereka mengecewakan kita, rasa sedih karena kehancuran harapan kita akan sangat terasa. Berbeda ketika orang yang begitu kita benci, kita pandang negatif, justru adalah orang yang pertama menolong kita ketika kita jatuh. Kita akan merasa malu pada diri kita sendiri, karena jauh dalam hati dan pikiran, kita pernah berpikiran buruk terhadapnya. Intinya, benci itu wajar, suka itu biasa. Kalau benci sekedarnya saja, kalau memuja seperlunya saja. Don't hate too much, don't hope too much, because that 'much' will hurt you so much...
Rabu, 04 Februari 2015
About Faith When You Decide to Fall
Saya bermimpi berdiri di tepi ngarai
Gemericik air sungai ratusan meter di bawah sana menggapai-gapai
Semilir angin lantas membelai
Saya melongok ke bawah
Di atas ngarai menjejak tanah
Apa jadinya jika saya jatuh?
Lalu saya rasakan tanah saya berpijak mulai runtuh
Sesaat kemudian, sayup terdengar suara riuh
Di bawah ngarai, saya melihat seorang menengadahkan tangan, siap menangkap saya yang hampir jatuh
Dia bilang, percayalah! Aku akan menangkapmu. Tak kan ku biarkan kau jatuh!
Tak ada waktu berpikir, saya pejamkan mata dan biarkan tubuh lunglai ini luluh bersama retakan tanah
Lepas bebas, luruh hanyut, desir jantung dan irama nafas
esaat menjelang gravitasi mutlak
mengempas saya ke dalam riak air sungai, sosok itu hilang bersama detak jantung yg mendadak berhenti, nafas saya tercekat sejenak sebelum terempas
Hanyut, hilang, lepas tapi tak bebas
Gelap...
Gelap yang menelan saya kembali ke atas
Kembali ke ngarai yang sama
Dengan setting dan suasana yang tak jauh beda
Hanya saja sosok yang berteriak dari bawah lah yang tak lagi sama
Namun tetap, ia meminta saya untuk terjun, jatuh dan mempercayakan tubuh saya padanya untuk direngkuh di bawah nantinya
Tapi semua tetaplah sama, tubuh saya menghempas riak air sungai, lalu masuk ke lorong gelap bawah sadar saya
Dan kembali pada setting yang sama
Begitu seterusnya
Hingga saya lelah jatuh
Saya lelah percaya
Pada apapun di bawah sana
Dan pada siapapun yang meminta saya untuk percaya dan menjatuhkan diri padanya
Saya tidak percaya bahwa kepercayaan bisa dipermainkan sedemikian rupa
Apakah saya yang terlalu mudah menaruh percaya? Atau mereka yang hanya ingin bermain-main dengan saya?
Entahlah, mungkin saya saja yang belum menemukan sosok yang bisa saya percaya
Yang bisa menepati janjinya
Dan siap menangkap saya ketika saya menjatuhkan rasa percaya saya padanya...
Gemericik air sungai ratusan meter di bawah sana menggapai-gapai
Semilir angin lantas membelai
Saya melongok ke bawah
Di atas ngarai menjejak tanah
Apa jadinya jika saya jatuh?
Lalu saya rasakan tanah saya berpijak mulai runtuh
Sesaat kemudian, sayup terdengar suara riuh
Di bawah ngarai, saya melihat seorang menengadahkan tangan, siap menangkap saya yang hampir jatuh
Dia bilang, percayalah! Aku akan menangkapmu. Tak kan ku biarkan kau jatuh!
Tak ada waktu berpikir, saya pejamkan mata dan biarkan tubuh lunglai ini luluh bersama retakan tanah
Lepas bebas, luruh hanyut, desir jantung dan irama nafas
esaat menjelang gravitasi mutlak
mengempas saya ke dalam riak air sungai, sosok itu hilang bersama detak jantung yg mendadak berhenti, nafas saya tercekat sejenak sebelum terempas
Hanyut, hilang, lepas tapi tak bebas
Gelap...
Gelap yang menelan saya kembali ke atas
Kembali ke ngarai yang sama
Dengan setting dan suasana yang tak jauh beda
Hanya saja sosok yang berteriak dari bawah lah yang tak lagi sama
Namun tetap, ia meminta saya untuk terjun, jatuh dan mempercayakan tubuh saya padanya untuk direngkuh di bawah nantinya
Tapi semua tetaplah sama, tubuh saya menghempas riak air sungai, lalu masuk ke lorong gelap bawah sadar saya
Dan kembali pada setting yang sama
Begitu seterusnya
Hingga saya lelah jatuh
Saya lelah percaya
Pada apapun di bawah sana
Dan pada siapapun yang meminta saya untuk percaya dan menjatuhkan diri padanya
Saya tidak percaya bahwa kepercayaan bisa dipermainkan sedemikian rupa
Apakah saya yang terlalu mudah menaruh percaya? Atau mereka yang hanya ingin bermain-main dengan saya?
Entahlah, mungkin saya saja yang belum menemukan sosok yang bisa saya percaya
Yang bisa menepati janjinya
Dan siap menangkap saya ketika saya menjatuhkan rasa percaya saya padanya...
Selasa, 13 Januari 2015
Benar atau Salah?
Menuangkan sekelumit obrolan malam saya dengan seorang teman beberapa waktu lalu. Bercakap-cakap mengenai 'sisi' dan 'sudut pandang', baik dan buruk serta salah dan benar...
Dia : Jadi begini, saya merasa banyak orang yang nggak suka sama saya. Kadang karena pikiran mereka itu, saya jadi mencap diri saya sendiri buruk, tidak baik, karena banyaknya orang yang nggak suka sama saya.
Saya : Kenapa begitu? Berapa prosentase orang yang nggak suka sama kamu?
Dia : Banyak.
Saya : Apa ada lebih dari 80% orang dari kehidupanmu yang tidak menyukaimu?
Dia : Nggak sih, paling hanya sekitar 10% atau 20% saja.
Saya : Nah, jadi gampangnya gini, dari sampel 10 orang di sekitarmu, hanya 1 atau 2 orang saja yang nggak suka. Saya pernah baca bahwa tidak masalah kalo ada yang nggak suka sama kamu, tapi kamu akan dikatakan bermasalah kalo 80% orang di kehidupanmu tidak menyukaimu. Agak sedikit rancu juga sih, bahwa salah benar dan baik buruknya kita ditentukan dari seberapa banyak orang yang suka atau nggak suka dan seberapa banyak orang yang bilang kita salah atau benar. Tapi begitulah sistem hidup kita. Saya berpikir bahwa benar dan salah itu adalah sebuah konsensus, kesepakatan kita bersama atau lebih tepatnya kesepakatan kebanyakan orang yang menentukan bahwa ini salah dan itu benar, ini baik dan itu buruk. Hal tersebut didukung dengan adanya aspek legal berupa peraturan yang mengesahkan perkara baik buruk dan salah benar. Contohnya mengenai orang yang mencuri. Sudah pasti dari kesepakatan kebanyakan orang dan dari aturan, hal tersebut adalah salah dan merupakan perbuatan yang buruk. Tapi apabila ditilik dari sisi lain, mungkin ia mencuri karena alasan untuk menghidupi diri dan keluarga. Begitu juga mengenai cap jahat seseorang. Mungkin bagi kebanyakan orang, ia dianggap jahat, karena kebanyakan orang berdiri dan memandangnya hanya dari kejauhan dan dari satu sisi yang menampilkan keburukannya. Sementara mungkin bagi keluarga atau orang terdekatnya, orang itu tetaplah baik karena mereka berdiri dekat darinya dan memandangnya dari berbagai sisi atau dari sisi baiknya.
Dari contoh tersebut di atas, saya selalu berpikir bahwa tidak ada yang benar-benar baik di dunia ini, begitu pula sebaliknya, tidak ada yang benar-benar buruk atau jahat di dunia ini. Saya percaya bahwa manusia jahat sekalipun, pasti memiliki sisi baik. Begitu pula yang baik, pasti memiliki sisi buruknya. Begitu pula dengan salah dan benar. Saya juga percaya bahwa tidak ada yang mutlak benar di dunia ini, pun sebaliknya, tidak ada yang mutlak salah di dunia ini. Benar atau salah, baik atau buruk, semua tergantung dari sisi dan sudut pandang mana kita melihatnya. Bisa juga saya katakan bahwa baik dan buruk serta salah dan benar itu adalah relatif, bukan suatu hal yang mutlak.
Kita adalah makhluk multidimensi, bukan selengkung gambar yang hanya dapat dilihat dan diinterpretasikan dari satu sisi saja. Karena multidimensi, kita dapat dilihat dari berbagai sudut dan sisi sementara tiap sisi memunculkan gambar dan representasi yang berbeda. Itu hanya dari sisi penglihatan, belum lagi dari sisi persepsi dimana tiap orang memiliki pendapat berbeda, serta adanya kepentingan dan faktor kedekatan, lalu hubungan antar keduanya, juga mempengaruhi cara pandang tiap orang. Sebut saja begini, ketika kita melihat suatu objek dari jarak jauh, dimana kita melihatnya dari sisi belakangnya, maka kita akan menilai objek tersebut dari sisi belakangnya saja, padahal masih ada sisi lain yang tentu akan memunculkan penilaian berbeda.
Jadi, apabila ada orang atau kebanyakan orang menganggap kita jahat atau salah, mungkin hanya satu sisi saja mereka melihat kita, yaitu sisi buruknya dan juga karena kita berdiri di sisi berlawanan dengan mereka. Bukannya manusia memang begitu, selalu menganggap salah dan jahat apa yang berlawanan dengan dirinya dan dengan kebanyakan orang. Mungkin apabila mereka tidak mau mengubah sudut pandang, ada kalanya kita perlu berbalik badan, memutar sisi kita, hingga mereka melihat sisi baik kita. Namun pada akhirnya baik dan buruk hanya Tuhan yang tau.
Kamis, 01 Januari 2015
Life is A Big Puzzle
Bagi saya, hidup itu seperti menyusun puzzle. Kita dilahirkan dengan membawa teka-teki dan jutaan pertanyaan yang harus kita temukan jawabannya. Teka-teki yang sudah kita bawa sejak kita lahir, pertanyaan tiada henti yang akan terus mengikuti tentang misteri untuk apa kita dilahirkan dan akan jadi apa kita nanti. Selama kita bernapas, pertanyaan demi pertanyaan akan misteri kehidupan yang tak bisa kita duga akan terus mengikuti. Melalui perjalanan setiap hari, jam, menit, detik dan secuil waktu dalam kehidupan kita, akan tersebar pola-pola, tanda dan clue yang menyusun jawaban tersebut. Perjalanan hidup yang kita lalui akan membentuk pecahan puzzle yang kita susun dan pada akhirnya akan menemukan suatu bentuk yang utuh sebagai jawabannya. Tiap fase dalam hidup memiliki puzzle nya masing-masing, dengan pola dan tingkat kesulitannya sendiri, tergantung bagaimana kita bisa mengumpulkan keping dan menyusunnya. Puzzle dari setiap fase tersebut hanyalah puzzle dari sekian banyak puzzle yang harus kita selesaikan sebelum membentuk puzzle utuh yang akan menjawab pertanyaan besar untuk apa kita ada dan akan jadi apa kita nantinya serta kapan kita akan bermuara pada Yang Kuasa. Barangkali hidup adalah perjalanan tiada henti untuk mencari kepingan jawaban, kepingan puzzle, kepingan teka-teki yang pada akhirnya akan menjawab kapan kita harus berhenti mencari dan menemukan jawaban atas teka-teki dan misteri. Barangkali hidup adalah misteri itu sendiri...
Langganan:
Postingan (Atom)